Berbicara mengenai hermeneutik, orang memandangnya sebagai bentuk ilmu tafsir yang mendalam dan bercorak filosofis, sementara apabila menyinggung mengenai tafsir, orang pasti akan teringat pada salah satu variabel dalam agama, yaitu kitab suci. Kitab suci memang merupakan salah satu variabel agama yang terdekat dengan hermeneutik, karena memang hermeneutik pada dasarnya muncul sebagai salah satu metode untuk memahami kitab suci, termasuk kitab suci umat Islam, Al-Qur’an.[1] Namun, hingga saat ini perdebatan apakah teori hermeneutik yang notabene berasal dari Barat tersebut bisa diintegrasikan dengan Ulumul Qur’an, dan karenanya bisa digunakan untuk penafsiran Al-Qur’an, diperdebatkan di lingkungan umat Islam. Ada tiga kelompok besar dalam hal ini. Sebagian sarjana Muslim menolaknya secara utuh, sebagian lain menerimanya secara utuh, dan sebagian lagi menerimanya secara bersyarat.[2]
Hermeneutik berasal dari akar kata Yunani hermeneuein berarti ‘menafsirkan’, sedang hermeneia sebagai derivasinya berarti ‘penafsiran’. Kedua kata tersebut diasosiasikan mempunyai kaitan dengan tokoh yang bernama Hermes atau Hermeios yang dalam mitologi Yunani kuno dianggap sebagai utusan dewa Olympus yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia.[3] Ricouer mendalami pikirannya tentang hermeneutik ini secara metodologis. Hermeneutik pada dasarnya berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa, kita berbicara dan menulis dengan bahasa, kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa. Hermeneutik adalah cara baru untuk bergaul dengan bahasa sebagai sebuah teks baik lisan maupun tulisan. Ketika manusia berhadapan dengan suatu teks, setiap teks terkandung di dalamnya suatu dunia yang unik sebagai kompleks nilai bagi manusia. Kleden menggarisbawahi pikiran Ricouer dan melanjutkan pertanyaan tentang dampak dunia teks pada subjek: pendengar atau pembaca. Metode hermeneutik dalam hal ini tidak terlepas dari sejarah masyarakat pemilik teks sebagaimana disampaikan Gadamer tentang wirkungsgeschictliches bewusstsein atau kesadaran sejarah yang efektif.[4]
Dekonstruksi sebagai hermeneutik, pemikiran Derrida jauh lebih luas daripada topik hermeneutik dan pemahaman yang dibahas di sini. Jika membahasnya di sini dalam rangka hermeneutik dan pemahaman, saya pasti telah menyingkirkan banyak hal dari pemikirannya dan memusatkan diri hanya pada topik yang menjadi minat ulasan dalam bagian ini. Saya secara arbiter telah memaksanya masuk ke dalam hermeneutik. Pemikiran Derrida dikenal dengan nama dekonstruksi dan tidak dapat disamakan dengan hermeneutik yang telah kita bahas di sini.
Dekonstruksi adalah sebuah interpretasi teks yang dilakukan secara radikal dan kita dapat menyebutnya “hermeneutik radikal”. Mungkin rumusan ini juga terlalu memastikan sesuatu yang sangat dihindari oleh Derrida, namun kita mau tak mau perlu bertolak dari rumusan. Bagaimana memahami kekhasan dekonstruksi sebagai hermeneutik radikal? Mengapa tidak disebut saja dengan “kritis” atau “kecurigaan”? Ketiga istilah itu membedakan diri dari pengertian hermeneutik normal yang berbeda-beda. Kata “normal” yang dipersoalkan dalam hermeneutik kritis dan hermeneutik kecurigaan mengacu pada susunan makna teks yang dimengerti bersama baik oleh penulis maupun pembacanya, maka problem yang digumuli oleh kritik dan kecurigaan adalah gangguan normalitas tersebut, seperti dalam kasus psikopatologi. Kata “normal” atau “hermeneutik normal” yang di acu oleh dekonstruksi berbeda.[5]
Dekonstruksi Hermeneutik Radikal
Dekonstruksi merupakan sebuah bentuk interpretasi teks, tetapi interpretasi itu tidak sama dengan para filosof yang telah kita bahas. Perbandingan dengan hermeneutik sebelum Derrida, F. Schleiermacher, dan Dilthey merekonstruksi makna. Ada makna di masa lalu dicoba yang dihadirkan kembali. Hans Georg Gadamer itu mengkonsumsi makna baru, tetapi dekonstruksi mempersoalkan konsep makna itu sendiri. Jika pembaca begitu yakin akan sebuah makna, maka ia akan berpegang teguh padanya dan tidak akan berubah perspektifnya. Maka ia akan menjadi piranis, karena lewat posisi makna, pembaca mendefinisikan sub-sub makna lain. Derrida cenderung mengatakan makna itu tidak bisa diputuskan. Jadi aktivitas interpretasi juga tanpa fondasi. Interpretasi bisa tak terhingga. Gadamer sudah hampir melakukan dekonstruksi tetapi belum radikal. Ini adalah sebuah interpretasi teks yang dilakukan secara radikal. Hermeneutik radikal berkaitan dengan teori milik Derrida, yakni teori dekonstruksi. Oleh karena itu, cara pikirnya yang sungguh berbeda dengan pemikir-pemikir modernis.
Dekonstruksi sebagai hermeneutik radikal ditandai dengan pergantian perspektif terus-menerus sehingga makna “tidak dapat diputuskan”. Karena misalnya ada sebuah teks dibaca, makna yang lain sudah muncul dan siap untuk membatalkan interpretasi pembaca. Sehingga batal interpretasi pembaca karena makna itu akan muncul. Jika makna itu diambil, maka makna yang lain akan muncul dan akan terus seperti itu. Sehingga sebuah interpretasi diwarnai dengan peralihan interpratsi terus-menerus. Karena interpretasi terus berganti, maka makna tidak pernah bisa diputuskan. Seperti kata F. Budi Hardiman dalam sebuah kuliah kelas Filsafat bahwa seorang pembaca dekonstruksi tidak akan memberikan jawaban apa makna teks itu, tetapi hanya akan bisa mengatakan, “ada makna ini, ada makna itu…tetapi makna yang sesungguhnya, saya tidak bisa memutuskan.” Maka akan berbeda dengan para pembaca positifis akan mengatakan dengan tegas “maknanya ini”.
Kesimpulan
Memahami sebagai menangguhkan makna, maka dekonstruksi adalah sebuah cara baca. Memahami teks yang dibaca itu lebih merupakan proses kognitif meski bukan proses metodologis seperti pada Dilthey dan bukan konsep eksistensial seperti pada Heidegger. Namun jika di dalam hermeneutik biasa targetnya adalah memahami makna, entah dengan mereproduksinya (Schleiermacher dan Dilthey) atau memproduksinya (Gadamer), di dalam hermeneutik radikal Derrida, makna selalu ditangguhkan dengan munculnya kemungkinan-kemungkinan makna lain, sehingga tindakan memahami juga tidak pernah dipastikan. Memahami itu sendiri sebuah kegiatan penangguhan karena hermeneutik radikal membiarkan makna tidak pernah definitif. Pertanyaan, apakah makna teks dipahami? Akan dijawab dengan provokasi, bahwa teks itu dipahami sekaligus tidak pernah dipahami. Karena cara-cara baca lain akan menangguhkan klaim pemahaman yang telah dicapai.
Hermeneutik modern yang dirintis sejak Schleiermacher, merupakan suatu upaya untuk rekonstruksi makna atau konstruksi makna baru, tetapi dekonstruksi Derrida merupakan proses pembacaan yang memperlihatkan bagaimana upaya konstruksi dan rekonstruksi makna tidak mencapai tujuannya.
Radikalitas hermeneutik Derrida terdapat dalam suatu cara baca yang menangguhkan setiap upaya untuk menstabilkan suatu tatanan makna, entah dengan merehabilitasi makna primordial teks ataupun dengan menyusun suatu hirarki makna dari antinomi-antinomi biner. Hermeneutik radikal bukanlah sebuah metode, melainkan merupakan proyek mengatasi logosentrisme dan fonosentrisme dalam metafisika Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Melacak Hermeneutika Tafsir Al-Manar dan Tafsir Al-Azhar. Yogyakarta: Qalam, 2003.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami, Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.
Poespoprodjo. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia, 2015. Ricoeur, Paul. Teori Interpretasi: Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya. Yogyakarta: IRCISOD, 2012.
[1] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Melacak Hermeneutika Tafsir Al-Manar dan Tafsir Al-Azhar, Yogyakarta: Qalam, 2003, hal. 41.
[2] Poespoprodjo, Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hal. 2.
[3] Paul Ricoeur, Teori Interpretasi: Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya, Yogyakarta: IRCISOD, 2012, hal. 3.
[4] Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016, hal. 6.
[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 283.