Perkembangan zaman dan keilmuan mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan termasuk mempengaruhi metode dalam penafsiran Al-Qur’an. Penafsiran Al-Qur’an yang semula cenderung bersifat tekstual dan bergantung pada teks berkembang secara perlahan dengan munculnya metode-metode baru dalam penafsiran Al-Qur’an untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul seiring berkembangnya zaman. Hermeneutik bagi sarjana modernis merupakan sebuah solusi dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Nasr Hamid Abu Zayd merupakan sarjana modernis Islam yang mengembangkan sebuah penafsiran yang bersifat objektif dengan upaya merekonstruksi cara memandang teks Al-Qur’an yang dilandasi oleh kesadaran ilmiah terhadap turâs (wawasan intelektual). Nasr Hamid menyatakan dua tujuan utama dari upaya rekonstruksinya yaitu,[1] Pertama, mengaitkan studi Al-Qur’an dengan kajian sastra untuk mengkaji Al-Qur’an dengan memperlakukannya sebagai kitab al-‘Arabiyyah al’Akhbar. Kedua, mengkaji teks keislaman secara objektif.
Rekonstruksi penafsiran yang ditawarkan oleh Nasr Hamid dimulai dari karyanya yang berjudul Mafhûm Nash mengenai ta’wîl dalam tradisi Sufi Ibn ‘Arabi dan majaz (metafora) dalam tradisi penafsiran Muktazilah. Nasr Hamid berkesimpulan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio seperti cara Muktazilah maupun dengan menggunakan intuisi seperti cara sufi tidak akan pernah lepas dari aspek sosio-politik dan kultural penafsir. Ia juga berkesimpulan bahwa penafsiran yang menekankan peran seorang penafsir dalam memahami teks hanyalah untuk membawa teks kepada cakrawala penafsir. Hal tersebut berarti teks menjadi bersifat pasif dan semata-mata hanya menjadi sebuah dalil pembenaran atau pendukung tanpa memperhatikan konteksnya. Jika seperti ini, Nasr Hamid menegaskan bahwa “terjadi pengabaian esensi teks dan mengorbankannya demi penafsiran tertentu”. Muncullah pertanyaan dari Nasr Hamid mengenai teks, “Apa itu teks? Bagaimana kita memahaminya secara obyektif?”[2]
Nasr Hamid berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan bersama dengan struktur budaya tertentu yang terikat oleh ruang dan waktu dalam sosial dan historis tertentu. Hal ini berarti Al-Qur’an hanyalah teks yang tunduk pada pemahaman dan interpretasi sedangkan kalam ilahi berada di luar pengetahuan manusia. Menurut pemikirannya tentang sifat dasar Al-Qur’an, Nasr Hamid menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya (muntâj tsaqâfi). Pemikiran beliau ini didasari berbagai alasan antara lain, Al-Qur’an diwahyukan di Jazirah Arab dengan menggunakan bahasa Arab dalam mengantarkan makna yang terkandung dalam teks ketuhanan dan sangat berhubungan dengan kehidupan peradaban Arab pada saat itu. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang hidup dalam peradaban Arab dengan keadaan sosial, historis, serta budaya Arab yang menjadikan Al-Qur’an telah masuk ke dalam wilayah historis manusia.[3]
Bukti bahwa Al-Qur’an merupakan teks yang bersifat historis dibuktikan dari karakteristik Al-Qur’an itu sendiri yang berkaitan dengan tiga hal berikut[4]:
- Al-Qur’an berisi pesan-pesan Allah SWT untuk manusia yang diwujudkan dalam bahasa Arab yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril.
- Al-Qur’an memiliki struktur pembagian ayat per ayat dan juz per juz, pembagian yang biasa dipakai dalam teks linguistik.
- Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat yang jelas (muhkamat) yang berfungsi untuk menjelaskan ayat-ayat ambigu (mutasyâbihat). Jika terdapat ayat-ayat ambigu maka melakukan ta’wîl sebagai hermeneutik diperbolehkan. Sikap seperti ini termasuk bagian yang tidak terpisahkan dari perlakuan terhadap teks.
Nasr Hamid memiliki pandangan berbeda mengenai teks Al-Qur’an dari mufasir-mufasir klasik. Ia beranggapan bahwa teks agama tidaklah harus dibedakan cara pengungkapan maknanya dengan teks-teks linguistik lainnya seperti teks sastra. Penafsiran Al-Qur’an, hadis, dan teks-teks keagamaan memiliki aspek penting dalam mengungkapkan makna teks yang seringkali diabaikan oleh penafsir yaitu pengabaian norma-norma pembentuk teks linguistik dengan menganggap teks keagamaan adalah teks yang spesial dan berbeda dari teks-teks linguistik lainnya. Hal ini menurutnya diabaikan demi memproteksi pelacakan makna yang telah ditemukan sebelumnya.[5]
Menurutnya, Al-Qur’an hanyalah sebuah teks. Dalam karyanya yang berjudul Mafhûm Nash, Nasr Hamid mendefinisikan kata ‘teks’ sebagai makna (dalâlâh) dan memerlukan pemahaman, penjelasan, serta interpretasi.[6] Berbeda dengan makna mushaf yang telah menjadi ‘sesuatu’ karya estetik maupun untuk mendapatkan berkat Tuhan. Pembagian ini sama dengan Distingsi Roland Bather yang memaknai ’teks’ dan ‘karya’ dengan prinsip ‘The work is held in the hand, the text in language’.
Nasr Hamid mengkorelasikan teorinya tersebut dengan aspek bahasa, budaya, dan histori dalam memandang Al-Qur’an dengan konsekuensinya adalah menghilangkan dimensi keilahian dari kajiannya dan menjadikan teks Al-Qur’an sebagai teks manusia yang sama dengan teks-teks budaya lainnya. Nasr Hamid mendekonstruksi konsep wahyu ilahiyah dalam proses turunnya Al-Qur’an dengan membaginya ke dalam dua proses yaitu proses tanzîl dan ta’wîl. Proses tanzîl ialah proses turunnya al-Qur’an kepada malaikat Jibril dalam bentuk non-bahasa atau masih dalam bentuk makna. Sementara proses ta’wîl ialah ketika teks Al-Qur’an telah sampai kepada Nabi Muhammad Saw, di mana proses Al-Qur’an yang masih berbentuk non-bahasa berubah menjadi teks insani.[7] Nasr Hamid menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah ‘the word of Muhammad reporting what he asserts is the word of God. This is The Qur’an’. Pendapat Nasr Hamid ini bertentangan dengan konsep mayoritas ulama tafsir sebelumnya, seperti menurut Imam Zarkasyi yang menjelaskan bahwa ulama Ahlusunah menyepakati bahwa yang diturunkan adalah kalamullah baik lafaz maupun maknanya, yaitu Jibril mengahafal Al-Qur’an dari Lauh Mahfûzh yang kemudian turun bersamanya.[8]
Jika melihat pemikiran Nasr Hamid di atas, dapat dikatakan bahwa pemikirannya Nasr Hamid cenderung ekstrim karena dapat mendefinisikan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah ‘produk budaya’ yang dilandaskan oleh keterkaitan antara Al-Qur’an dengan keadaan sosial, budaya, dan historis di Jazirah Arab saat diturunkan. Hal ini mendukung konsep hermeneutika Nasr Hamid yang memiliki unsur utama yaitu aspek historis yang mana makna yang dihasilkan dalam sebuah teks tidak pernah berhenti pada satu masa, namun bersifat dinamis dapat berubah sejalan dengan modifikasi sejarah.
DAFTAR PUSTAKA:
Abu Zayd, Nasr hamid. Mafhûm Nash: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafiy al’Arabiy, 1994.
——–. Teks Otoritas Kebenaran. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Afandi, M. Yazid. “Membongkar Sakralitas Teks (Mempertimbangkan Ulang Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid”. Dalam Jurnal An-Nur. Vol. 2 No. 3 Tahun 2005.
Arifin, Muhamamad Syamsul. “Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid”. Dalam Jurnal Studia Quranika. Vol. 1 No. 1 Tahun 2016.
Huda, Lalu Nurul Bayanil. Kritik Studi Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd. Gontor: CIOS Unida, 2010. Syamsuddin, Sahiron, etal. Hermeneutika Al-Qur’an. Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003.
[1] Sahiron Syamsuddin, et al., Hermeneutika Al-Qur’an, Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003, hal. 106.
[2] Sahiron Syamsuddin, et al., Hermeneutika Al-Qur’an,…,hal. 105.
[3] Muhamamad Syamsul Arifin, “Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi Al-Qur’an Nashr Hamid,” dalam Jurnal Studia Quranika, Vol. 1 No. 1 Tahun 2016, hal. 80.
[4] M. Yazid Afandi, “Membongkar Sakralitas Teks (Mempertimbangkan Ulang Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid,” dalam Jurnal An-Nur, Vol. 2 No. 3 Tahun 2005, hal. 17.
[5] Nashr Hamid Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran, Yogyakarta: LKiS, 2003, hal. 111.
[6] Nashr hamid Abu Zayd, Mafhûm Nash: Dirâsah fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafiy al’Arabiy, 1994, hal. 13.
[7] Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd, Gontor: CIOS Unida, 2010, hal. 8.
[8] Muhammad Syamsul Arifin, “Konsep Muntaj Tsaqafy dalam Studi al-Qur’an Nashr Hamid,”…,hal. 85