Jurgen Habermas dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1929 di kota Dusseldorf, Jerman. Pernah mengenyam studi di Universitas Gottingen, ia mempelajari kesusastraan, sejarah, filsafat, psikologi, dan ekonomi. Setelah itu, ia meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn dan meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1954 dengan sebuah disertasi berjudul Das Absolute und die Geshichte (Yang Absolut dan Sejarah). Kemudian ia mengambil bagian dalam suatu proyek penelitian mengenai sikap politik mahasiswa di Universitas Frankfurt dan dipublikasikan pada tahun 1964 dalam sebuah buku Student und Politik (Mahasiswa dan Politik). Setelah pensiun dari kedudukannya di Frankfurt, Habermas tinggal di Starnberg dan masih aktif menulis komentar-komentar politis. Habermas tidak hanya sangat produktif menulis karya penting dalam filsafat dan ilmu sosial kemanusiaan, melainkan ia juga melakukan banyak perdebatan penting dalam filsafat.[1]
Jurgen Habermas adalah seorang yang terkenal sebagai sosiolog di Jerman. Pemikirannya dalam hermeneutik memberikan banyak kritik terhadap Gadamer. Terlihat dari karya-karya dan tulisan-tulisannya yang memberi kritik terhadap Gadamer atau kutipan-kutipan kritiknya terhadap Gadamer dalam buku-buku hermeneutik, salah satu contohnya dalam buku Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Dalam pemahaman hermeneutiknya, Jurge Habermas menekankan pada aspek kritisime dalam analisis bahasa.
Jurge Habermas berpandangan bahwa bahasa tidak hanya sebagai alat untuk menyampaikan pesan atau alat yang digunakan untuk berkomunikasi, akan tapi lebih daripada itu bahasa juga dapat menjadi media bagi penguasa atau ideologi tertentu untuk melakukan pembenaran.[2] Jadi sebuah pola kebahasaan yang telah melekat atau membudaya bukanlah suatu hal yang adil sebab bisa saja di dalamnya terdapat sebuah distorsi yang terorganisir di dalamnya, yang mana pengguna bahasa sudah terjebak dalam ketidaksadaran terhadap bahasa yang ia gunakan sehari-hari baik secara individu maupun kelompok. Sederhananya, banyak kosa kata khusus yang sudah terlanjur digunakan akibat pengaruh pergaulan di ruang lingkup masyarakat, sehingga menjadi sebuah anomali jika dinilai dengan tata kebahasaan yang berlaku umum.
‘Komunikasi yang terdistorsi dan terorganisir’ inilah yang dinilai oleh Jurgen Habermas sebagai bagian yang tidak tersentuh oleh Gadamer. Bagi Habermas sudah menjadi sebuah keharusan bagi seorang mufasir untuk mengetahui dan memastikan pemahaman seorang penulis terhadap apa yang ditulisnya. Hal itu dapat menghindarkan distorsi makna yang diinginkan penulis. Kebebasan akan distorsi makna itulah yang akan melegalkan kebenaran.
Adapun distorsi itu dapat dilihat (dalam teks) dari ketidakpatuhan penulis dengan tata bahasa umum yang telah ada. Dalam hal cara kerjanya, ada dua cara kerja utama hermeneutika kritis Jurgen Habermas, yakni: 1) interpretasi, dimana ini adalah tugas penafsir untuk mampu mencoba merancang sebuah konstruksi pengetahuan yang di dalamnya ada bahasa publik dan privat, hanya penulisnya yang tahu; 2) analisis, yakni sebuah upaya untuk mengkaji lebih dalam terhadap simbol-simbol privat yang digunakan oleh penulis, yang dalam hal ini dapat dikatakan “terdistorsi”, dengan meminta penulis me-recall ingatannya sehingga dapat ditemukan motif-motif yang melatarbelakangi sang penulis melakukan sensor terhadap dirinya.[3] Dari sanalah akan didapati kesepahaman antara penafsir dan penulis dalam bentuk kebenaran yang sifatnya emansipatoris atau terbebas dari belenggu-belenggu power yang dapat berbentuk kekuasaan ataupun ideologi-ideologi yang merepresi penulis.
Namun realita dalam pembuktian maknanya yang dimaksud di sini adalah dalam ranah tafsir dan kajian al-Qur’an, metode hermeneutika kritis kebahasaan ini terlihat tidak dapat diterapkan sebab kitab-kitab yang dikaji biasanya penulisnya telah wafat kecuali jika mengkaji pemikir-pemikir kontemporer yang masih ada. Bahkan jika kita merujuk kepada al-Qur’an secara langsung itu akan menjadi mustahil untuk diterapkan. Sebab secara akal, kita sebagai umat Islam tidak mungkin memberikan pernyataan bahwa Tuhan mengalami gejala psikopatologi atau kerusakan mental sebagaimana manusia tatkala kita menjumpai ayat al-Qur’an yang secara uslub keluar dari uslub orang Islam pada umumnya.[4]
Dalam rangka pengembangan Studi Islam secara umum, teori Jurgen Habermas dapat dijadikan sebagai alat atau kacamata dalam melihat fenomena sosial keagamaan. Jadi dengan melihat realita yang sedang berkembang dan membaca adanya fenomena psikopatologi di dalamnya. Semisal munculnya berbagai fenomena arabisasi ataupun fundamentalisme yang belakangan ini banyak terjadi dalam tubuh masyarakat Indonesia.
Salah satu tujuan dipelajarinya hermeneutik adalah untuk menelaah dan menginterpretasi hal-hal yang berkenaan dengan teks-teks kitab suci agama-agama. Kelayakan teks kitab suci ditengah masyarakat dewasa ini kadang masih dipertanyakan, sebab relevansinya dirasa kurang cocok dengan kondisi sekarang. Maka, salah satu tawaran atau konsep yang kiranya dapat diterapkan adalah dengan merujuk pada teori-teori hermeneutik yang dirasa sesuai dengan kondisi pengkonsumsi teks-teks tersebut.[5]
Dengan menggunakan analisis teori hermeneutika Habermas, kita dapat melakukan interpretasi dan upaya rekonstruksi atas epistemologi pemikiran yang dibangun dalam masyarakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Atabik, Ahmad. “Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas.” Jurnal Fikrah, Vol. 01 No. 2 Tahun 2013, hal. 449-464.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Sleman: PT. Kanisius, 2015.
Bohman, James. Jurgen Habermas. Dalam https://plato.stanford.edu/entries/habermas/. Diakses pada 07 Desember 2021.
Kurdi, Alif Jabar. Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Qur’an. Dalam https://tafsiralquran.id/hermeneutika-kritis-jurgen-habermas-dan-posisinya-dalam-studi-al-quran/. Diakses pada 27 November 2021. Pusey, Michael. Habermas: Dasar dan Konteks Pemikirannya. Yogyakarta: Resist Book, 2011.
[1] James Bohman, “Jurgen Habermas,” dalam https://plato.stanford.edu/entries/habermas/. Diakses pada 07 Desember 2021.
[2] Michael Pusey, Habermas: Dasar dan Konteks Pemikirannya, Yogyakarta: Resist Book, 2011, hal. 9.
[3] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Sleman: PT. Kanisius, 2015, hal. 208-209.
[4] Alif Jabar Kurdi, “Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Qur’an,” dalam https://tafsiralquran.id/hermeneutika-kritis-jurgen-habermas-dan-posisinya-dalam-studi-al-quran/. Diakses pada 27 November 2021.
[5] Ahmad Atabik, “Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas,” Jurnal Fikrah, Vol. 01 No. 2 Tahun 2013, hal. 460.