Tradisi klasik konstruksi pemaknaan atas agama senantiasa menempatkan teks sebagai sumber referensi. Kitab suci yang merangkum gugusan teks tersebut dimaknai sebagai kebenaran objektif yang bersumber dari Ilahi. Dalam tradisi Islam, Muhammad Saw sebagai pembawa pesan tidaklah berdiri sendiri, melainkan semata figur penyampai yang sama sekali tidak memiliki intensionalitas pada teks. Apa yang disampaikannya tiada lain hanya wahyu yang diberikan kepadanya.
Dalam rumusan tersebut, subjektivitas Muhammad Saw sama sekali tercerabut. Tersisa kalamAllah SWT yang kosong dari intervensi. Untuk menegaskan objektivitas makna atas teks, Muhammad Saw dibentuk sedemikian rupa sebagai sosok yang memiliki keheningan hasrat manusiawi sejauh menyangkut isi dan makna teks. Sebelum mengemban amanah kerasulan, dadanya dibelah untuk menyucikan hasrat-hasrat manusiawi yang berpotensi men-deviasi pemaknaan ilahiah atas kalam yang akan disampaikan kepada umatnya.
Narasi Objektif
Nilai objektivitas yang terkandung pada kebenaran mengandaikan narasi tunggal yang mendeterminasi pemaknaan. Potensi-potensi alternatif pada pemaknaan atas teks sulit diterima, mengingat narasi-narasi kecil hanya memungkinkan munculnya pemaknaan-pemaknaan subjektif. Bagi teks, makna fondasional harus dimatangkan terlebih dahulu. Jika pun kemudian bertebaran pemikiran alternatif, tidak akan terlepas dari narasi tunggal yang mendasarinya.
Konstruksi pemaknaan objektif seperti ini menjadi persoalan dalam tradisi pemikiran modern. Teks tidak lagi hanya membutuhkan penjelasan, namun juga penafsiran. Hasrat untuk menjelaskan makna teks hanya menyisakan pemaknaan yang berulang dan sulit berdialog dengan realitas. Sebab penjelasan masa lalu tidak cukup menjawab persoalan dan dinamika realitas yang senantiasa berkembang.
Pada titik itulah diskursus hermeneutika menjadi instrumen pemikiran dalam upaya memaknai teks agar senantiasa relevan dengan kebutuhan zaman. Walhasil, objektivisme menjadi persoalan tersendiri. Subjektivisme menjadi tawaran yang tidak lagi bisa dihindari. Hermeneutika sendiri menunjukkan bahwa determinasi dan keteraturan akan pemaknaan terhadap teks tidak lagi cukup menjadi landasan pemikiran. Realitas sosial dan budaya tidaklah seperti realitas mekanis sebagaimana ditunjukkan pada diskursus ilmu alam. Jika ilmu pengetahuan alam bisa dijelaskan berdasarkan keteraturan, determinasi dan mekanisasi yang dimiliki, maka realitas sosial budaya tidak bisa dijelaskan seperti itu, karena senantiasa berubah dan memiliki kenyataan yang tidak sama.
Objektivisme seringkali memandang bahwa ada realitas kebenaran “di luar sana” yang terpisah dari pemahaman individu. Meski Muhammad Saw adalah seorang manusia, tapi ia bukanlah manusia biasa. Meski Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, bahasa kaum Muhammad Saw, namun kenyataan itu tidak cukup membuktikan bahwa Muhammad Saw memiliki pemaknaan tersendiri atas teks Al-Qur’an. Apapun yang disampaikannya tidak lain adalah maksud Allah SWT.
Subjektivitas Teks
Bagi para penganjur kajian hermenutika, Al-Qur’an diakui sebagai kalam ilahi. Namun kalamyang mewujud dalam bentuk teks tersebut memerlukan penafsiran. Tujuannya untuk menghubungkan teks-teks suci dengan realitas yang mengitarinya, agar mampu memproduksi makna-makna baru dalam merespons persoalan sosial-kemasyarakatan yang tidak sepenuhnya sama dengan realitas saat teks pertama kali disampaikan.
Hans-Georg Gadamer (1900–2002) adalah salah seorang penganjur hermeneutika yang mempopulerkan unsur subjektivitas dalam pemaknaan atas teks. Menurutnya, isi teks berdiri sendiri dan mandiri, tidak bergantung pada ide awal pengarang atau penulis. Dengan demikian, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun. Saat teks dilepas dan dipublikasikan, maka ia tidak lagi berkaitan dengan penulis. Baginya, “penulis” telah mati (the author is dead). Seorang penafsir tidak perlu memasuki pemahaman dan tradisi penulis dalam menafsirkan teks. Seorang penafsir harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimiliki saat ini, apa yang dilihat dan apa yang diperoleh kemudian. Penafsiran memproduksi wacana baru, tidak sekedar memproduksi ulang tradisi lama.
Menurut Gadamer, pembaca tidak mungkin meraih kebenaran objektif, sebagaimana wujud sesuatu itu sebenarnya. Yang ada hanyalah penafsiran atau konstruksi sosial atas teks. Gadamer mencontohkan kata “meja”. Kata tersebut memuat konsep seperti: memiliki empat kaki, bertingkat dan bersegi empat. Konsep tersebut merupakan wujud riil. Namun ia tidak bisa dipisahkan dari konsep tentang “meja” yang berbeda dengan “kursi”, atau konstruksi pemahaman masyarakat tentang meja tersebut. Mungkin juga meja secara hakiki tidak ada. Seperti halnya wujud kata yang tak berbentuk, seperti “pendidikan”. Sulit menjelaskan kata tersebut secara riil, sebab bergantung pada konsep, definisi dan anggapan subjek. Para politisi memiliki pemaknaan berbeda tentang pendidikan dengan para ilmuwan. Pada saat itu, analisa subjektif tidak bisa dihindari. Objektivitas murni itu tidak ada. Hal itulah yang menegaskan bahwa hermeneutika tidak memandang persoalan secara linear atau sempit, melainkan memandang sesuatu sebagai sebuah lingkaran. Lingkaran yang diisi oleh subjek, cakrawala pemahaman dan objek. Ketiga hal tersebut saling mempengaruhi dan tidak berdiri sendiri.
Dalam melakukan analisa, cakrawala sosio-historis dan kultural pembaca atau penafsir ikut berperan, sehingga perbedaan cakrawala (horizon) penafsir dengan pelaku sosial atau penulis teks (objek) harus dipertimbangkan. Penafsiran pada akhirnya adalah sebuah proses dialektis dan dialogis, senantiasa berkembang dan tidak mengenal finalitas.
Kembali pada Teks
Dalam konteks pemikiran Gadamer, pemaknaan atas Al-Qur’an sejatinya merupakan pemaknaan subjek. Tidak ada kebenaran tunggal yang menguasai dan mendeterminasi pemaknaan terhadap Al-Qur’an, sebab semua makna yang terhampar tidak lebih sebagai tafsiran atas teks. Pembaca dan peneliti pun tidak perlu mencurahkan energi dan hasrat yang menggebu untuk menghasilkan makna berupa kebenaran yang harus dianut dan diperpegangi. Semua produk pembacaan atas teks Al-Qur’an hanyalah tafsiran subjektif mereka yang mengkaji dan mencurahkan perhatian pada teks.
Hanya dengan demikian, pemaknaan atas teks senantiasa berkembang dan relevan untuk diperbincangkan. Kandungan Al-Qur’an yang dipandang shalih li kulli zaman wa makan sejauh dimaknai sebagai sesuatu yang relevan, bukan meneguhkan pemaknaan awal yang juga pada dasarnya merupakan tafsiran.
Tidak mudah mengajukan hermeneutika subjektif Gadamer sebagai metodologi alternatif dalam membaca teks. Banyak kalangan memandang bahwa hermeneutika tidak cukup dikenakan pada teks Al-Qur’an yang bersumber dari ilahi agar kemurniannya tetap terjaga dari hasrat-hasrat manusiawi yang dipandang cenderung deviatif (menyimpang). Hermenutika hanya layak diajukan dalam pembacaan teks-teks ucapan manusia, semisal Injil atau Bible serta Hadits. Bahkan yang terakhir ini pun masih mengundang polemik yang tidak berkesudahan, mengingat Muhammad Saw Saw tidak akan mengungkapkan suatu hal kecuali ungkapan itu bersumber dari wahyu Allah SWT.
Namun tantangan masa depan yang dialami oleh teks membutuhkan relevansi. Pembacaan ulang terhadap teks agar tetap responsif dan akomodatif mengandaikan hermeneutika subjektif sebagai metode alternatif. Jika tidak, maka publik pembaca dan pengkaji teks Al-Qur’an hanya akan bergelut pada pengulangan-pengulangan makna yang sulit melahirkan wacana-wacana baru.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, Kees. Filsafat Barat Abad XX. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Bleicher, Josef. Contemporary Hermeneutics. London: Routledge & Kegan Paul, 1980.
Heywood, David dan Ian Stronach. “Philosophy and Hermeneutics”, dalam Bridget Somekh dan Cathy Lewin, Research Methods in the Social Science. London: Sage Publications, 2005. Sumaryono, E. Hermeneutik. Yogyakarta: Kanisius, 1996.