Mungkinkah hal itu bisa terjadi dan dilakukan oleh kita semua? Jawabnya, secara teknis sufistik hal itu mungkin saja dan bisa dilakukan oleh manusia. Tentu dengan qudrat dan iradat Allah SWT.
Faktanya, di lapangan kita menjumpai hal itu ada dan terbukti benar. Bila dilihat dari segi keilmuan tasawuf, kata itu dikenal dengan sebutan fanaa lil Laah. Dalam al-Qur’an, kata fana dikenal jelas dan gamblang dalam QS. ar-Rahman/55: 26, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa”. Kita semua dengan segala atribut dan kelengkapan yang kita miliki akan fana atau binasa. Yang tidak akan pernah binasa hanyalah Zat Tuhanmu (Allah SWT) yang memiliki kebesaran dan kemuliaan (QS. ar-Rahman/55: 27).
Secara Bahasa, fana berarti lenyap, hancur, sirna, atau hilang. Jadi, melenyapkan diri dan memunculkan Allah bukanlah pembicaraan bid’ah. Justru memahami praktik al-Qur’an dalam kehidupan nyata sehari-hari. Tasawuf itu bukan bid’ah, tetapi justru mempraktekan al-Qur’an dalam realitas.
Di kalangan para ahli tasawuf, istilah fana dikenal sejak diintroduksi oleh Syaikh Abu Yazid al-Bisthami (w. di Bistam, 261H/875M). Imam Al-Qusyayri, penulis tasawuf masyhur dalam kitabnya Ar-Risaalah al-Qusyayriyah fi Ilm at-Tashawwuf mengisyaratkan fana kepada gugur atau hilangnya sifat-sifat tercela pada diri seseorang. Sedangkan baqa sebagai anonim dari fana sebagai munculnya sifat-sifat terpuji atau mahmuudah.
Apa yang dikemukakan Al-Qusyayri itu mengacu pada sifatnya bagi semua orang. Tidak harus selalu seorang sufi. Orang biasa pun bisa fana, bila sifat-sifat tercelanya hilang dan tergantikan dengan sifat-sifat terpuji.
Seorang manusia, menurut Al-Qusyayri lagi, tidak bisa lepas dari salah satu dari kategori sifat-sifat tersebut. Bila yang satu tidak ada pada seseorang, pastilah dijumpai yang lainnya. Bila seorang fana dari sifat-sifatnya yang tercela, muncullah padanya sifat- sifat terpuji. Siapa yang dikuasai sifat-sifat tercela, tersembunyilah darinya sifat-sifat yang terpuji.
Lebih lanjut dikatakan oleh Al-Qusyayri bahwa untuk bisa fana, orang harus mengupayakan dengan sungguh-sungguh. Artinya, setelah orang sadar akan sifat-sifatnya yang tercela kemudian bertaubat. Maka langkah berikutnya adalah bersungguh-sungguh mendekat pada Allah SWT dengan ber-mujahadah.
Bila seseorang bersungguh-sungguh menafikan akhlaq buruk dari hatinya, pasti Allah SWT akan menganugerahkan padanya perilaku yang mulia (al-akhlaaq al-kariimah).
Demikian pula, bila ia berupaya dengan keras membersihkan amal-amalnya dengan mengerahkan daya yang dimiliki mujahadah, maka Allah SWT menganugerahkan baginya kesucian dan kesempurnaan ahwal.
Dalam konteks suluk tasawuf, jika seseorang melakukan dzikir dengan intensif dibimbing oleh mursyid yang sufistik, maka ia akan fanaa lil Laah melenyap dalam kuasa Allah SWT. Yang muncul dalam dirinya hanyalah Allah SWT. Dalam taraf tertentu, ia akan syathahaat. Yang ada pada hakekatnya hanyalah Allah SWT yang Maha Esa. Itu sebabnya bisa dimengerti mengapa Al-Hallaj atau Syaikh Siti Jenar berucap seperti dirinya tidak ada, lenyap dalam lautan kebesaran dan keagungan Allah SWT. Yang muncul hanyalah Allah SWT Yang Maha Esa. Mungkinkah ada orang seperti itu, dulu dalam sejarah maupun kini? Jawabannya, hal yang tidak mustahil di sisi Allah SWT. Selamat terus mendekat pada Allah SWT. Dia SWT pasti lebih dekat lagi pada kita. Jadilah yang terbaik di antara yang baik. Pilihlah amal utama, dan jadilah diri kita dicintai Allah SWT.[]
Editor: AMN