Kehendak Bebas dan Keabadian Diri

2.bp.blogspot.com

Telah dibahas sebelumnya bahwa hasratlah yang menggerakkan dan bahwa hasrat yang baik adalah hasrat yang bernuansa cinta. Namun, hasrat tidak tidak dapat tumbuh tanpa lingkungan atau dunia objektif berupa dunia, individu lain, masyarakat, dan juga Sang Mutlak. Tanpa itu semua, diri yang memiliki hasrat itu tidak akan pernah tumbuh dengan semestinya. Dengan kata lain, diri hanya bisa tumbuh karena adanya interaksi dengan selain diri.

Saat diri berinteraksi dengan di luar diri yang membuatnya menjadi berkembang, apakah perkembangan itu karena diri membatasi dirinya sendiri atau luar diri lah yang membatasi diri? Baik dibatasi oleh diri sendiri maupun dibatasi oleh di luar diri, tetap saja itu berarti ada penyebab bagi perkembagan dan penyebab itu tidak mungkin tidak ada. Diri yang dimaksud di sini adalah baik diri yang bersifat material, maupun diri yang bersifat spiritual.

Bacaan Lainnya

Cara berfikir semacam kausalitas di atas berkonsekuensi dua hal. Pertama, setiap keputusan tidak bisa disebut salah atau benar karena lebih merupakan akibat dari penyebab yang ada sebelumnya. Bahkan dalam pemikiran, tidak ada kebebasan karena setiap pemikiran yang hadir hanyalah reaksi atau akibat dari aksi atau penyebab yang sebelumnya hadir. Karena itu pula, tidak ada nilai moral atas setiap keputusan akibat keterpaksaan posisi hanya sebagai akibat tadi.

Diri tidak seperti yang digambarkan di atas. Diri tidak terkekang dan bukan hanya semata reaksi atas aksi yang terjadi padanya. Memang penyebab ada dan aksi pun ada, tetapi bagaimana reaksi adalah ditentukan oleh diri itu sendiri. Diri bebas memilih reaksi ini atau memilih reaksi itu. Diri memiliki modal untuk memilih, yaitu pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri adalah hasil dari pencarian kebenaran. Jika, diri tidak mampu memilih, maka pengetahuan hanyalah upaya pencarian kebenaran pura-pura.

Karena pengetahuan adalah hasil dari upaya pencarian kebenaran, maka setiap pendapat atau pemikiran adalah hasil dari pilihan dan kehendak bebas. Kata kunci ‘kehendak’ ini penting karena dengan adanya kehendak, maka ego menjadi memiliki harga. Tanpa kehendak bebas, ego bukan apa-apa. Bahwa ego memiliki kehendak bukanlah kesimpulan yang datang dari upaya pemikiran, tetapi kehendak memang ada dan manusia bisa merasakannya lewat intuisi bahwa kehendak pasti ada. Karena kehendak pasti ada, maka kebebasan pun pasti ada. Jadi, tidak perlu dalil untuk membuktikan kehedak dan kebebasan itu ada karena itu sudah merupakan fakta kesadaran manusia itu sendiri. Dengan kata lain, intuisilah yang menyimpulkan bahwa kehendak dan kebebasan pasti ada.

Secara alami, kehendak selalu berorientasi ke masa depan, bukan ke masa lalu. Jadi, kehendak adalah semacam pendorong ego untuk mengantisipasi kedatangan masa depan. Karena itu, kehendak adalah kehendak yang bertujuan atau kehendak menjadi bahan bakar bagi ego untuk mencapai tujuan karena tujuan berada di masa depan. Posisi tujuan hanyalah keadaan alami dan bukan paksaan tertentu agar ego memiliki tujuan. Dalam hal ini, ego bebas untuk menentukan apa tujuannya, bukan bebas untuk memiliki tujuan atau tidak memiliki tujuan.

Karena bentuk tujuan ditentukan oleh ego, kehendak bebas dimiliki oleh ego, cara untuk menggapai tujuan dipilih oleh ego, maka setiap tindakan ego bisa bernilai moral, bisa buruk dan bisa baik. Tanpa perlu pembuktian apa-apa, ego bisa memahami bahwa dirinyalah penyebab utama segala tindakannya sendiri akibat kebebasan menentukan tujuan, kehendak bebas itu sendiri, dan kebebasan untuk memilih cara untuk mencapai tujuan.

Bagaimana dengan binatang? Apakah binatang memiliki ego yang menentukan sendiri tujuannya, memilih sendiri cara untuk mencapai tujuan, dan memiliki kehendak bebas?

Kata kuncinya ada di pengetahuan. Pengetahuan adalah hasil dari pencarian kebenaran. Pencarian kebenaran tidak akan ada jika tidak ada kehendak. Tanpa kehendak, pencarian tidak akan terjadi. Kehendak tidak akan berfungsi jika tidak ada tujuan karena tujuanlah yang membuat kehendak bergerak dan beranjak. Tujuan pencarian kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Lalu, kebenaran, bagi menusia, tidak hanya dicari lalu ditemukan, tetapi juga diterapkan di dalam kehidupan. Pencarian kebenaran adalah bukti bahwa manusia bebas karena pencarian meniscayakan banyak temuan yang harus dipilih dan juga banyak kehendak yang tidak sesuai kenyataan hidup hingga harus dikreasi ulang.

Penerapan kebenaran di dalam kehidupan juga adalah bukti kebebasan manusia karena kehidupan penuh dinamika dan hanya kebebasan yang bisa mengantisipasinya. Karena manusia memiliki pengetahuan yang hendak diterapkan di dalam kehidupan, maka manusia tidak menerima kehidupan apa adanya tetapi akan dikreasi ulang setakar perkembangan pengetahuannya. Dengan cara itulah ego semakin mempertajam dirinya dan menjadikan dirinya sebagai ego yang sesungguhnya.

Binatang bukanlah pencari kebenaran sehingga tidak memiliki pengetahuan dan juga tidak memiliki tujuan. Karena itu, kehendak bebas tidak ada gunanya bagi binatang karena tidak adanya tujuan yang hendak dicapainya. Dengan tidak adanya pengetahuan, maka tidak ada pengetahuan yang perlu diterapkan oleh binatang di dalam kehidupannya. Dengan kata lain, tidak perlu ada dunia yang diubah oleh binatang sesuai dengan kehendaknya.

Saat berhadapan dengan takdir dan nasib, ego tidak menjadi tidak bebas dan juga tidak berkehendak karena ego tetap dengan kehendaknya dan kebebasannya untuk membentuk kehidupan setakar pengetahuannya. Takdir dan nasib tidak lebih dari kenyataan kehidupan di mana menusia menerapkan pengetahuannya. Pasti ada jarak antara kenyataan hidup dengan kehendak dan kebebasan manusia, tatapi memang itulah intinya karena dengan jarak itulah pengatahuan manusia bisa memiliki guna. Tanpa jarak antara kenyataan hidup dengan kehendak dan kebebasan, apalah guna pengetahuan. Jadi, takdir dan nasib bukan kenyataan yang mematikan ego, tetapi justru kenyataan yang membentuk ego untuk menjadi dirinya yang sesungguhnya.

Konsekuensi daripada ego yang berkehendak dan berkebabasan adalah keabadian. Ego abadi. Sebagaimana kenyataan hidup yang hendak dikreasi ulang oleh manusia adalah abadi, maka ego yang hendak melakukan upaya kreasi ulang itupun (harus) abadi. Ego yang dimaksud di sini adalah ego universal, bukan manusia sebagai individu. Upaya untuk mengkreasi ulang kenyataan hidup melahirkan akumulasi pengetahuan yang abadi sehingga individu yang hadir belakangan tinggal melanjutkan upaya mengkreasi ulang kenyataan hidup itu.

Yang tampak tidak abadi adalah ego partikular yang hadir di setiap individu. Meski tidak abadi, ego partikular mewarisi perjuangan abadi untuk mengkreasi ulang kenyataan hidup. Bahkan kenyataan ego partikular yang tidak abadi juga adalah kenyataan hidup bagi ego untuk dikreasi ulang agar menjadi abadi sebagaimana dirinya.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *