Memahami Sebagai Menangguhkan: Derrida dan Hermeneutika Radikal

klimg.com

Derrida bernama lengkap Jacques Derrida. Ia lahir di Aljazair pada tanggal 15 Juli 1930 dari sebuah keluarga Yahudi di El-Biar dekat Aljir di negara Aljazair. Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Pada tanggal 9 Oktober 2004, ia meninggal dunia di usia 74 tahun karena penyakit kanker.[1]

Perjalanan studinya penuh dengan dinamika gagal sukses. Beberapa kali Derrida pernah gagal dalam ujian. Derrida berhasil diterima dan kuliah di Ecole Normal Superieure (ENS) Paris pada tahun 1952, setelah dua kali gagal dalam ujian masuk. Di ENS, Derrida menekuni bidang Psikologi dan Etnologi serta menjadi aktifis nonkomunis sayap kiri. Di ENS pun ia pernah gagal ujian lisan agregasi di bidang Psikologi, sampai pada akhirnya ia berhasil dan ditunjuk sebagai auditor khusus di beberapa universitas terkenal seperti Harvard, Cambridge dan Massachussetts. Antara tahun 1960-1964 ia mengajar di Universitas Paris I Sorbonne-Pantheon. Di tahun 1983 Presiden Francois Mitterand memintanya untuk mendirikan College International de Philosophie, sebuah pusat pengajaran filsafat yang terbuka untuk umum.

Dalam lima dasawarsa karir intelektualnya, ia sudah menulis lebih dari 100 jilid buku. Beberapa karyanya yang termasyhur adalah La Voix Et Le Phenomene (Tuturan dan Fenomena, 1967), De La Grammatologie (Tentang Gramatologi, 1967), Marges De La Philoshophie (Pinggiran-Pinggiran Filsafat, 1972).[2]

Pada intinya pemikiran Derrida ini dilatarbelakangi oleh ontologi Heidegger, fenomenologi dan postrukturalime Prancis.[3] Kemudian berkaitan dengan teori itu muncul karena kritik terhadap Saussurian. Ferdinand de Saussure merumuskan teorinya melalui dua oposisi biner (dua hal yang berlawanan), seperti besar dan kecil, ucapan dan tulisan, ada dan tidak ada, murni dan tercemar, dan seterusnya. Dalam pandangannya bahwa yang pertama selalu superior atau sempuna, utama, sedangkan yang kedua disingkirkan atau marginal.

Derida tertarik untuk mengkritik filsafat modern karena filsafat modern identik dengan pandangan metafisika kehadiran dan logosentrisme. Metafisika kehadiran menjelaskan bahwa suatu konsep atau teori akan dibenarkan jika sudah mewakili “being” (ada). Suatu yang ada tersebut bisa diwakili oleh kata, tanda dan konsep.

Istilah dekonstuksi ini dikenalkan oleh Derrida sejak ia memberikan ceramah di Amerika dalam sebuah artikel. Pemikiran Derrida juga bukan suatu yang khas dalam hal dekonstruksi. Jika kita melihat perkembangan filsafat Prancis dan bahkan di Jerman, ada beberapa filosof yang sudah berbicara tentang dekonstruksi. Mereka disebut proto-dekonstruksionis Walter Benyamin dan Nietzsche.[4]

Seperti yang dikatakan oleh Derrida sendiri pas de method, pas artinya baik “tidak” maupun “metode”.  Jika kita ingin memahami dekonstruksi, dekontrsuksi bukan cara atau metode. Dalam Bahasa Perancis kata pas berarti bukan. Tetapi ternyata pas juga berarti metode. Berarti dekonstruksi itu bukan metode sekaligus langkah. Ini membingungkan karena langkah itu juga berarti metode. McQuilan mengatakan ada lima strategi untuk memahami dekonstruksi.[5]

Pertama, dekonstruksi berarti sebuah peristiwa; peristiwa pembacaan. Kalau kita memahami dekonstruksi sebagai sebuah metode berarti kita akan mengulangi cara yang sama. Tetapi itulah yang tidak ingin dilakukan oleh seorang dekonstruksianis, seperti Derrida.

Kedua, dekonstruksi adalah kontaminasi oposisi-oposisi biner. Misalnya, oposisi biner itu seperti badan dan jiwa, maskulin dan feminim, laki-laki dan perempuan, siang dan malam, timur dan barat dan seterusnya. Dengan adanya oposisi biner ini, maka ada hegemoni makna dari salah satu kutub dan kutub lain menjadi marginal. Misalnya kutub laki-laki, siang, maskulin, badan, akan lebih dominan sedangkan kutub perempuan, barat, malam, feminisme, dan seterusnya menjadi terpinggirkan.

Ketiga, dekonstruksi juga bisa dijelaskan sebagai suatu proses pembacaan yang meminati yang terpingggirkan, seperti coretan di dinding. Kalau dalam konteks oposisi biner, maka semua yang dimarginalisasikan dalam oposisi biner itu yang diminati.

Keempat, dekonstruksi adalah sejarah. Istilah-istilah yang diunggulkan dalam oposisi-oposisi biner, juga tidak stabil dan mendekostruksi diri dan hal yang terjadi di dalam sejarah. Setiap istilah memiliki sejarahnya dan sejarah juga menunjukan bahwa istilah itu tidaklah stabil.

Kelima, tidak ada yang bebas-teks. Dalam pembacaan dekonstruktif makna teks mengacu pada rangkaian jejak-jejak, yaitu konteks-konteks yang ada dalam teks itu yang memberi makna. Dekonstruksi menghentikan upaya rehabilitasi ataupun kontruksi seperti dalam kasus Schleiermarcher, Dilthey dan dalam kasus Gadamer.

Dekonstruksi merupakan sebuah bentuk interpretasi teks, tetapi interpretasi itu tidak sama dengan para filosof yang telah kita bahas. Perbandingan dengan hermeneutik Schleiermacher dan Dilthey merekonstruksi makna, ada makna di masa lalu dicoba dihadirkan kembali, Gadamer itu mengkonsumsi makna baru. Tetapi dekonstruksi mempersoalkan makna, konsep makna itu sendiri. Jika pembaca begitu yakin akan sebuah makna maka ia akan berpegang teguh padanya dan tidak akan berubah perspektifnya. Maka ia akan menjadi piranis, karena lewat posisi makna pembaca mendefinisikan sub-sub makna lainnya. Derrida cenderung mengatakan makna itu tidak bisa diputuskan. Jadi aktivitas interpretasi juga tanpa fondasi. Interpretasi bisa tak terhingga. Gadamer sudah hampir melakukan dekonstruksi tetapi belum radikal. Ini adalah sebuah interpretasi teks yang dilakukan secara radikal. Hermeneutik radikal berkaitan dengan teori milik Derrida yakni teori dekonstruksi. Oleh karena cara pikirnya yang sungguh berbeda dengan pemikir-pemikir modernis.

Dekonstruksi sebagai hermeneutik radikal ditandai dengan pergantian perpektif terus-menerus sehingga maknanya “tidak dapat diputuskan”. Karena misalnya ada sebuah teks dibaca, makna yang lain sudah muncul dan siap untuk membatalkan interpretasi pembaca. Sehingga batal interpretsi pembaca karena makna itu akan muncul. Jika makna itu diambil maka makna yang lain akan muncul dan akan terus seperti itu. Sehingga sebuah interpretasi diwarnai dengan peralihan interpretasi terus-menerus. Karena interpretasi terus berganti maka makna tidak pernah bisa diputuskan.[6]

DAFTAR PUSTAKA

Derrida, Jacques. Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual. Yogyakarta: Jalasutra, 2002.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015. Sudiarja, A. “Jacques Derrida: Setahun Sesudah Kematiannya.” Jurnal BASIS, No. 11-12 November-Desember 2005, hal. 5.


[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 277.

[2] A. Sudiarja, “Jacques Derrida: Setahun Sesudah Kematiannya,” dalam Jurnal BASIS, No. 11-12 November-Desember Tahun 2005, hal. 5.

[3] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 277.

[4] Jacques Derrida, Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual, Yogyakarta: Jalasutra, 2002, hal. 201.

[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 278.

[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, hal. 287.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *