Sebagai sumber hukum Islam yang pertama, Al-Qur’an adalah kebutuhan mendasar umat Islam. Sebab dengan Al-Qur’an umat Islam akan menjalani kehidupan dunianya dengan baik dan selamat di kehidupan akhirat nanti. Untuk kepentingan inilah kandungan Al-Qur’an harus dipelajari dan dipahami agar menemukan makna yang menopang kepentingan tersebut.
Dalam memahami kandungan Al-Qur’an, umat Islam telah memiliki ilmu tafsir yang dikhususkan untuk itu sejak awal. Ilmu ini telah digunakan sebagai alat pembaca wahyu Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw yang kemudian menjadi penafsir Al-Qur’an pertama. Oleh karena “pemberian informasi” dalam proses komunikasi dapat berlangsung apabila melalui kode tertentu, maka dapat dipastikan bahwa konsep kode melekat (inherent) di dalam konsep wahyu, dan kode yang dipergunakan dalam proses komunikasi tersebut pastilah kode bersama antara pengirim dan penerima, dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi wahyu tersebut.[1]
Muhammad Husain menuliskan, “Dalam memahami tafsir Al-Qur’an, para sahabat menjadikan ajaran Rasulullah Saw sebagai rujukan kedua setelah Al-Qur’an. Saat menemukan kesulitan dalam memaknai Al-Qur’an, mereka bertanya langsung kepada beliau yang kemudian menjelaskan apa yang mereka tanyakan tersebut.”[2]
Tafsir Sebagai Media Membumikan Al-Qur’an
Sebagai panduan hidup abadi, nilai Al-Qur’an harus bisa diimplementasikan dalam berbagai zaman dan bentuk kehidupan (shâlih li kulli zamân wa makân). Sebab, tantangan yang dihadapi oleh umat Islam tidak pernah berhenti bahkan terus berkembang. Oleh karena itu, umat Islam harus melibatkan Allah dengan mempelajari Al-Qur’an, sebab memahaminya adalah hal yang sangat penting sebagai kunci perbendaharaan yang termuat dalam Al-Qur’an yang diturunkan untuk kemaslahatan manusia. Jadi, tanpa ilmu tafsir yang menjadi sarananya, mustahil kita bisa sampai pada perbendaharaan dan simpanan yang terdapat dalam Al-Qur’an itu.[3]
Terkait dengan tuntutan kesesuaian nilai Al-Qur’an dengan segala zaman dan tempat, M. Ilham Muchtar menukil pendapat Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer yang berkata, “Al-Qur’an itu memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Dengan demikian, ayat selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.”[4]
Namun untuk memahami dan menafsirkan sebuah teks disyaratkan juga mengetahui sejarah, kondisi sosial, psikologi masyarakat waktu lahirnya sebuah teks, dan tradisi di mana teks dilahirkan. Dalam hal inilah teori hermeneutika hendak memposisikan dirinya sebagai metode memahami dan menafsirkan terhadap “realitas kondisi sosial yang absen dari pembahasan,” baik karena waktu dan tempat yang sudah berlalu lama yang realitas itu hadir digambarkan oleh teks.[5]
Tafsir Al-Qur’an Dan Hermeneutika
Penetapan hermeneutika sebagai alat tafsir Al-Qur’an ditentang oleh Adian Husaini. Sebab hal ini sudah menyangkut cara menafsirkan Al-Qur’an. Meskipun teks Al-Qur’an tidak diubah, tetapi jika cara menafsirkannya sudah diubah, maka produk tafsirnya juga berbeda. Dengan hermeneutika, maka hukum-hukum Islam yang selama ini sudah disepakati kaum Muslimin bisa berubah.[6]
Yudian Wahyudi juga mengungkapkan di antara alasan penolakan itu bahwa seperti halnya hermeneutika yang selama ini digunakan oleh para ilmuwan barat dalam menginterpretasikan kitab suci Bible dan merupakan hasil adopsi dari peran Hermes yang menafsirkan pikiran alam Tuhan sehingga berakibat pesan verbatim dari Tuhan pun hilang dan kemudian bercampur baur dengan pikiran Hermes, sehingga jika diterapkan pada Al-Qur’an akan berakibat pada ketidakotentikan dalam melakukan interpretasi atau penafsiran.[7]
Dampak Hermeneutika
Adian meyakini bahwa penerapan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an adalah merupakan kekeliruan dengan beberapa sebab:
- Relativisme Tafsir
Praktek hermeneutika terhadap tafsir Al-Qur’an akan memunculkan paham relativisme tafsir. Tidak ada tafsir yang tetap. Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal dan personal. Singkatnya, dari paham relativisme ini semua manusia bisa salah.[8]
- Curiga dan Mencerca Ulama Islam
Adian mengutip tulisan M. Kholidul Adib Ach, dalam sebuah artikel berjudul “Al-Qur’an dan Hegemoni Arabisme” yang secara terbuka menyerang integritas kepribadian dan keilmuan Imam Syafi’i. Ia menulis “Syafi’i memang terlihat sangat serius melakukan pembelaan terhadap Al-Qur’an mushaf Utsmani, untuk mempertahankan hegemoni Quraisy. Maka, dengan melihat realitas tersebut di atas, sikap moderat Syafi’i adalah semu. Dan sebenarnya, sikap Syafi’i yang demikian itu tidak lepas dari bias ideologis Syafi’i terhadap suku Quraisy.”[9]
- Dekonstruksi Konsep Wahyu
Penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an juga cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia) dan abai terhadap hal-hal yang bersifat transenden (ilahiah). Dalam bingkai hermeneutika, Al-Qur’an jelas tidak mungkin dipandang sebagai wahyu Tuhan, lafaz dan makna sebagaimana dipahami mayoritas umat Islam, tetapi ia merupakan produk budaya atau setidaknya wahyu Tuhan yang dipengaruhi oleh budaya Arab, yakni budaya di mana wahyu diturunkan.[10]
Daftar Pustaka
Abu Zaid,Nasr Hamid. Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdhiyyin dari judul Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. Cet. IV. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2005.
Adzim, Imam Subarul. Pendekatan Hermeneutik Dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Pluralisme Agama. Cet. I. Yogyakarta: Sulur Pustaka, 2021.
Husain, Muhammad. Al-Tafsir wal Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah. T.th.
Husaini, Adian, dan Abdurrahman al-Baghdadi. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Cet. I. Jakarta: Gema Insani Press, 2008.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Cet. III. Bandung: Tafakur, 2011.
Muchtar, M. Ilham. “Analisis Konsep Hermeneutika Dalam Tafsir Al-Qur’an”. Dalam Jurnal Hunafa. Vol. 13 No. 1 Tahun 2016. Wahyudi, Yudian. Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Mencari Islam dari Kanada dan Amerika. Cet.V. Yogyakarta: Nawasea Press, 2006.
[1] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdhiyyin dari judul Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Cet. IV, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2005, hal.30.
[2] Muhammad Husain, al-Tafsir wal Mufassirun, Jilid 1, Kairo: Maktabah Wahbah, t.th, hal. 36.
[3] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. III, Bandung: Tafakur, 2011, hal. 13.
[4] M. Ilham Muchtar, “Analisis Konsep Hermeneutika Dalam Tafsir Alquran”, dalam Jurnal Hunafa, Vol. 13 No. 1 Tahun 2016, hal. 68.
[5] Imam Subarul Adzim, Pendekatan Hermeneutik Dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Pluralisme Agama, Cet. I, Yogyakarta: Sulur Pustaka, 2021, hal. 32.
[6] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Alqur’an, Cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2008, hal. 4.
[7] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika; Mencari Islam dari Kanada dan Amerika, Cet. V, Yogyakarta: Nawasea Press, 2006, hal. vii.
[8] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an…, hal.17-18.
[9] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an…, hal. 29.
[10] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an…, hal. 33.