Martin Heidegger lahir di Mebkirch, wilayah Schwaben, Jerman, pada tanggal 26 September 1889. Di masa SMA ia banyak membaca buku Franz Brentano, seorang filsuf abad pertengahan yang mempopulerkan intensionalitas. Dari situlah, semangat Heidegger untuk terus mencari makna “ada” tak pernah berhenti.
Heidegger seorang filsuf yang kontroversial, setidaknya tiga skandal yang mewarnai perjalanan hidupnya. Pertama ialah keputusannya untuk keluar dari gereja Katolik. Tidak hanya menyatakan diri keluar, ia juga mulai mengkritik Katolisisme secara tajam. Baginya, filsafat dan teologi tidak pernah dapat dipertemukan. Skandal kedua ialah keterlibatannya dalam Nazi. Heidegger disebut pernah menyatakan diri sebagai anggota dan sekaligus propagandis Nazi di Leipzig, Hiedelberg, dan Tubingen. Pidato pengukuhan rektoratnya di Universitas Freiburg juga sarat bermuatan politis dari analisisnya terhadap Dasein yang dikembangkannya dalam Sein und Zeit. Kemudian, kontroversinya yang cukup terkenal adalah perselingkuhan Heidegger dengan muridnya sendiri, Hannah Arendt.
Setelah meninggalkan jalan panggilan imamat, Heidegger melanjutkan studi filsafat. Secara mendalam, Heidegger mulai mempelajar fenomenologi yang menjadi tren ilmiah berbagai universitas di Jerman. Ia pun menekuni ajaran dan tulisan-tulisan dari Edmund Husserl yang mempelopori fenomenologi. Fenomenologi adalah metode yang ia gunakan dalam menulis bukunya, Sein und Zeit.
Sein und Zeit (1927), bisa dikatakan, merupakan opus magna dari Martin Heideggger. Di sana ia mengungkap penelusuran akan makna asal “Sang Ada” dalam kaitannya dengan waktu. Buku ini memuat konsep dasar yang mencerminkan pengalaman fundamental manusia, ialah kecemasan, kekhawatiran, kepedulian, dan kengerian. Nuansa tulisannya memang tidak lepas dari konteks politis dan historis di Eropa, di mana masih diliputi ketegangan perang dunia.
Dalam ‘ada dan waktu’ ini, secara implisit, hermeneutika menjadi bahasan. Filsafat hermeneutika Heidegger memang meneruskan hermeneutika yang dirintis Schleiermacher dan Dilthey, tetapi sikapnya lebih bersifat eksentris, karena sekalipun sepaham dalam menghadapi postitivisme dan idealisme, ia menolak digolongkan dalam program hermeneutika.[1] Heidegger mengurai fenomenologi berdasarkan dasar etimologisnya. Fenomenologi berasal dari padanan dua kata Yunani phainesthai yang berarti ‘menampakkan diri’ dan juga logos yang artinya ‘diskursus’. Dengan demikian fenomenologi adalah suatu diskursus tentang hal-hal yang menampakkan diri. Agar memahami apa yang menampakkan diri itu, seseorang perlu untuk menginterpretasinya. Maka, fenomenologi juga adalah suatu hermeneutika. Heidegger pun mengatakan “fenomenologi wujud manusia adalah suatu hermeneutika di dalam arti asal dari kata tersebut, manakala ia menunjuk aktivitas menafsirkan.”[2] Memahami, bagi Heidegger, berciri primordial, artinya ia mendahului dan memungkinkan segala sesuatu bentuk pemahaman empiris. Berciri primordial memaksudkan suatu proses awal yang bekerja dalam ranah ontologis, tidak terkatakan atau terkonsep secara kognitif, tetapi mendasar secara eksistensial. Hal ini berbeda dengan cara kerja dalam ranah empiris yang mengedepankan refleksi kognisi dan indrawi manusia. Oleh karena itu, untuk mencapai makna, pengalaman empiris tidak cukup. Keseluruhan relasi-relasi atau cara berada kita di dunia menentukan pemahaman kita tanpa suatu kesadaran yang mendahului.[3]
Kontribusi Martin Heidegger dalam dunia hermeneutika adanya konsep Vorstruktur des verstehen (prastruktur memahami). Proses interpretasi tidak pernah berlangsung tanpa pra-pemahaman ini. Pra-pemahaman atau presuposisi ini terbentuk dari Bewandtnisganzheit (struktur hubungan) yaitu totalitas partisipasi seseorang pada hidupnya. Totalitas ini bersifat diam, non-verbal, pra-predikatif karena berada di ranah ontologis. Sifat hermeneutika Heidegger adalah kemewaktuan. Berbeda dengan Dilthey dan Schleiermacher yang mencoba menangkap makna masa silam, hermeneutika Heidegger selalu memiliki keterarahan ke masa depan. Sebab, sebagaimana yang telah dituliskan sebelumnya, dasein selalu memiliki posibilitas eksistensial. Palmer mengatakan bahwa keseluruhan pemahaman bersifat temporal, intensional dan historis.[4]
Daftar Pustaka:
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermeneutik dari Schlemaicher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Heidegger, Martin. Being and Time, diterjemahkan oleh John Macquarrie dan Edward Robinson dari judul Sein und Zeit. Oxford: Blackwell Publishers, 1962. Palmer, Robert E. Hermeneutika: Teori Baru tentang Interpretasi, diterjemahkan oleh Mansur Hery dan Damanhuri Muhammad dari Judul Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
[1] Budi F Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schlemaicher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 99.
[2] Martin Heidegger, Being and Time, diterjemahkan oleh John Macquarrie dan Edward Robinson dari judul Sein und Zeit, Oxford: Blackwell Publishers, 1962, hal. 62.
[3] Budi F Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schlemaicher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal.114.
[4] Robert E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru tentang Interpretasi, diterjemahkan oleh Mansur Hery dan Damanhuri Muhammad dari Judul Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal.162.