Jurgen Habermas adalah salah seorang filosof kontemporer yang lahir di Gummersbach pada tahun 1929. Habermas dikenal luas sebagai salah seorang tokoh mazhab Frankfurt. Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Shule) adalah sebuah komunitas intelektual di lingkungan institute fur Sozialforschung, sebuah universitas di kota Frankfurt, Jerman. Mazhab ini dikategorikan dalam dua fase: pertama, generasi pertama, Maz Horkheimer, Herbert Marcuse dan Theodore Adorno. Pada fase ini deklarasi filsafat kritis pertama kali disuarakan oleh Horkheimer, melalui karyanya, “Traditional dan Critical Theory”, generasi pertama ini mengalami kebuntuan atau pesimisme dalam implementasi teori kritis yang mereka suarakan. Kedua, generasi pencerahan, semisal Habermas, kemudian Georg Lukacs, Karl Korsch dan Atonio Gramsci. Dimulai dari Habermaslah teori kritis benar-benar mencapai puncak performanya.[1]
Sebagai generasi kedua Mazhab Frankfurt, Habermas berupaya mengatasi kebuntuan dan merekonstruksi ulang bangunan pemikiran yang telah dibangun oleh generasi pertamanya. Mazhab ini dikenal dengan teori kritisnya. Teori ini sebenarnya dirumuskan oleh Horkheimer. Secara sederhana teori ini dapat diartikan sebagai rumusan konsep yang diarahkan untuk menguji kembali konsepsi pengetahuan sosial yang sudah mapan pada waktu itu. Kelompok mapan ini tidak lain adalah aliran positivistik-kapitalistik dengan topangan metode-metode tradisionalnya. Kondisi sosial seperti itu perlu ditelaah kembali karena dalam dataran realitasnya mereka tidak mampu lagi menjawab problem dan tantangan yang dihadapi masyarakat pada waktu itu.[2]
Salah satu sasaran kritik Habermas adalah pemikiran dialektika Hegel. Bagi Habermas dialektika yang ditawarkan Hegel belum sepenuhnya memadai, karena ia baru sebatas teori dan pemahaman saja. Dialektik Hegel masih melangit dan belum punya “kaki”. Filsafat dialektik Hegel (1770-1831) menyatakan bahwa proses sejarah itu tidak lain merupakan perkembangan terus-menerus dari apa yang disebut dengan idea. Oleh sebab itu, bagi Hegel cita pikiran lebih penting dari pada benda (materi).
Teori dialektika ini kemudian dikritik dengan dialektika Marx dan diberi “kaki” supaya dapat membumi. Karena menurutnya berpikir dialektik sesungguhnya berpikir dalam kerangka kesatuan teori dan praktek. Dengan pemikiran Marx ini pemikiran dialektik Hegel dibalikkan dan diberi “kaki” sehingga memungkinkan perubahan dalam masyarakat. Berkaitan dengan teori kritik Habermas, sebenarnya ia muncul sebagai kritik terhadap teori kritis mazhab Frankfurt sebelumnya. Teori kritis tersebut bertujuan untuk mengembangkan pembebasan (emansipasi), pemberdayaan dan penarikan diri masyarakat yang bertujuan untuk refleksi diri. Habermas berusaha melakukan rekonstruksi terhadap pandangan-pandangan Hegelian-Marxis sebelumnya. Tawaran rekonstruksi Habermas dimulai dengan suatu hipotesa antropologis bahwa kerja dan komunikasi adalah syarat masyarakat yang tak dapat direduksi.
Sebenarnya, inti dari pemikiran Habermas adalah kritik terhadap Marx. Menurut Habermas meskipun pandangan Marx merupakan suatu teori kritis, tetapi Marx terjebak pada positivistik sosial, sebab Marx mereduksi manusia pada suatu macam tindakan saja, yaitu kerja. Bagi Habermas pandangan Marx ini harus direkonstruksi, bahwa dimensi kerja saja tidaklah cukup dan belum memadai, sebab manusia akan “teralienasi”. Oleh sebab itu, harus ditambah dengan dimensi komunikasi. Kerja dan komunikasi merupakan dua macam tindakan dasar manusia. Jika kerja merupakan sikap manusia kepada alam, maka komunikasi merupakan sikap manusia terhadap yang lain.
Hubungan manusia dengan alam tidaklah berjalan simetris, sebab ketika manusia mengerjakan alam ini senantiasa aktif, sedangkan alam sebagai bahan bersikap pasif. Dengan demikian, kerja tidak lain artinya bahwa manusia menguasai alam, sedangkan komunikasi merupakan hubungan yang simetris atau timbal-balik. Komunikasi bukanlah hubungan kekuasaan, sebab hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak saling mengakui kebebasan dan saling percaya.[3]
Sementara karakter dari sebuah pemahaman adalah kebalikan dari karakter penjelasan. Ia bersifat experiental-oriented-subjektif, ia juga merupakan tempat bertemunya pengertian teoritis (penjelasan) dan pengalaman (pemahaman), sehingga bangunan makna yang terdapat di dalam obyek juga terpengaruh oleh sang subyek. Jadi subyek berhak memaknai sebuah obyek. Dari sifat-sifat pemahaman ini subyek dituntut aktif dalam usaha menemukan makna. Tanpa subyek tak akan ditemukan makna obyek.
Dengan kombinasi dialektis antara konsep penjelasan dan pemahaman, maka Habermas berusaha mengawinkan anatara subjektivitas dengan objektivitas, antara yang otentik dengan akulturatif, antara yang saintis dengan yang filosofis. Dengan ini, dari sudut saintis, Habermas berusaha melakukan pembumian makna, supaya ia bisa ditangkap oleh otak manusia. Sementara dalam sudut filosofis, ia hendak melakukan dialogisasi makna antara bahasa murni dan bahsa tak murni (filosofis).
Dengan demikian, rekonstruksi teori kritis sosial Habermas secara tegas diwujudkan pada teori komunikasi sosialnya. Teori ini merupakan salah satu upaya untuk membangun kembali teori kritik yang dikemukakan oleh Karl Marx sebagai representasi mazhab Frankfurt waktu itu.
Daftar Pustaka
Fahrudin, Arif. Jurgen Habermas dan Program Dialektika Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental. Yogyakarta: Ircisod, 2000.
Mustaqim, Abd. “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas dan Implikasinya di Era Pluralisme”. Dalam Jurnal Refleksi. Vol. 2 No. 1 Tahun 2002. Zuhri. “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas”. Dalam Jurnal Refleksi. Vol. 4 No. 1 Tahun 2004.
[1] Arif Fahrudin, Jurgen Habermas dan Program Dialektika Hermeneutika-Sains, dalam Hermeneutika Transendental, Yogyakarta: Ircisod, 2000, hal. 189.
[2] Zuhri, “Hermeneutika dalam pemikiran Habermas”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 4 No. 1 Tahun 2004, hal. 15-16.
[3]Abd. Mustaqim, “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas dan Implikasinya di era Pluralisme”, dalam Jurnal Refleksi, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hal. 20.