Hermeneutika Tafsir – Derrida dan Hermeneutik Radikal

tafsiralquran.id

Jacques Derrida (1930-2004) lahir di El Biar, Aljazair. Derrida adalah seorang filsuf kontemporer Prancis yang dianggap sebagai pengusung tema dekonstruksi di dalam filsafat pascamodern. Pemikirannya juga disampaikan melalui filsafat bahasa. Setelah perang dunia II, Derrida mulai mempelajari filsafat. Pada tahun 1949, Derrida pindah ke Paris, Prancis. Derrida menerbitkan buku pertamanya pada tahun 1990. Selama berada di École Normale, Derrida mempelajari Hegel bersama filsuf bernama Jean Hyppolite. Derrida dan Gadamer di bawah pengaruh metafisikus besar abad ke-20, Martin Heidegger. Terinspirasi Heidegger keduanya melihat keterbatasan eksistensi kita di dalam bahasa, maka kesadaran kita juga dibatasi oleh bahasa. Kita tidak “memakai” bahasa, tetapi bahasalah yang “memakai” kita. Meski demikian, jalan yang mereka tempuh berbeda. Derrida mewaspadai keutuhan makna dan bahkan mempersoalkan pemahaman makna itu sendiri, sehingga praktis mempersoalkan tradisi dan otoritas. Derrida tidak mau disebut melakukan “hermeneutik”, sebab ia tak bermaksud menyingkap makna yang tersembunyi.[1]

            Dalam pembacaan dekonstruktif makna teks mengacu pada rangkaian jejak-jejak, yaitu konteks-konteks di dalam teks itu yang memberi teks itu makna. Dekonstruksi adalah sebentuk interpretasi teks, tetapi interpretasi itu tidak sama dengan kita mengerti sampai sejauh ini. Dekonstruksi adalah sebuah interpretasi teks yang dilakukan secara radikal, dan kita dapat menyebutnya “hermeneutik radikal”.[2]

            Merubah realitas menurut Derrida juga berarti merubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk merubah realitas, orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas. Titik berangkat Derrida adalah teori tindakan tutur (speech act theory) yang banyak dikembangkan di dalam teori komunikasi maupun linguistic. Derrida tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga merubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu adalah description dan transformation dapat digabungkan menjadi deconstruction. Menurut Nicholas Royle, dekonstruksi sebagai sesuatu yang bukan seperti yang dipikirkan kebanyakan orang, pengalaman akan yang tidak mungkin, cara berpikir untuk menggoyang apa yang sudah dianggap mapan. Namun Derrida sendiri tidak pernah secara jelas mendefinisikan arti dari konsep dekonstruksi. Ia hanya menerapkannya dan membiarkan pembacanya merumuskan sendiri. Maka dapat dikatakan bahwa hakikat dekonstruksi bersifat plural. Tidak ada satu definisi utuh yang bisa menjelaskan makna terdalam dari dekonstruksi.[3]

            Dekonstruksi mengandaikan bukan hanya tiadanya makna asli sebuah teks, melainkan juga ketidakmungkinan keutuhan sebuah teks. Jika demikian, aktivitas interpretasi tidak lagi memiliki fondasi dan menunda setiap upaya konstruksi makna yang koheren. Sebuah teks dapat diinterpretasi sampai tidak terhingga. Itulah sebabnya dekonstruksi dapat disebut hermeneutik radikal. Dekonstruksi menganggap bahwa makna tidak dapat diputuskan. Setiap upaya untuk menentukan suatu makna “diintai” oleh suatu makna yang berbeda dari makna yang ingin diputuskan itu, karena saat membaca seorang penafsir terbuka terhadap “yang lain” di dalam maupun dari sebuah teks. Dalam arti ini dekonstruksi adalah, seperti disebut Kimmerle, sebuah interpretasi yang ditandai dengan “pergantian perspektif terus-menerus”.[4]

            Derrida meyakini adanya suatu teks yang tidak lagi bergantung pada subjek apa pun, melainkan membiarkan dirinya terurai dan otonom dalam medan pemaknaan yang tidak ada habis-habisnya. Derrida lebih jauh membayangkan adanya suatu tulisan primordial yang diistilahkannya archi-writing, yakni tulisan yang mengatasi segala bentuk metafisika dan kehadiran. Melalui pembacaannya atas tradisi metafisika Barat, Derrida sampai pada kesimpulan bahwa tradisi itu mesti diakhiri. Dekonstruksi adalah perayaan terbuka terhadap the end of metaphysics.[5]

            Dekonstruksi, hermeneutik radikal, menunjukkan kekhasannya yang tak terulang dalam bentuk-bentuk interpretasi yang kita kenal sebelum ini. Hermeneutik radikal Derrida mempersoalkan secara lebih mendasar lagi identitas tradisi dengan dirinya sendiri, karena menurut Derrida repetisi dan keberlainan hadir bersama-sama, dan identitas tidak mungkin murni.[6]

            Hermeneutika radikal dipandang sebagai suatu teknik atau strategi membaca untuk menemukan blind spot atau semacam “retakan” dalam suatu teks. Namun, strategi ini tanpa suatu batas akhir, Derrida menyebutnya sebagai unfinished movement. Di sini tidak ada usaha penyimpulan, tidak ada usaha formulasi kerangka pikiran dan tidak tercapai definisi. Pada metode dekonstruksi tahap pertama hanya dikatakan: not-this but-that, dan akhirnya both this and neither this nor that pada tahap kedua.[7]

            Istilah dekonstruksi yang dikemukakan Derrida cukup dikenal, dipahami dan digunakan sebagai konsep penting di lingkungan postmodernis, namun tentang metode dekonstruksi secara umum masih dianggap asing termasuk di kalangan akademisi, karena metode ini relatif baru dan Derrida sendiri tidak menulis tentang metode ini. Akan tetapi, ia menerapkan dalam penelitian yang dilakukannya terhadap teks sastra dan filsafat.[8]

            Hermeneutika merupakan suatu pola pemahaman teks dari hasil pemikiran manusia. Suatu sarana untuk sampai kepada makna yang terkandung di dalam suatu teks dengan beberapa langkah dan tekniknya. Walaupun hermeneutika merupakan produk Barat, akan tetapi tidak harus dinafikan, karena dalam Islam dituntut mengembangkan kreativitas pemikiran manusia. Sebagai hasil kreativitas pemikiran itu ialah teori hermeneutika yang telah terbukti mampu melahirkan pemahaman baru yang berdampak pada peradaban yang lebih maju. Dalam kaitan dengan pemahaman teks Al-Qur’an, penggunaan hermeneutika tidak perlu dikhawatirkan walaupun akan bermunculan penafsiran yang berbeda-beda. Kesadaran akan kemukjizatan dan keorisinalitasan Al-Qur’an tetap harus dijunjung tinggi.[9]

            Dalam sejarah hermeneutika tafsir Al-Qur’an, setidaknya terbagi dua; hermeneutika tradisional dan hermeneutika kontemporer. Hermeneutika Al-Qur’an tradisional perangkat metodologinya hanya sebatas pada linguistik dan riwayat, jadi belum ada rajutan sistemik antara teks, penafsir dan audiensi sasaran teks, meskipun unsur trisdik ini telah hidup di dalamnya. Sedangkan hermeneutika kontemporer telah melakukan perumusan sistematis unsur trisdik tersebut. Di dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tetapi penafsir di satu sisi, dan pembaca di satu sisi yang lain secara metodologis merupakan bagian yang mandiri.[10]

            Apa yang dikemukakan Derrida mengenai kritik teks maupun teori dekonstruksinya mengingatkan kita pada sebuah kisah dalam perjalanan hidup Nabi Yusuf. Hal ini dapat ditemui pada kasus Zulaikha yang telah menuduh Nabi Yusuf berbuat jahat kepadanya. Namun, Nabi Yusuf membantahnya. Untuk mencari kebenarannya, maka seorang dari keluarga Zulaikha memberikan argumentasinya. Disebutkan dalam Al-Qur’an:

قَالَ هِىَ رَٰوَدَتْنِى عَن نَّفْسِىۚ وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّنْ أَهْلِهَآ إِن كَانَ قَمِيصُهُۥ قُدَّ مِن قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ ٱلْكَٰذِبِينَ

Yusuf berkata: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: “Jika baju gamisnya koyak di depan, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. (QS. Yusuf/12: 26).

            Celah dekonstruksi terhadap tuduhan Zulaikha itu ternyata ada pada sobekan baju Nabi Yusuf. Sepertinya sobekan baju itu bukanlah hal yang penting, sesuatu hal yang mungkin dianggap sepele, tetapi ternyata itulah yang mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Ketika gamis Nabi Yusuf diperiksa dan didapati sobekan itu ada di bagian belakangnya, menjadi jelaslah bahwa Nabi Yusuf tidak bersalah.[11]

DAFTAR PUSTAKA

Alhana, Rudy. Menimbang Paradigma Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur’an. Surabaya: PT. Revka Petra Media, 2014.

al-Fayyadl, Muhammad. Derrida. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009.

Firdaus, Muhammad Yoga. Hermeneutika Derrida: Tidak Boleh Ada Tafsir yang Dominan.  https://www.tanwir.id. Diakses pada 5 Desember 2021.

Habibie, M. Luqmanul Hakim. “Hermeneutik dalam Kajian Islam,” Jurnal Fikri, Vol. 1 No. 1 Tahun 2016.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.

Noerhadi, Toeti Heraty. Aku dalam Budaya. Jakarta: PT. Gramedia, 1980.

Siswanto, Joko. “Metafisika Derrida,” Jurnal Filsafat, Seri 18 Tahun 1994. Watimena, Reza A.A. Derrida dan Dekonstruksihttp://www.rumahfilsafat.com. Diakses pada 27 November 2021.


[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami:Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida , Yogyakarta: PT Kanisius, 2015, hlm. 274.

[2]  F.  Budi Hardiman,  Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida,  hlm. 282.

[3] Reza A.A Watimena, “Derrida dan Dekonstruksi,” dalam http://www.rumahfilsafat.com. Diakses pada 27 November 2021.

[4] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida  , hlm. 284.

[5] Muhammad al-Fayyadl, Derrida, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009, hlm. 28.

[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hlm. 290.

[7] Joko Siswanto, “Metafisika Derrida,” dalam Jurnal Filsafat, Seri 18 Tahun 1994, hlm. 9.

[8] Toeti Heraty Noerhadi, Aku dalam Budaya, Jakarta: PT. Gramedia, 1980, hlm. 208.

[9]  M. Luqmanul Hakim Habibie, “Hermeneutik dalam Kajian Islam,” dalam Jurnal Fikri, Vol.1 No.1 Tahun 2016, hlm. 239.

[10] Rudy Alhana, Menimbang Paradigma Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Surabaya: PT. Revka Petra Media, 2014, hlm. 63.

[11] Muhammad Yoga Firdaus, “Hermeneutika Derrida: Tidak Boleh Ada Tafsir yang Dominan”, dalam https://www.tanwir.id. Diakses pada 5 Desember 2021.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *