Studi tentang manusia memang memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan ilmu- ilmu alam karena objek mereka bukan hanya sekedar penampakan indra saja, pun tidak hanya refleksi realitas dalam kesadaran, tetapi lebih pertama dan terutama yaitu realitas batin, perpaduan pengalaman dalam diri manusia sendiri. Namun, realitas ini yang dialami dalam diri kita akan menimbulkan kesulitan besar dalam hal pemahaman objektifnya. Selain itu, pengalaman batin apa pun, melaluinya membuat saya sadar akan sifat saya, namun hal tersebut tidak dengan sendirinya membawa saya kepada kesadaran akan kepribadian saya sendiri. Saya hanya akan dapat mengalami hal tersebut melalui perbandingan diri saya dengan orang lain, pada saat itulah saya menjadi sadar akan apa yang membedakan saya dari orang lain.[1]
Untuk memhami konsep hermeneutika Dilthey, menjadi suatu yang wajib untuk terlebih dahulu memahami secara mendalam kerangka pemikiran Dilthey terkait proses verstehen dalam Geistesswissenschaften. Pertama, mengenali secara akrab proses-proses mental. Melalui proses- proses mental setiap orang dapat menghayati dan mengekspresikan makna kehidupan. Sebagai manusia, ekspresi-ekspresi itu berasal dari kegiatan-kegiatan interaksi baik antara individu dengan dirinya sendiri atau dengan masyarakat. Kedua, memahami ekspresi membutuhkan pengetahuan terkait konteks dimana ekspresi tersebut diutarakan, dengan melaukan kajian yang sistematis terhadap konteks tersebut. Ketiga, memahami ekspresi membutuhkan pengetahuan akan sistem kultural dan sosial, sebab hal tersebut menentukan sifat ekspresi.[2] Untuk memahami kalimat yang seseorang utarakan, terlebih dahulu harus mengenal bahasa yang mereka gunakan. Oleh karena untuk mengenal bahasa harus lebih dahulu mengenal kata-kata atau diksi yang membangun bahasa tersebut, dari kata-kata tumbuhlah pemahaman akan bahasa, kemudian pada gilirannya mengenali kata-katanya dengan lebih baik. [3]
Persoalan ‘verstehen‘ diambil Dilthey dari Schleiermacher dengan praktiknya untuk penafsiran, sedang kegunaan yang utama untuk mempertahankan keabsahan penafsiran terhadap romantisme dan subyektivisme, sekaligus memberikan pembenaran bagi keabsahan itu agar menjadi dasar kepastian bagi pengetahuan historis, juga menjadi pelengkap bagi dasar Geisteswissenschaften. ‘Verstehen‘ diangkat oleh Dilthey ke dalam sistem epistemology dan metodologi. Sedang Geisteswissenschaften yaitu tentang sejarah perkembangannya, tentang ciri-ciri khasnya, tentang obyek dan tujuannya. Geisteswissenschaften menjadi kelompok ilmu pengetahuan yang mandiri berkat usaha Dilthey yang meletakkan dasar-dasar epistemologisnya, sehingga statusnya berdampingan dengan Naturwissenschaften atau ilmu-ilmu alam.
Geisteswissenschaften merupakan dasar bagi hermeneutika Dilthey, dengannya Dilthey melibatkan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak dipahaminya sekaligus merupakan bentuk pemahaman yang khusus. Ada tiga unsur penting yang terkandung dalam Geisteswissenschaften dan sebagai ciri khas bagi metode hermeneutika Dilthey, yaitu verstehen (memamahi), erlebnis (dunia pengalaman batiniyah) dan ausdruck (Ekspresi hidup) dimana ketiganya saling berkaitan dan saling mengadalkan.[4]
Verstehen atau pemahaman adalah suatu proses menelusuri kehidupan kejiwaan melalui ekspresi-ekspresi kejiwaan yang ditampakkan melalui indera atau bahasa tubuh. Memahami adalah mengetahui yang orang lain alami dengan meniru pengalamannya. Dengan kata lain, verstehen adalah menghidupkan kembali atau mewujudkan kembali pengalaman seseorang.[5]
Mengenai pengalaman, Dilthey membaginya menjadi dua, tetapi berada dalam satu konteks dan saling berkaitan. Pertama, yaitu erlebnis adalah kenyataan sadar keberadaan manusia dan merupakan kenyataan dasar hidup darimana segala kenyataan dieksplisitkan.[6] Namun erlebnis masih membedah pengalaman seseorang secara umum. Kedua, pada keadaan yang sama yaitu erfahrung adalah pengalaman yang bersifat khusus, spesifik atau dalam istilah Dilthey dikonotasikan dengan pengalaman yang hidup. Boleh dikatakan, jika erlebnis merupakan pengalaman yang “menghidupkan”, maka erfahrung merupakan pengalaman yang “dihidupkan” atau dengan kata lain yaitu “Penghayatan”. Pada dasarnya, keduanya merupakan langkah Dilthey untuk memahami manusia melalui pengalaman-pengalamannya.[7]
Bagian lain dalam memahami manusia melalui ekspresi atau ungkapan-ungkapan kejiwaan, Dilthey menyebutnya dengan audruck. Ekspresi muncul dalam berbagai form of expression (bentuk tindakan). Pertama, yaitu ekspresi bentuknya tetap dan identik, seperti rambu-rambu lalu lintas dan marka-marka jalan, wahyu jika memasukkannya ke dalam pembahasan agama. Kedua, ekspresi tingkah laku manusia. Tingkah laku ini bisa individual atau serangkaian tindakan yang panjang. Dapat dianalisis ketika ragam ekpresi tingkah laku Nabi Muhammad ketika menerima wahyu yang diberikan oleh Tuhan. Ketiga, ekspresi spontan seperti tersenyum, tertawa, kagum dan seterusnya.
Memahami diri sendiri tidak bisa terlepas dari universal manusia. Dalam artian, memahami apa yang sebenarnya terjadi dan kemudian melahirkan ekspresi yang bisa ditangkap orang lain tidak bisa terlepas dari hubungan batin antara manusia secara universal dengan masing-masing individu. Dilthey berpendapat, bahwa tidak akan mungkin bisa memahami orang lain tanpa memahami diri sendiri terlebih dahulu. Atau dalam bahasa lain, mutlak memahami diri sendiri sebelum bisa memahami orang lain. Seseorang bisa melakukan pemahaman terhadap kehidupan sangat ditentukan oleh pengalaman-pengalaman batinnya (erlebniz). Geisteswissenschaften bukanlah ilmu pasti sebagaimana ilmu-ilmu alam, namun Dilthey yakin bahwa dengan metode-metodenya dapat menjangkau ilmu-ilmu kemanusiaan dengan metode- metode ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, Frank. Refleksi tentang Sejarah Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1987.
Dilthey, Wilhelm. “The Rise of Hermeneutics”dalam New Literary History. Vol. 3 No. 2 1972.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Nelson, Eric. S. Interpreting Dilthey. Cambridge: Cambridge University Press, 2019.
Wattimena, Reza. A.A. Tentang Manusia. Yogyakarta: Maharsa, 2016. Wisarja, I. Ketut. “Hermeneutika sebagai Metode Ilmu Kemanusiaan (Perspektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey)”dalam Jurnal Filsafat. Jilid 35 No. 3 2003.
[1] Wilhelm Dilthey, “The Rise of Hermeneutics”, dalam New Literary History, Vol. 3 No. 2 Tahun 1972, hal. 231.
[2] Eric S. Nelson, Interpreting Dilthey, Cambridge: Cambridge University Press, 2019, hal. 11.
[3] Reza. A.A. Wattimena, Tentang Manusia, Yogyakarta: Maharsa, 2016, hal. 103.
[4] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 73-74.
[5] I Ketut Wisarja, “Hermeneutika Sebagai Metode Ilmu Kemanusiaan (Perspektif Hermeneutika Wilhelm Dilthey)”,dalam Jurnal Filsafat, Jilid 35 No. 3 Tahun 2003, hal. 206.
[6] Frank Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, diterjemahkan oleh Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1987, hal. 160.
[7] Eric S. Nelson, Interpreting Dilthey, hal. 10.