Schleiermacher menyatakan bahwa konsep dasar dari hermeneutika adalah filsafat, karena filsafat merupakan bagian dari seni berpikir. Hermeneutika sebagai seni memahami diungkapkan oleh Schleiermacher sebagai berikut: “Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu dengan yang lain, maka berbicara hanya merupakan sisi luar dari berpikir, dan hermeneutika merupakan bagian dari seni berpikir itu, oleh karenanya bersifat filosofis,” lebih lanjut ia mengatakan bahwa tugas hermeneutika ada dua interpretasi gramatikal, dan interpretasi psikologis. Interpretasi gramatikal ini merupakan syarat berpikir setiap orang dan Interpretasi psikologis yang memungkinkan seseorang untuk menangkap “setitik cahaya” dari pribadi penulis.[1]
Penjelasan lebih lanjut mengenai kedua interpretasi di atas adalah sebagai berikut: Pertama, aspek gramatika merupakan intisari dari keseluruhan pemikiran atau perkataan seseorang yang diungkapkan dalam tertib berbahasa. Kedua, yakni aspek psikologis meliputi latar belakang personal dari kehidupan penulis yang menggerakkannya dalam ekspresi bahasa demikian.
Schleiermacher percaya bahwa pemahaman suatu tuturan atau ucapan (bahasa), baik verbal maupun tertulis, niscaya melingkupi dua aspek tersebut. Pertama, terkait dengan pemahaman akan suatu ekspresi yang hanya berhubungan dengan bahasa sebagai wadahnya. Tiap ucapan harus dilihat sebagai bentukan suatu bagian dari sistem linguistic interpersonal yang ada (Sprache). Kedua, ekspresi tersebut harus juga bisa dilihat sebagai bagian dari proses hidup sang penutur pembicara; sejarah internal atau mentalnya.[2]
Dengan demikian, menurut Schleiermacher ada dua pendekatan untuk dapat menelusuri keasingan suatu teks. Kedua pendekatan ini bisa dibedakan, namun tidak boleh dipertentangkan. Sebab keduanya saling memerlukan dan melengkapi satu sama lain.
Pertama, pendekatan objektif yang berdasarkan bahasa atau gramatika. Dalam pendekatan gramatikal, pemahaman atas suatu teks dicapai melalui penelitian objektif atas arti kata-kata di dalam teks itu, gaya bahasa, etimologi, dan tata-bahasa yang dipakai oleh si penulis. Pendekatan gramatikal adalah upaya rekonstruksi konteks linguistik-historis suatu teks atau aturan-aturan sintaksis suatu komunitas bahasa dimana teks itu ditulis.
Kedua, pendekatan subjektif dengan memperhatikan psikologi si penulis (interpretasi psikologis atas teks).[3] Untuk mengerti suatu teks dari masa lampau, penafsir perlu keluar dari zamannya, merekonstruksi zaman pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang dahulu berada pada saat ia menulis teksnya. Penafsir harus menyamakan diri dengan pembaca yang asli, yang menjadi sasaran utama tulisan tersebut. Penafsir merekonstruksi pemikiran, perasaan, dan maksud si pengarang, gaya bahasa yang dipakainya, dan keunikannya. Dengan demikian, penafsir seolah-olah harus pindah ke dalam hidup batin pengarang.
Pendekatan gramatikal merupakan pendahuluan (preliminary) menuju suatu pemahaman psikologis yang akan menuntut kita untuk, melalui, teks kembali kepada orang yang memroduksi teks tersebut pada awalnya. Pemahaman adalah pemahaman terhadap orang lain (other people) secara individual, tidak sekedar makna-makna atau konsep-konsep yang sifatnya umum dan supra-individual. Kedua pendekatan tersebut, baik gramatikal maupun psikologis, adalah dua pendekatan yang saling melengkapi.[4]
Jadi, bagi Schleiermacher, pemahaman yang tepat atas suatu teks akan tercapai bila pembaca memiliki pengetahuan bahasa yang dipakai oleh teks itu, entah itu bahasa sendiri maupun bahasa asing dan pengetahuan tentang psikologi si penulis itu.
Oleh karena itu, untuk memahami pernyataan-pernyataan pengarang, seseorang harus mampu memahami bahasanya sebaik memahami kejiwaanya. Semakin seseorang paham dengan suatu bahasa dan psikologi pengarang, ia akan semakin lengkap interpretasinya. Hal ini karena kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi kedua persyaratan tersebut .[5]
Meskipun demikian, Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi historis, objektif dan subjektif terhadap sebuah pernyataan. Dengan rekonstruksi objektif-historis, ia bermaksud membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran seseorang. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks “sebaik atau lebih baik lagi dari pengarangnya sendiri” dan “memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.”[6]
Menurut Schleiermacher, penafsir harus memiliki pandangan yang menyeluruh sebelum ia melakukan interpretasi lebih cermat. Bahkan hal ini mungkin juga menuntut suatu pemahaman awal atas objek atau peristiwa yang ditanyakan itu. Dari sinilah penafsir mulai dengan suatu teori tentatif atau konsep awal. Ia akan mulai dengan pengandaian atau hipotesis yang akan diperteguh atau malah musnah, tergantung pada data yang dipilih. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara metode observasi ilmiah, hipotesis, eksperimen, teori, hukum dan metode yang diajukan oleh Schleiermacher.
Ada beberapa taraf memahami, demikian juga dengan interpretasi. Taraf pertama ialah interpretasi dan pemahaman mekanis: pemahaman dan interpretasi dalam kehidupan kita sehari-hari, di jalan-jalan, bahkan di pasar, atau dimana saja orang berkumpul bersama untuk berbincang-bincang tentang topik umum. Taraf kedua ialah taraf ilmiah: dilakukan di universitas-universitas, dimana diharapkan adanya taraf pemahaman dan interpretasi yang lebih tinggi. Taraf kedua ini dasarnya adalah kekayaan pengalaman dan observasi. Taraf ketiga ialah taraf seni: di sini tidak ada aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi. Meskipun demikian, setelah mengadakan penelitian dalam mengupayakan metode terbaik untuk hermeneutik, Schleiermacher merasa bahwa semua penelitian itu sia-sia saja.
Sering terjadi bahwa sebuah kata atau kalimat sudah dianggap cukup menerangkan sebuah teks yang sulit. Merupakan hal yang biasa terjadi pada seseorang yang duduk di meja kerjanya selama berhari-hari tanpa berhasil memahami atau membuat interpretasi atas sebuah naskah, namun tiba-tiba saja ‘secercah cahaya’ melintas di benaknya dan seluruh naskah itu menjadi jelas. Schleiermacher menyatakan bahwa ini bisa saja terjadi karena pikiran kita seringkali hanya kita perlakukan sebagai sebuah benda, padahal kenyataannya pikiran kita itu adalah suatu act atau kegiatan. Pikiran kita adalah sebuah proses yang “mengalir” dan bukan sekedar fakta yang serba komplit. Oleh karena itu, kita memerlukan suatu pandangan ke dalam intuisi (anschauung) yang tidak membingungkan bila kita ingin memahami suatu teks.[7]
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.
Kuswaya, Adang. Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi. Salatiga: Salatiga Press, 2009.
Mueller. The Hermeneutik Reader. Oxford: Basil Blackwell, 1986. Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
[1] Adang Kuswaya, Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi, Salatiga: Salatiga Press, 2009, hal. 33.
[2] Mueller, The Hermeneutik Reader, Oxford: Basil Blackwell, 1986, hal. 10.
[3] Pendekatan psikologis merupakan pendekatan yang di kemudian hari lebih ditekankan oleh Schleiermacher dibanding pendekatan gramatikal.
[4] Adian dan Donny Gahral, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2006, hal. 270.
[5] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hal. 41.
[6] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat…, hal. 41.
[7] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat…, hal. 43.