Kisah-kisah dalam al-Qur’an hadir untuk menjadi pengingat bagi manusia agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain (QS. Taha/20:99), memberikan pelajaran bagi orang-orang yang berakal (QS. Yusuf/12:111), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah/2:66).[1] Gaya berkisah al-Qur’an menggunakan kata dan perumpamaan dengan makna tersirat untuk mendorong manusia melakukan telaah kritis terhadap konteks historis dan gramatikal teks yang menyampaikan kisah tersebut.[2]
Salah satu contoh kisah dalam al-Qur’an adalah kisah ashhâb as-Sabt, yaitu penduduk yang hidup di sekitar Teluk Aqabah dan melanggar aturan pada hari Sabtu. Kisah ini yang memuat sikap durhaka orang-orang Yahudi yang membendung ikan pada hari Sabtu lalu Allah menjatuhkan hukuman kepada mereka menjadi kera.[3] Kisah ini muncul dalam QS. al-Baqarah/2:65-66 dan QS. al-A’raf/7:163-166. Berdasarkan urutan mushaf maka penulis akan mengulas ayat dan terjemahan pada QS. al-Baqarah/2:65-66 sebagai berikut:
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ ٦٥
فَجَعَلْنَاهَا نَكَالًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ ٦٦
Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antara kamu pada hari Sabtu, maka Kami berfirman kepada mereka, ‘Jadilah kamu kera yang hina terkutuk.’ Maka Kami jadikan yang demikian itu penghalang (melakukan yang serupa) bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Baqarah/2:65-66)
Thahir Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa kisah dalam ayat ini menunjukkan kekuasaan Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad sebagai pemberitaan gaib karena diawali dengan pernyataan “sesungguhnya telah kamu ketahui”. Baginya, awalan tersebut tidak muncul dalam kitab Taurat sebagaimana ayat yang dimulai dengan kata ‘wa idz’ atau ‘ingatlah’, namun kisah ini terjadi di masa Nabi Daud dan telah diketahui oleh kalangan pemuka agama Yahudi. Orang-orang Yahudi yang telah mengetahui bahwa hari Sabtu adalah hari untuk beribadah, mengingkari aturan ini dengan melakukan aktivitas duniawi. Mereka membendung ikan yang hidup di sekitar perairan Teluk Aqabah dan menggali kolam agar ikan beserta air dapat masuk ke kolam-kolam lalu mereka dapat mengailnya dengan mudah setelah hari Sabtu. Perbuatan ini memunculkan hukuman dari Allah melalui firman, “Jadilah kamu kera yang hina terkutuk.” Kata ‘jadilah’ pada firman tersebut bukan perintah untuk Bani ‘Israil agar melakukan sesuatu, namun berupa taskhir atau perintah yang menghasilkan terjadinya sesuatu.[4]
Hermeneutika Bultmann: Demitologisasi dan Makna Eksistensialisme Mitos
Al-Quran menggunakan kata-kata tertentu untuk mengungkapkan beragam kisah-kisah bermuatan gaib dan mukjizat. Bagi masyarakat modern, kisah-kisah dalam kitab suci yang memuat unsur gaib atau transendental disebut sebagai mitos. Mitos mengandung sikap mengobjektifikasi karena melukiskan hal yang bersifat Ilahiah sebagai sesuatu yang bersifat duniawi (imanen).[5]
Ahmad Khalafullah menjelaskan bahwa unsur mitos dalam kisah-kisah tertentu di al-Qur’an adalah fungsi instrumen kisah untuk menarik perhatian pendengar atau pembacanya. Menurutnya, kisah-kisah mitos dalam al-Qur’an mayoritas berasal dari orang-orang yang mengingkari ketentuan Allah, mengingkari hari kiamat atau hari kebangkitan, dan meng-counter perkataan bahwa al-Qur`an sebagai ciptaan Nabi Muhammad dan bukan dari Allah.[6]
Rudolf Bultmann, seorang teolog Protestan yang meneliti Perjanjian Baru, menawarkan cara untuk memahami sesuatu yang transendental dalam mitos berdasarkan makna eksistensialnya melalui pendekatan demitologisasi.[7] Demitologisasi termasuk sebuah metode hermeneutik yang hadir bukan untuk menyingkirkan atau menyangkal mitos, namun menyingkap makna mitos tersebut.[8] Bultmann menawarkan cara kerja demitologisasi dengan melibatkan diri ke dalam dasar permasalahan teks untuk dapat memahami makna eksistensialnya dan mengambil keputusan atas sesuatu yang belum ada di masa kini untuk digunakan di masa depan.[9] Unsur supranatural yang terkandung di dalam mitos muncul secara bersamaan dengan pengalaman eksistensial manusia sehingga mitos memuat pengalaman eksistensial manusia sebagai tindakan Allah. Dengan begitu, memahami sebagai demitologisasi adalah menafsirkan tindakan Allah yang muncul dalam peristiwa-peristiwa dunia yang dialami oleh manusia.[10]
Telaah Kisah Ashhâb al-Sabt dalam Demitologisasi Bultmann
Berdasarkan pendekatan demitologisasi Bultmann, mitos hewan kera dalam QS. al-Baqarah/2:65-66 adalah perumpamaan dari Allah yang menggambarkan keserampangan perilaku dari sebagian orang Yahudi di hari ibadah mereka dengan menangkap ikan secara licik. Dengan kata lain, mereka bukan berubah menjadi kera secara visual, namun memiliki karakter psiko-sosial yang menyerupai kera.[11]
Penggambaran karakteristik kera tersebut sama dengan perilaku sebagian orang Yahudi yang tidak patuh kecuali diberi peringatan yang mengancam dan dijatuhi hukuman. Allah mengutuk mereka yang membangkang dan berperilaku selayaknya kera dan kutukan ini menjadi pengingat bagi orang-orang di masa mitos itu hadir dan orang-orang di masa mendatang. Quraish Shihab menjelaskan bahwa setelah menjelaskan akibat dan tujuan hukuman Allah itu, kelompok ayat ini menggambarkan perilaku-perilaku tidak lurus lainnya dari orang-orang Yahudi yang membangkang itu, seperti akal pikiran yang licik, penyimpangan dan keraguan mereka terhadap nabi, dan upaya mereka menghindari perintah Allah.[12]
Penulis berpendapat bahwa penggambaran kera sebagai hukuman bagi manusia ini menunjukkan eksistensi Ilahiah yang hadir bersamaan dengan eksistensi sebab dari sebuah peristiwa. Penting untuk memaknai istilah ‘kera’ tersebut sebagai representasi cara berpikir licik, kecenderungan psikologis membangkang, dan sikap sosial yang tidak teratur sebagai hal-hal yang tidak disukai oleh Allah dan menjadi pelajaran agar tidak menjadi bagian dari orang-orang yang “terkutuk” itu.
DAFTAR PUSTAKA
Affani, Syukron. “Rekonstruksi Kisah Nabi Musa dalam al-Quran: Studi Perbandingan dengan Perjanjian Lama,” Al-Ihkam: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, Vol. 12 No. 1 Tahun 2017.
Ekawati, Dian. “Eksistensialisme,” Jurnal Tarbawiyah, Vol. 12 No. 1 Tahun 2015.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.
Kharomen, Agus Imam. “Kajian Kisah al-Qur’an dalam Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullah (1916-1988),” Jurnal Syariati, Vol. 5 No. 2 Tahun 2019.
Quraish Shihab, Muhammad. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2003. Susilawati. “Nilai-Nilai Pendidikan Melalui Kisah dalam al-Qur’an,” Belajea: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 01 No. 1 Tahun 2016.
[1] Susilawati, “Nilai-Nilai Pendidikan Melalui Kisah Dalam Al-Qur’an,” dalam Belajea: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 01 No. 1 Tahun 2016, hal. 25.
[2] Syukron Affani, “Rekonstruksi Kisah Nabi Musa Dalam Al-Quran: Studi Perbandingan Dengan Perjanjian Lama,” dalam Al-Ihkam: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, Vol. 12 No. 1 Tahun 2017, hal. 170.
[3] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2003, hal. 221.
[4] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, hal. 221-222.
[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius, 2015, hal. 148.
[6] Agus Imam Kharomen, “Kajian Kisah Al-Qur’an dalam Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullah (1916-1988),” dalam Jurnal Syariati, Vol. 05 No. 2 Tahun 2019, hal. 200.
[7] Makna eksistensialisme yang dimaksud di sini adalah pemahaman dan pemaknaan manusia di masa itu terhadap eksistensi suatu mitos. Lihat F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 144-145; Dian Ekawati, “Eksistensialisme,” dalam Jurnal Tarbawiyah, Vol. 10 No. 2 Tahun 2015, hal. 141-142.
[8] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 144 dan 146.
[9] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 147-148.
[10] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 150.
[11] Hewan kera adalah satu-satunya makhluk hidup yang selalu terlihat auratnya dengan warna yang lebih menonjol daripada warna di bagian kulit lainnya dan kera juga harus dicambuk terlebih dahulu agar mau mengikuti perintah.
[12] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2003, hal. 222.