Dikalangan sebagian sarjana muslim khususnya para pemerhati kajian tentang Al-Qur’an menjadikan hermeneutika sebagai salah satu kajian yang menarik untuk dibahas. Ada golongan yang menerima secara transparan, ada yang menolak secara utuh, namun ada pula yang menjadi penengah antara perbedaan tersebut. Penolakan terhadap hermeneutika berlandaskan pada dalil bahwa hermeneutika berasal dari terminologi Barat sehingga dikhawatirkan dapat merusak tatanan kaidah penafsiran Al-Qur’an dan menyebabkan keraguan pada keimanan umat Islam. Hermeneutika adalah produk tradisi Barat yang pada awalnya digunakan untuk menafsirkan Bibel. Adian Husaini dengan tegas mengatakan bahwa hermeneutika telah tercampur dengan polusi ideologi Barat yang kafir.
Metode hermeneutika diambil untuk menggantikan atau bahkan untuk melengkapi metode tafsir klasik. Adian Husaini menganggap bahwa masuknya hermeneutika sebagai mata kuliah wajib dijurusan tafsir dan hadits sebagai suatu problem yang serius dan dampaknya adalah perubahan dalam studi pemikiran Islam sekarang, dan masa yang akan datang, meskipun teks Al-Qur’an tidak berubah akan tetapi jika cara menafsirkannya sudah diubah maka produk tafsirnyapun juga akan berbeda[1].
Nabi Muhammad Saw menguraikan makna ayat demi ayat Al-Qur’an karena Allah SWT memberikan otoritas kepada Rasulullah untuk menjelaskan kandungan dan makna Al-Qur’an lalu disampaikan kepada umatnya, persoalan muncul ketika hermeneutika digunakan untuk memahami kitab suci, dimana teks tersebut mampu berbicara dengan generasi yang datang setelah teks tersebut lahir. Menurut Adian Husaini apabila hermeneutika diaplikasikan dalam teks keagamaan maka hanya akan menumbuhkan sikap kritis yang cenderung curiga, hermeneutika lebih mengarah pada teks sebagai produk buatan manusia mengesampingkan sifat ilahiah, dan hermeneutika sangat plural karena tafsir ini menjadi relatif sedangkan Al-Qur’an bersifat mutlak.[2]
Ahmad Shobiri Muslim mengutip pernyataan Musthafa Ya’qub dalam bukunya “Islam Masa Kini”, konsep kontekstualisasi dalam hermeneutika harus mematuhi beberapa rambu-rambu sebagai berikut: Pertama, ayat-ayat yang berkaitan tentang hal ghaib tidak layak ditafsirkan secara kontekstual. Kedua, masalah ibadah murni. Ketiga, terkait masalah hukum dimana ayat-ayatnya telah memberikan pengertian secara konkrit.[3] Di luar dari tiga hal di atas, maka Al-Qur’an membuka peluang luas untuk ditafsirkan secara konstekstual.
Hermeneutik beranggapan bahwa metodenya adalah yang paling unggul, berbeda dengan ilmu tafsir Al-Qur’an ulama terdahulu ditempatkan pada posisi teratas, dampak dari hal ini hermeneutik bisa menggeser ilmu Tafsir yang sudah ada sejak dulu, meragukan keabsahan Al-Qur’an dan berupaya agar Al-Qur’an dikritisi secara lokal ini adalah bagian dari dekonstruksi Al-Qur’an.[4]
Menurut Al-Baghdadi dalam bukunya “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an”, cara menafsirkan Al-Qur’an harus sesuai dengan cara Al-Qur’an itu sendiri. Menurutnya menafsirkan Al-Qur’an harus secara tekstual dan bukan kontekstual. Pertama, penjelasan makna kata-kata dalam susunan kalimatnya dan makna susunan ayat-ayatnya sesuai apa adanya. Kedua, Al-Qur’an harus dipahami sesuai dengan bahasa Arab. Ketiga, persoalan yang dibawakan oleh Al-Qur’an adalah Risalah Ilahiahyang diamanatkan kepada seorang Nabi dan Rasul untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Keempat, menafsirkan setiap kata harus berdasarkan bahasa Arab tidak boleh menggunakan bahasa lain. Kelima, untuk memahami kisah sejarah atau berita tidak perlu tambahan dari Taurat atau Injil. Keenam, tidak boleh menganggap Al-Qur’an teori-teori ilmiah dan fakta ilmiah ke dalam penafsiran Al-Qur’an. Ketujuh, ulama salaf memahami Al-Qur’an sesuai ijtihad masing-masing dan itu dibenarkan dalam syariat.[5]
Perkembangan ilmu sains dapat membantu membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an, namun tidak boleh dijadikan sebagai fakta ilmiah, karena jika teori tersebut dilain waktu terpatahkan oleh teori yang lain, maka akan berakibat pada penolakan ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap bertentangan dengan ilmu pengetahuan manusia. Selayaknya umat Islam harus lebih peka terhadap lahirnya metode baru melihat dengan bijak dan lebih bersikap selektif menerima hermeneutika, kaidah-kaidah penafsiran tidak boleh diindahkan demi memahami dan menginterpretasi teks-teks keagamaan.
Daftar Pustaka
Husaini, Adian dan al-Baghdadi, Abdurrahman. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Depok: Gema Insani, 2007.
Makhsuroh, Lailatul. “Implikasi Hermeneutik Al-Qur’an dalam Epistemologi Islam”, dalam Jurnal Urwatul Wustqo, Vol. 9 No. 2 Tahun 2020.
Muzayyin, “Resepsi Hermeneutika dalam Penafsiran Al-Qur’an oleh Quraish Shihab: “Upaya Menegosiasi Antara Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an Untuk Menentukan Titik Persamaan dan Perbedaan”, dalam Jurnal Nun, Vol. 01 No. 01 Tahun 2015.
Shobiri Muslim, Ahmad. “Problematika Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an”, dalam Jurnal Empiris, Vol. 24 No. 1 Tahun 2015. Supangat, “Menimbang Kekuatan dan Kelemahan Hermeneutik sebagai Metode Interpretasi Teks Keagamaan, dalam Jurnal: Islamic Studies and Humanities, Vol. 5 No. 2 Tahun 2020.
[1] Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Depok: Gema Insani, 2007, hal. 4.
[2] Supangat, “Menimbang Kekuatan dan Kelemahan Hermeneutik sebagai Metode Interpretasi Teks Keagamaan, dalam Jurnal: Islamic Studies and Humanities, Vol. 5 No. 2 Tahun 2020, hal. 105.
[3] Ahmad Shobiri Muslim, Problematika Hermeneutika Sebagai Metode Tafsir Al-Qur’an, dalam Jurnal Empiris, Vol. 24 No. 1 Tahun 2015, hal. 52.
[4] Lailatul Makhsuroh, “Implikasi Hermeneutik Al-Qur’an dalam Epistemologi Islam”, dalam Jurnal Urwatul Wustqo, Vol. 9 No. 2 Tahun 2020, hal. 271.
[5] Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Depok: Gema Insani, 2007, hal. 49-70.