Milk al-yamîn atau mâ malakat aimânukum adalah salah satu term dalam Al-Qur`an yang menunjuk makna budak, khususnya budak perempuan. Milk al-yamîn disebut sebanyak 15 kali dalam 14 ayat Al-Qur`an, yakni empat ayat makkiyah[1] dan sepuluh ayat madaniyah.[2] Penulis akan menggunakan QS. an-Nisâ’/4: 25 untuk melihat penafsiran al-Qurthubiy terkait milk al-yamîn dengan pendekatan hermeneutik Schleiermacher.
Hermeneutik Schleiermacher menawarkan dua interpretasi. Pertama, interpretasi gramatis, yaitu proses memahami sebuah teks bertolak dari bahasa, struktur kalimat-kalimat, dan juga hubungan antara teks itu dengan karya-karya lainnya dengan jenis yang sama. Jadi, titik fokusnya pada unsur-unsur bahasa teks. Kedua, interpretasi psikologis, yaitu proses analisis teks dengan merekonstruksi pengalaman mental pengarang teks. Pembaca seakan-akan mengalami kembali pengalaman penulis teks untuk bisa menghadirkan isi pikiran penulis.[3]
وَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ مِنكُمۡ طَوۡلًا أَن يَنكِحَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ …
Barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki… (QS. an-Nisâ’/4: 25)
Ayat di atas menurut al-Qurthubiy menunjukkan keringanan yang diberikan Allah kepada seorang laki-laki yang tidak mampu memberi mahar kepada wanita merdeka untuk menikahi budak wanita mukmin milik orang lain.[4] Hal ini sekaligus memuat larangan menikahi budak kitâbiyyah sebelum ia masuk Islam. Laki-laki tersebut harus meminta izin pada tuan pemilik budak untuk menikahinya, sebab seorang budak tidak akan dapat menikah kecuali atas izin tuannya. Budak tersebut diberi mahar sesuai dengan yang berlaku kala itu. Pemberian mahar bagi budak sebab mereka adalah orang yang menjaga diri dari perbuatan zina serta tidak mengambil laki-laki lain sebagai kekasihnya. Jika seorang budak wanita yang telah berumah tangga berbuat zina, maka ia dihukum setengah dari hukuman wanita merdeka. Al-Qurthubiy memaknai milk al-yamîn pada ayat ini dengan kata amat.[5]
Ditinjau dari aspek bahasa, kata amat merupakan bentuk mufrad dari kata al-imâ’u yang bermakna al-jâriyah ‘budak perempuan’.[6] Kata ini dapat diartikan dengan al-mamlûkah ‘yang dimiliki’. Bentuk jama‘ dari kata al-amatu adalah amawâtun-imâ’un-âm-imwânun-umwânun.[7] Sedangkan menurut at-Tinawi, dengan bersandar pada suatu hadis, yang dimaksud ‘abd dan imâ’ bukanlah budak, yakni hamba antar ciptaan Tuhan. Tetapi, kedua istilah tersebut dikhususkan sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah semata. Kata ‘abd diartikan laki-laki merdeka maupun budak laki-laki. Sedangkan amat ditujukan untuk perempuan merdeka dan budak perempuan.[8] Dengan demikian, ‘abd dan amat berlaku umum, tidak terbatas pada hamba sahaya saja.
Kata al-amatu hanya terulang dua kali dalam Al-Qur`an dan keduanya bermakna budak. Pertama dalam bentuk mufrad, yaitu dalam QS. al-Baqarah/2: 221.[9] Sedangkan yang kedua dalam bentuk jama‘ menggunakan kata al-imâ’, yaitu QS. an-Nûr/24: 32.[10]
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kata amat dalam penafsiran QS. an-Nisâ’/4: 25 bermakna ‘budak perempuan’. Dalam hal ini, milk al-yamîn yang dimaksud bukanlah budak milik sendiri, namun budak dalam kuasa orang lain. Ketidakbolehan menikahi budak milik sendiri, sebagaimana termaktub dalam tafsir al-Qurthubiy, tidak ada perselisihan pendapat para ulama.[11]
Pemaknaan al-Qurthubiy tersebut bisa dipengaruhi oleh keadaan sosio historis yang melingkupi. Al-Qurthubiy berpindah dari Spanyol ke Mesir saat Mesir di bawah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Ketika sultan saat itu, al-Malik ash-Shalih meninggal (w. 1249 M), anaknya, Turansyah, naik tahta sebagai sultan. Namun, kepemimpinannya yang kurang disukai membuat golongan Mamalik melakukan kudeta dan berhasil mengambil alih kekuasaan. Hal ini sekaligus menjadi awal berdirinya Dinasti Mamluk.
Dinasti Mamluk atau Mamalik adalah sebuah dinasti yang didirikan oleh para budak. Golongan Mamluk umumnya berasal dari etnis Turki dan Sirkasia dari Kaukasus dan Laut Kaspia. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah sebagai budak, yang kemudian dididik dan dijadikan tentara serta pengawal untuk menjamin kekuasaan sultan. Setelah menempati posisi sebagai tentara dan pengawal sultan, sebagian di antara mereka ada yang diangkat sebagai komandan pasukan kesultanan. Posisi mereka semakin penting dan strategis, sehingga di antara mereka ada yang menjadi amir, bahkan menjadi sultan.[12] Al-Qurthubiy selama hidup di Mesir pada masa kekuasaan Dinasti Ayyubiyah tentu mengetahui praktik perbudakan yang dilakukan kala itu. Budak-budak tersebut didapat melalui tawanan yang selanjutnya jasanya dimanfaatkan untuk kepentingan negara. Kondisi sosial yang seperti ini bisa mempengaruhi penafsiran al-Qurthubiy mengenai ayat milk al-yamîn.
Dari pendekatan interpretasi yang membawa penulis pada konteks produksi teks tersebut, pemaknaan al-Qurthubiy terkait milk al-yamîn pada QS. an-Nisâ’/4: 25 menurut penulis adalah budak atau hamba sahaya wanita yang berada dalam penguasaan tuannya. Pemahaman ini tidak terlepas dari sosio kultural saat itu di mana perbudakan merupakan praktik yang dilegalkan. Di sisi lain, al-Qurthubiy menggunakan riwayat dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an, sehingga makna yang bisa digali dari hasil interpretasinya tidak jauh berbeda dengan makna tekstualnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Anshari, Jamal ad-Din. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
al-Qurthubiy, Abu Abdillah Muhammad. al-Jamî‘ li Ahkâm Al-Qur’ân. Jilid V. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
at-Tinawi, Muhammad Ali. Mâ Malakat Aimânukum. Damaskus: Al-Ahali li ath-Thiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 2011. Yusuf, Mundzirin. “Peradaban Dinasti Mamluk di Mesir,” Jurnal Thaqâfiyyât, Vol. 16 No. 2 Tahun 2015.
[1] QS. al-Mu’minûn/23: 6; QS. ar-Rûm/30: 28; QS. al-Ma‘ârij/70: 30 dan QS. an-Nahl/16: 71.
[2] QS. an-Nisâ’/4: 3, 24, 25 dan 36; QS. an-Nûr/24: 31, 33 dan 58; QS. al-Ahzâb/33: 50, 52 dan 55.
[3] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius, 2015, hal. 40-41.
[4] Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubiy, al-Jamî‘ li Ahkâm Al-Qur’ân, Jilid V, Beirut: Dar al-Fikr, 2005, hal. 95.
[5] Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubiy, al-Jamî‘ li Ahkâm Al-Qur’ân, hal. 98-100.
[6] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hal. 42.
[7] Jamal ad-Din al-Anshari, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, hal. 54.
[8] Muhammad Ali at-Tinawi, Mâ Malakat Aimânukum, Damaskus: Al-Ahali li ath-Thiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, 2011, hal. 22-23.
[9] Ayat ini menerangkan tuntunan yang diberikan Allah dalam memilih pasangan. Pria muslim tidak diperkenankan menikahi wanita musyrik sampai mereka beriman, bahkan lebih baik menikahi hamba sahaya wanita meskipun status sosialnya lebih rendah. Hal sebaliknya berlaku juga bagi wanita muslim.
[10] Ayat tersebut berisi perintah bagi para pemilik budak dan para wali untuk menikahkan hamba sahaya mereka dan orang secara keseluruhan yang memang sudah layak untuk menikah. Hal tersebut sebagai upaya menghindarkan mereka dari perbuatan zina.
[11] Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubiy, al-Jamî‘ li Ahkâm Al-Qur’ân, hal. 98.
[12] Mundzirin Yusuf, “Peradaban Dinasti Mamluk di Mesir,” dalam Jurnal Thaqâfiyyât, Vol. 16 No. 2 Tahun 2015, hal. 181-183.