Hermeneutika Dilthey: Metode Memahami Ilmu Ilmu Sosial Kemanusiaan

guardian.ng

Wilhelm Christian Ludwig Dilthey dibesarkan di dalam keluarga Protestan Jerman yang terpelajar. Dia dilahirkan di kota Biebrich pada 19 November 1833. Ayahnya merupakan seorang pendeta gereja di Nassau. Orangtuanya menghendakinya untuk menjadi seorang pendeta. Dan Atas dorongan ayahnya, ia belajar Teologi di Universitas Heidelberg dan lulus pada 1856. Namun kemudian ia terpengaruh oleh dua orang sejarawan ulung, yaitu,Jacob Grimm dan Leopold Von Ranke, yang mengalihkan ketertarikan dan minatnya kepada Sejarah dan Filsafat. Bahkan Dilthey mampu menghabiskan waktu 12 sampai 14 jam dalam sehari untuk menekuni kedua ilmu tersebut. Ia juga mempelajari berbagai bahasa seperti,Yunani, Ibrani, dan Inggris. Ia juga banyak berguru kepada filsuf Friedrich Trendelenburg dan Adolf Kuno Fischer.[1] Pada tahun ia lulus Teologi, ia juga lulus filsafat di Berlin. Setelah meraih gelar doktor pada 1864 dengan disertasi tentang Schleiermacher, dia diundang untuk mengajar di banyak universitas.

Berlin di zaman Dilthey diwarnai oleh politik monarki dan industrialisasi. Hal ini berbeda dari Berlin di zaman Schleiermacher. Dilthey terhitung ke dalam kalangan atas yang mapan. Kecukupan ini membuatnya bebas pada idealisme dan wawasan liberal. Ia digambarkan sebagai seorang aristokrat intelektual, yang sangat kritis terhadap materialisme yang dibawa oleh elite industrial yang sedang naik dan mengecam sejarah bangsanya. Dilthey dan orang orang pada kelompoknya ingin mengembalikan perhatian pada sejarah, kebudayaan, dan kehidupan mental yang mengalami krisis oleh perkembangan baru itu.[2]

Dilthey pada gagasannya dalam hermenutika, bertolak dari pemikiran Schleiermacher, yang merupakan tokoh perintis pertama hermeneutika modern. Schleiermacher berpendapat bahwa untuk memahami sebuah teks, kita mesti menempatkan diri pada konteks kehidupan penulisnya. Konteks tersebut mencakup masyarakat, kebudayaan, dan sejarah. [3] Schleiermacher memahami teks sedangkan Dilthey memahami manusia. Adapun Schleiermacher memahami manusia dengan cara berempati, yaitu dengan merenungi pengalaman kita sendiri atau membayangkan kita pada posisi orang tersebut. Sedangkan  Dilthey menggunakan metode interpretasi; memahami ekspresi kehidupan.  

Dilthey melihat bahwa hermeneutika yang telah dirintis oleh Schleiermacher dapat menjadi dasar untuk Geisteswissenschaften, yaitu semua Ilmu-Ilmu Sosial Kemanusiaan, semua disiplin yang menafsirkan ungkapan-ungkapan kehidupan batiniah manusia, entah ungkapan itu berupa gestur-gestur, tindakan-tindakan historis, hukum yang terkodifikasi, karya-karya seni atau kesusastraan”.[4]

Dilthey menganalisis proses pemahaman yang membuat kita mengetahui kehidupan pikiran atau kejiwaan diri sendiri, dan kehidupan pikiran atau kejiwaaan orang lain. Inilah yang menjadi gagasan metode hermeneutika untuk Geisteswissenschaften yakni sebagai metode semua ilmu sosial dan kemanusiaan, atau disebut sebagai studi yang menafsirkan ekspresi kehidupan kejiwaan manusia, seperti sejarah, hukum tertulis, karya seni, dan karya sastra.[5]

Hermeneutika yang menjadi metode ilmiah ini bertitik tolak dari Filsafat Hidup Philosophie des Lebens yang membutuhkan suatu pemahaman Das Verstehen. Hidup merupakan sebuah  kenyataan yang terus bergerak dalam sejarah. Hidup tidak dapat diterangkan erklaren melainkan hanya dapat dipahami verstehen. Bagi Dilthey, kehidupan dimaknai bukan hanya dalam arti biologis, yakni seperti apa yang diyakini oleh aliran Positivisme dan Rasionalisme. Tetapi seluruh kehidupan manusia yang dialami dengan berbagai keanekaragamannya. Terkait ini, Dilthey membagi ilmu menjadi dua bagian yakni Ilmu Kealaman Naturwissenschaften atau Ilmu Pengetahua Alam yang dapat diterangkan, dan Ilmu Kemanusiaan Geisteswissenschaften atau Ilmu Sosial.

Pembedaan ini berdasarkan pemikirannya bahwa ilmu Naturwissenschaften dapat dipatenkan sedangkan ilmu Geisteswissenschaften selalu mengalami perubahan setiap waktu. Dilthey mengetahui manusia dari mempelajari manusia itu sendiri. Manusia sudah dapat memberikan informasi untuk orang lain dari dirinya sendiri. Pemahaman tentang manusia itu sifatnya dinamis.  Dan pada hakikatnya, hidup bersama di dunia adalah saling berbagi di antara manusia.

Menurut Dilthey, semakin kita mengenal diri kita sendiri dan segala sesuatu yang tersembunyi dalam diri kita, maka kita memiliki pengetahuan akan diri kita. Pengetahuan akan diri kita ini dapat menghantar kita untuk mengetahui tentang orang lain. Namun konsep ini bukan berarti bahwa diri kita itu sama dengan orang lain. Konsep ini dapat kita terapkan dengan memahami ekspresi orang lain. Berbagai ekspresi yang ada dalam diri kita tentunya akan menjadi sama dengan keadaan jiwa orang lain jika kita memiliki konteks yang sama dengan orang tersebut. Bila kita memiliki konteks yang berbeda dengan orang lain, maka kita dapat mempelajari konteks tersebut terlebih dahulu. Hal inilah disebut sebagai metode Verstehen atau ‘memahami’.

Verstehen adalah proses pemahaman yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga mencakup kompleksitas seorang manusia. Seluruh yang berkaitan dengan manusia itu dapat terpahami. Pemahaman adalah sesuatu yang kita ketahui tentang realitas yang ada. Untuk dapat memahami sebuah realitas diperlukan proses yang panjang. Ini berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Dilthey tentang pemahaman. Dilthey berpendapat bahwa pemahaman adalah nama untuk proses mengetahui kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-ekspresi yang diberikan pada indra. Indra mulai mengamati ekspresi yang keluar dari diri seseorang. Ekspresi itu ditangkap oleh indra dan indra menyimpulkan ekspresi itu.

Pengetahuan akan orang lain tidak lepas dari pengetahuan akan diri sendiri dikarenakan kodrat semua manusia itu sama. Kesamaan kodrat ini menghantarkan kita untuk dapat mengetahui orang lain.  Namun demikian, setiap manusia memiliki konteks yang berbeda satu dengan yang lainKonteks ini mempengaruhi pengetahuan tentang orang lain melalui pengetahuan kita tentang diri kita sendiri. Hal ini berarti kita harus mengetahui keseluruhan tentang orang lain atau kita sungguh kenal sehingga kita memperoleh pemahaman tentang orang lain itu.[6]

Proses pemahaman tidak hanya pada proses empati saja, melainkan pada proses interpretasi. Jika hanya dengan berempati saja dalam memahami hidup batiniah orang lain, maka pemahaman akan orang lain itu kurang mendalam. Dengan kita menggunakan cara interpretasi, maka kita akan semakin baik dalam mengenal batin orang lain. Pemahaman disini adalah pemahaman lahiriah dan batiniah. Pemahaman lahiriah adalah seperti yang dilakukan oleh seorang dokter. Dokter memeriksa badan kita yang sakit. Akan tetapi dokter itu belum mengetahui pribadi kita.

Secara singkat, Dilthey menggagas hermeneutika untuk memahami orang lain menggunakan metode ilmu sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan memahami ekspresi yang merupakan ungkapan kedalaman diri sendiri. Kita dapat berupaya mengungkapkan diri kita pada orang lain agar orang lain dapat memahami kita. Pemikiran berikutnya adalah memahami. Memahami adalah mengetahui tentang orang lain. Kita dapat mengetahui orang lain dengan pengalaman yang kita dapat dari diri sendiri. Atau kita juga dapat memahami orang alin melalui kebiasaan atau pola situasi kondisi kelompok tertentu. Dengan dua metode tersebut, Dilthey tidak hanya memahami manusia dari pemahaman ungakapan ataupun teks, melainkan pemahaman yang mendalam. Yaitu memahami dunia batiniah yang melingkupi gestur gestur, tindakan tindakan historis, hukum yang terkodifikasi, dan juga karya karya seni.

Daftar Pustaka:

E. Sumaryono. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta. Kanisius. 1999.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida.

Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Pospoprodjo, Wasito. Hermeneutika Falsafati, Relevansi dari Beberapa Perspektifnya Bagi

Kebudayaan Indonesia. Bandung: UNPSD, 1985.

Richard E. Palmer. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer Evanston. Northwestern University Press, 1969.


[1] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999, hal. 45.

[2] Hardiman, F. Budi, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 64.

[3] Hardiman, F. Budi, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 71.

[4] Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and   

  Gadamer Evanston, Northwestern University Press, 1969. Hal. 98.

[5] Pospoprodjo, Wasito, Hermeneutika Falsafati, Relevansi dari Beberapa Perspektifnya Bagi Kebudayaan Indonesia, Bandung: UNPSD, 1985, hal. 24-25

[6] Hardiman, F. Budi, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 74-75.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *