Telah dibahas sebelumnya tentang intuisi sebagai institusi kehadiran Ilahi serta perbandingannya dengan akal dan indera. Intuisi, akal, dan indera pasti memerlukan diri karena tanpa diri, segala pemahaman tentang Ilahi menjadi tidak mungkin. Disebutkan bahwa intuisi melahirkan pengalaman, akal melahirkan konsepsi, dan indera melahirkan persepsi, tetapi semua itu tidak mungkin hadir tanpa adanya diri. Karena itu, diri adalah awal dan dasar dari segalanya.
Jika memang pengalaman, konsepsi, dan persepsi itu nyata, maka pastilah diri sebagai subjek juga nyata. Hal ini penting disebutkan karena ada juga pandangan yang memahami bahwa segala yang tampak sesungguhnya tidak ada. Itu berarti pengalaman, konsepsi, dan persepsi juga tidak nyata. Konsekuensinya, diri pun tidak ada. Tentu saja itu tidak bisa dimengerti karena tanpa diri, bagaimana memahami Ilahi?
Munculnya pemikiran tentang adanya dua hal yaitu realitas ilusi dan realitas sesungguhnya berawal dari pembedaan secara radikal antara Sang Mutlak dengan selain-Nya. Maksud pemikiran itu sesungguhnya baik karena tanpa pembedaan, dikhawatirkan adanya keberbilangan realitas yang setara, ta’addud dan syirk. Namun tidak harus demikian.
Keesaan harusnya dipahami sebagai keseluruhan, bukan sebagai bagian yang berdiri sendiri di antara realitas yang lain, misalnya keesaan Allah SWT diperhadapkan dengan realitas selain-Nya. Keesaan Allah SWT dipahami sebagai keseluruhan dan keutuhan, maksudnya adalah Yang Hadir hanyalah Allah SWT dan manifestasi-Nya. Karena itu, realitas ini sesungguhnya hanya satu yaitu Allah SWT dan manifestasi-Nya, seperti matahari dan cahayanya yang adalah itu-itu juga.
Apa konteks pemahaman ini dengan konsepsi diri sebagai sesuatu yang benar-benar nyata? Dalam penjelasan di atas, posisi diri adalah sebagai manifestasi-Nya dan tentu saja manifestasi-Nya tidak bisa disebut tidak nyata meski diri hanya manifestasi. Karena itu, diri pun nyata. Dengan demikian, ada dua alasan diri itu nyata. Pertama, karena pengalaman, konsepsi, dan persepsi adalah nyata, maka diri yang menjadi pelaku dari semua itu juga nyata. Kedua, diri adalah manifestasi Ilahi. Ilahi adalah nyata. Karena itu, manifestasi-Nya pun nyata.
Kesadaran bahwa diri adalah nyata bukan diketahui, dipersepsi, tetapi dialami. Diri yang diketahui berarti disadari kenyataannya setelah dikonsepsi oleh akal. Sedangkan diri yang dipesepsi adalah berarti disadari kenyataannya setelah dipersepsi oleh indera. Keduanya tidak demikian. Diri nyata karena pengalaman intuisi mengatakan demikian. Pengalaman ini terjadi begitu saja, tanpa konsepsi dan tanpa persepsi.
Kini kita sampai kepada apa hakikat diri. Benar bahwa diri bisa dikenali lewat perasaan dan perubahan-perubahannya. Misalnya, sedih, bahagia, marah, senang, kesepian, bangga, malu, dan seterusnya. Perasaan bisa berubah, tetapi diri tetapi seperti apa adanya. Seumpama kalung yang berbentuk untaian mutiara, maka setiap bulir mutiara adalah perumpamaan perasaan yang senantiasa berubah. Adapun diri adalah kalung itu sendiri yang tidak pernah berubah. Jadi diri adalah keseluruhan yang selalu apa adanya dan perasaanlah yang senantiasa berubah.
Perubahan-perubahan perasaan membuat diri menjadi tampak, sebagaimana untaian mutiaralah yang tampak padahal sesungguhnya itu adalah kalung. Perubahan-perubahan adalah dinamika kejadian yang tidak mungkin ada jika di dalam diri tidak ada semacam tujuan. Jadi, tujuanlah yang melahirkan dinamika dan perubahan yang tampak itu. Tujuan tersebut bisa dalam bentuk hasrat, keinginan, kerinduan, cita-cita, dan lain-lain. Semua itu melahirkan ilmu, pengetahuan, dan tindakan.
Hasrat, keinginan, kerinduan, dan cita-cita tidak boleh dihilangkan hanya karena ada alasan bahwa diri harus sirna di hadapan Ilahi. Semuanya justru harus tetap ada karena diri sama dengan tidak ada jika semuanya tidak ada. Semuanya terangkum dalam satu kata, yaitu cinta. Cinta adalah kekuatan yang memberi kemampuan bergerak dan juga kemampuan memberi makna atas setiap ilmu, pengetahuan, dan tindakan, hingga kebudayaan dan peradaban. Bentuk tertinggi cinta adalah penciptaan nilai-nilai dan ide-ide serta usaha untuk merealisasikannya. Ya, cinta melahirkan ilmu, pengetahuan, dan tindakan.[]
Bahan Bacaan
Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Editor: AMN