Rudolf Bultmann: Hermeneutik Demitologisasi dan Eksistensialisasi

annahl-islamic.sch.id

Pengetahuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami banyak perkembangan dan peningkatan, bagi manusia modern yang telah mengenal dan menggunakan alat-alat dari hasil ilmu pengetahuan dan teknologi tentu tidak mempercayai adanya mukjizat-mukjizat yang mana hal tersebut dianggap bertentangan dengan hukum alam. Dalam hal ini pula, Rudolf Bultmann sebagai seorang teolog berusaha memikirkan secara serius bagaimana sebuah kitab suci dari zaman prailmiah dapat diterima oleh manusia modern sehingga ia menawarkan suatu konsep demitologisasi agar manusia dapat percaya apa yang ada dalam kitab suci.[1]

Mitologi sering dianggap sebagai ilmu atau pengetahuan primitif, yang bermaksud untuk menjelaskan gejala-gejala dan kejadian-kejadian yang langka, yang asing atau yang mengejutkan dan yang dianggap orang sebagai akibat dari roh-roh jahat. Tetapi mitologi lebih daripada itu. Mitos berkata tentang dewa-dewa dan roh-roh jahat sebagai kuasa-kuasa yang padanya manusia bergantung. Konsep Surga dan Neraka (Surga = di atas; Neraka = di bawah) yang dianggap oleh beberapa tokoh modern abad 20-an adalah mitos yang dapat menjadi pertentangan bagi umat Kristen. Pemikiran ini seolah-olah mengatakan bahwa Allah yang bertahta di kerajaan Surga yang berada sangat jauh di atas bumi. Karena di atas bumi adalah dunia dari bintang-bintang dan dari terang, yang membuat hidup manusia bercahaya dan bahagia.[2]

Bultmann sangat serius memikirkan bagaimana Injil yang dari zaman prailmiah dapat diberikan kepada manusia modern. Pemikiran inovatif Bultmann ini tentu saja berkatian erat dengan Metode Kritik Bentuk terhadap Perjanjian Baru. Melalui metode itu Bultmann mencoba menelusuri perkembangan lebih awal dari kisah-kisah Injil dalam penurunannya dan fungsinya dalam gereja purba. Ia mau menentukan kehistorisan kisah-kisah itu. Lalu ia sampai pada kesimpulan bahwa kebanyakan ucapan Yesus tidak berasal dari Yesus sendiri tetapi hasil redaksi dari jemaat purba. Selanjutnya, Bultmann juga tidak mengakui Alkitab sebagai firman Allah yang telah diwahyukan. Menurutnya, meskipun Allah berbicara kepada manusia melalui Alkitab, namun Alkitab itu merupakan hasil pengaruh sejarah dari agama kuno dan harus diadili seperti literatur religius kuno lainnya. Prinsip Metode Kritik Bentuk Bultmann ialah merombak Injil dan kemudian mencoba menemukan bentuk asli dari Injil itu, lalu sedapat mungkin disusun kembali.[3]

Demitologisasi adalah tafsiran terhadap bagian-bagian Al-Kitab yang dianggap mitologis dengan menekankan kebenaran-kebenaran eksistensial yang terkandung dalam mitos itu. Menurut Bultman, manusia modern kesulitan untuk mengerti pemberitaan perjanjian baru yang mempunyai pandangan dunia yang sama sekali berbeda tentang dunia (manusia abad 19-20). Manusia modern tidak dapat menerima lagi bahwa  realitas ini dibagi atas 3 bagian, alam atas (Surga), alam tengah (bumi tempat manusia dan tempat pertemuan kekuasaan Ilahi dan demonis), alam bawah (Neraka). Manusia modern tidak percaya kepada roh-roh dan kuasa-kuasa yang penuh kekuatan lagi. Manusia tidak percaya lagi akan mitos-mitos yang demikian.[4]

Eksistensialisme adalah paham yang bertolak dari keberadaan manusia. Rupanya pernyataan-pernyataan mitologis yang objektif telah menjadi pernyataan eksistensialis mengenai manusia.[5] Bultmann sendiri telah mengakui menggantikan teologi dengan antropologi, menafsirkan pernyataan mengenai Allah SWT.[6]

Menurut Bultmann mukjizat tidak merupakan unsur yang penting dalam agama Kristen, tetapi hanya merupakan unsur kebudayaan kulitnya saja, dan bukan unsur yang pokok. Maka, pendapat Bultmann lebih keras, kalau orang Kristen masih menganggap dunia adikodrati bisa campur tangan dari dunia ini, kalau begitu Tuhan masih dianggap sebagai saingan manusia, maka pemikiran Tuhan Jauh dari sempurna. Tuhan mustahil merupakan objek yang bisa dilihat dalam dunia ini, dan percaya kepada mukjizat merupakan mengobjekkan penguasa adikodrati ini. Oleh karena itu cerita tentang mukjizat harus diberi pengertian yang subjektif saja.[7]

Ada beberapa bahan dan materi yang digunakan Bultmann untuk menyusun teologinya berupa: (1) Kritik historis dari teologi liberal, (2) Pengarahan kepada firman dan iman di dalam teologi dialektis, (3) Ajaran reformatoris tentang pembenaran, (4) Filsafat eksistensi Martin Heidegger. Dalam metode Bultmann merupakan pengaplikasian pikiran-pikiran eksistensial brilliant design (substansi dan temporalitas) Heidegger. Semuanya dimasak dalam dapur “Being and Time” secara konsekuen dan sistematis menjadi sesuatu yang baru dan memiliki cirinya sendiri. Tujuannya adalah sebagai pemberi arah pada soal percaya (glauben) dan mengerti (verstehen). Hal ini berarti bahwa Bultmann masih mendasarkan teologinya pada teologi dialektis, meskipun di sisi lain ia juga mengembangkan teologi liberal pada pemikiran historis kritis.[8]

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto, M. Darojat. “Rudolf Bultmann: Demitologisasi dalam Perjanjian Baru,” dalam Jurnal Suhuf , Vol. 20 No. 2 Tahun 2008.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.

Ulfiyati, Nur Shofa. “Pemikiran Hermeneutik Rudolf Bultmann: Eksistensialisasi dan Demitologisasi”, dalam Jurnal At-Thiflah, Vol. 7 No. 1 Tahun 2020. Wahyudi, Chafid. “Tuhan dalam Perdebatan Eksistensialisme”, Jurnal Teosofi, No. 2 Tahun 2002.


[1] Nur Shofa Ulfiyati, “Pemikiran Hermeneutik Rudolf Bultmann: Eksistensialisasi dan Demitologisasi”, dalam Jurnal At-Thiflah, Vol. 7 No. 1 Tahun 2020, hal. 30.

[2] M. Darojat Ariyanto, “Rudolf Bultmann: Demitologisasi dalam Perjanjian Baru”, Jurnal Suhuf, Vol. 20 No. 2 Tahun 2008, hal. 173.

[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hal. 185.

[4] Nur Shofa Ulfiyati, “Pemikiran Hermeneutik Rudolf Bultmann: Eksistensialisasi dan Demitologisasi”…, hal. 31.

[5] Chafid Wahyudi, “Tuhan dalam Perdebatan Eksistensialisme”, Jurnal Teosofi No. 2 Tahun 2002, hal. 374

[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahmi Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT. Knisus, 2015), hal. 141

[7] F. Budi Hardiman, Seni Memahmi…, hal. 139.

[8] F. Budi Hardiman, Seni Memahmi…, hal. 142

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *