Hermeneutika Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd

Salah satu tokoh penggagas metode baru dalam penafsiran Al-Qur’an adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Profesor asal Mesir ini mencoba mendobrak kemapanan pemahaman teks yang banyak terjadi dalam peradaban Islam. Dalam pengamatannya, para ulama terdahulu terlalu berlebihan dalam memahami teks, akibatnya tanpa disadari hal itu memunculkan pemahaman dikotomis antara teks dan realitas.[1] Ia mecoba memutarbalikkan teks dengan menggunakan metodenya yang pada akhirnya ia menyimpulkan Al-Qur’an sebagai al-Manhaj al-Tsaqâfî, kultural produk. Abu Zayd mulai mengenal teori-teori Hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania itu. Ia mengakui, bahwa Hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi Doktornya pada tahun 1980 dengan judul “Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah Ta’wîl AI-Qur’ân inda Muhyi al-Dîn ibn `Arabî” (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap Hermenutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi).

Abu Zayd termasuk salah satu pemikir Mesir yang sangat kontroversial karena karya-karyanya yang telah mengundang perdebatan di dunia Islam sejak tahun 1970-an. Di satu sisi, banyak kalangan mengapresiasi karya-karyanya yang mempromosikan pencerahan dalam studi Islam. Tulisan Abu Zayd banyak mengarah pada isu-isu sentral dalam pemikiran Islam, terutama tentang metodologi penafsiran Al-Qur’an, otoritas ulama, dan relevansi agama pada kehidupan kontemporer. Pemikiran seperti ini dinilai sebagai model “kebebasan berpikir” (intellectual freedom). Namun dalam kasusnya, Abu Zayd, terutama oleh otoritas Universitas Kairo dinilai sebagai ”teroris pemikiran” (intellectual terrorism).[2]

Setelah akrab dengan literatur Hermeneutika Barat, dimana ia mengenal pertama kali Hermeneutika di Amerika, Abu Zayd kemudian tertarik untuk membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam Hermeneutika. Menurut Abu Zayd, Kalam Ilahi wujud dalam bahasa manusia, karena jika tidak, maka Kalam Ilahi tersebut tidak akan dimengerti. Salah satu alasan pemikiran Islam itu menjadi stagnan, menurut Abu Zayd, karena penekanan yang terlalu berlebihan kepada dimensi ilahi (divine dimension). Padahal menurutnya, Al-Qur’an adalah kata Muhammad yang meriwayatkan apa yang beliau katakan adalah Kalam Ilahi (The word of Muhammad reporting what he asserts is the Word of God. This is the Qur’an).

 Abu Zayd menyatakan: “Bagaimanapun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri, dan menjadi manusiawi, karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. Jadi, dalam pandangannya, Al-Qur’an adalah bahasa manusia (the Qur’an is human language). Teks Ilahi (divine text) berubah menjadi teks manusiawi (human text) sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Rasul. Pemahaman Rasul atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia. Teks Al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Karena realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Abu Zayd juga menganggap Al-Qur’an sebagai teks bahasa (Nash lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusiawi (Nash insâni).[3] Dengan begitu, Abu Zayd menegaskan bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya. Abu Zayd menyalahkan penafsiran yang telah dilakukan oleh mayoritas mufassir yang selalu menafsirkan Al-Qur’an dengan muatan metafisis Islam. Dalam pandangannya, metodologi seperti itu tidak akan melahirkan sikap ilmiah karena sesungguhnya, kepercayaan atas wujud metafisik teks (Al-Qur’an) akan menghapuskan upaya pemahaman yang ilmiah bagi fenomena teks.

Menurut Abu Zayd, tantangan kultural dan sosiologis yang tengah kita dihadapi saat ini, berbeda dengan tantangan yang pernah dihadapi oleh para mufassir zaman dulu. Tantangan yang mereka hadapi saat itu adalah bagaimana mempertahankan memori kultural, peradaban dan pemikiran dalam menghadapi serbuan pasukan salib dari barat. Mereka memfokuskan untuk meringkas ilmu-ilmu agar dapat dikuasai dalam waktu singkat dengan usaha yang minimal.[4] Abu Zayd melihat bahwa tantangan yang dihadapi sekarang ini adalah bagaimana memproduksi kesadaran ilmiah terhadap tradisi; tentang dasar-dasar pembentuknya, dan faktor-faktor yang ikut andil dalam perkembangannya. Sehingga tujuan dari proyek pembaruan Abu Zayd ini adalah merajut kembali hubungan antara kajian Al-Qur’an dengan kajian sastra dan kajian kritis, setelah sebelumnya mengalami problem dan keretakan. Hal ini dikarenakan mendefinisikan konsep “Islam” secara objektif.[5] Untuk mengatasi problematika penafsiran yang ada saat ini, Abu Zayd memandang perlu untuk menggunakan pijakan teori Hermeneutika sebagai tawaran konsep interpretasi baru dalam dunia pemikiran Islam.

Dalam menjelaskan teorinya tentang teks Al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj al-tsaqâfah) dan sekaligus produsen budaya (muntij lî al-tsaqâfah) dalam dua fase keterbentukan (tasyakkul) dan fase pembentukan (tasykîl), Abu Zayd mencoba melakukan menerapkan kajian semiotika terhadap Al-Qur’an. Menurutnya teks yang sejati adalah teks yang mampu membebaskan diri dari konteks semula di mana di produksi, dan lantas memunculkan vitalitasnya sendiri, terlepas dari norma-norma yang berasal dari luar. Teks di satu sisi merupakan objek dan produk dari sistem sosial budaya di mana ia tergabung didalamnya, sekaligus pada sisi lain ia merupakan subjek yang mengubah sistem sosial budaya yang bersangkutan.[6] 

Salah satu contoh pada kasus porsi harta waris untuk kaum wanita. Abu Zaid menyeru agar porsi waris wanita disamakan dengan porsi waris laki-laki dengan  menakwil ayat-ayat Al-Qur’an terkait masalah harta waris. Porsi waris wanita yang hanya setengah dari porsi laki-laki diberikan oleh teks Al-Qur’an karena terkait dengan kedudukan wanita pada masa jahiliyah. Disitulah Abu Zaid ketika menakwilkan Al-Qur’an berpijak kepada teori historisitas teks dengan cara memisahkan antara makna hukum dan signifikansi yang dikandungnya.[7] Artinya, menurut Abu Zaid, jika Al-Qur’an telah memberikan porsi waris untuk wanita setengah daripada  laki-laki  atau  seberapa  pun  porsinya sesuai dengan  posisinya  di  antara  ahli waris setelah sebelumnya bangsa Arab tak pernah memberikan hak waris apa pun kepada mereka, maka makna itu harus dilampaui kepada signifikansinya; yaitu perbaikan nasib kaum wanita di tengah-tengah masyarakat. Jika kemampuan wanita sekarang telah menjadikannya mitra laki-laki yang sejajar dalam segala bidang, maka porsi warisnya pun seharusnya sama besar. Karena teks-teks Al-Qur’an yang menetapkan porsi waris wanita memiliki signifikansi yang dibatasi oleh standar pergerakan yang dimunculkan oleh teks. Pergerakan itu akan melampaui  kondisi yang selalu merendahkan mereka dan terus bergerak kearah persamaan hak yang ditujukan olehnya pada saat bersamaan.

Daftar Pustaka

Armas, Adnin. Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an. Bandung: Gema Insani, 2005.

Fais, Fakrudin. Hermeneutik Al-Qur’an Tema-Tema Kontroversial. Jakarta: El-SAQ, 2005.

Harb, Ali. Kritik Nalar Al-Qur’an, terj. M. Faisol Fatawi. Yogyakarta: LKiS, 2003.

Salim, Fahmi. Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. Jakarta: Kelompok Gema Insani, 2010.

Shohibuddin, Muhammad.“Nashr Hamid Abu Zayd tentang Semiotika Al-Qur’an.”Dalam Buku: Hermeneutika  Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika, 2003. Zayd, Nashr Hamid Abu. Mafhûm al-Nash, terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta: LKiS, 2002.


[1] Fakrudin Fais, Hermeneutik Al-Qur’an Tema-Tema Kontroversial, Jakarta: El-SAQ, 2005, hal. 98.

[2] Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur’an, diterjemahkan oleh M. Faisol Fatawi, Yogyakarta: LKiS, 2003, hal. 308.

[3] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Bandung: Gema Insani, 2005, hal. 205.

[4] Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhûm al-Nash, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyin, Yogyakarta: LKiS, 2002, hal. 4-5.

[5] Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhûm al-Nash, hal. 13-14.

[6] Muhammad Shohibuddin, “Nashr Hamid Abu Zayd tentang Semiotika Al-Qur’an”,dalam buku: Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta : Islamika, 2003,  hal.113-114.

[7] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Kelompok Gema Insani, 2010, hal. 305-306.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *