Memahami Sebagai Seni: Schleiermarcher

Hermeneutik atau dalam Bahasa Inggris hermeneutics berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti “menerjemahkan” atau “bertindak sebagai penafsir”.[1] Dalam menerjemahkan sebuah teks kita harus memahami lebih dahulu dan kemudian mencoba mengartikulasikan pemahaman kita itu kepada orang lain lewat pilihan kata dan rangkaian terjemahan kita. Istilah “seni memahami” diterjemahkan dari istilah Jerman yang berasal dari Schleiermacher, yaitu ” Kunstslehre des Verstehens”.[2] Dipakainya kata “memahami” dan bukan “pemahaman” untuk memberi muatan makna yang sama dengan istilah Jermannya, yaitu verstehen.[3] Pemahaman mengacu pada hasil, yaitu sesuatu yang telah ditangkap, sedangkan memahami mengacu pada proses, yaitu kegiatan menangkap, maka pemakaian kata kerja akan lebih memadai untuk melukiskan dinamika itu daripada pemakaian kata benda.

Jadi, situasi yang menjadi titik tolaknya adalah kesalahpahaman, sebagaimana kerap terjadi di antara orang asing dan penduduk, di antara orang-orang dari kelompok-kelompok agama yang berbeda, di antara laki-laki dan perempuan, dan seterusnya. Hermeneutik lalu dapat disebut sebagai sebuah “seni”, karena dua hal: pertama, karena bertolak dari situasi tanpa pemahaman bersama atau bahkan kesalahpahaman umum, sehingga pemahaman memerlukan upaya “canggih” dan tidak dapat secara spontan saja, kedua, karena praktik untuk mengatasi kesalahpahaman umum itu dilakukan menurut kaidah-kaidah tertentu. Kata “seni” di sini dimengerti sebagai “kepiawaian” seperti yang dapat kita temukan pada seniman yang menghasilkan fine art. [4]

Duduk persoalan hermeneutik Schleiermacher adalah bagaimana mengatasi kesenjangan ruang dan waktu antara teks, penulis, dan pembaca untuk menemukan maksud asli penulis teks itu tanpa prasangka pembacanya.[5] Ada banyak tokoh dalam hermeneutika. Sebut saja, misalnya, F.D.E Schleiermarcher, Wilhelm Dilthey, Gadamer, Jurgen Habermas, dan Paul Ricoeur.[6] Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks.[7] Hermeneutik Schleiermacher adalah sebuah hermeneutik universal karena, pertama, tidak membatasi diri pada teks-teks khusus, misalnya, teks sastra, kitab suci atau sejarah, melainkan teks pada umumnya. Kedua, mengandaikan adanya kesamaan hakikat berbagai hermeneutik atas teks-teks khusus itu. Dengan demikian, karena yang menjadi objek dalam hermeneutika adalah pemahaman, yaitu pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks, maka ada tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam hermeneutika, yaitu: penggagas atau pengujar pesan, teks, dan pembaca.[8]

Pada dasarnya interpretasi psikologis mencoba menanyakan apakah yang dipikirkan oleh penulis ketika menggunakan kata tersebut. Kita baru memahami makna bahasa khusus yang dipakai si pengarang, jika kita telah memahami bahasa yang dipakai oleh masyarakatnya pada waktu itu. Begitu juga dalam interpretasi psikologis, kita baru dapat memahami individualitas sipengarang, jika diterangi oleh pemahaman atas seluruh kehidupanya dan juga zamannya. Dalam artian interpretasi psikologis dimaksudkan kepada seoarang untuk memasuki dunia mental penulis. Namun, bila pada saat berpikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan dalam mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah terdapat apa yang disebutnya sebagai “transformasi berbicara yang internal dan orisinal, dan karenanya interpretasi menjadi penting”.[9]

Kontribusi Schleiermacher adalah melampaui literalisme. Kita tidak bisa memahami teks sebagaimana apa yang tertulis. Makna yang ingin diungkapkan berada di balik apa yang tertulis, yaitu konteks sosio-historisitas dan gramatikal pada waktu teks tersebut ditulis. Dalam hal ini Schleiermacher menegaskan agar kita tidak terjebak dalam kekakuan pemahaman diri kita terkait isi teks, kita harus meninjau kembali pada akar historis kondisi zaman dimana teks tersebut diturunkan dan memahami maksud dan tujuan teks tersebut dalam kondisi pada saat itu, karena ada sebagian isi teks dalam karangan tertentu (katakanlah kitab suci agama) tidak lepas dari kepentingan para penulis yang hidup di zaman tersebut. Terlebih apabila teks ingin dikonteks-kan pada keadaan saat ini maka diperlukan beberapa hal, yaitu: mengerti sebab dituliskannya teks tersebut pada zamannya, maksud dan tujuan dari teks tersebut, dan cara menghubungkan antara keotentikan teks dengan kondisi sekarang (sebagai transfomasi nilai teks bagi kehidupan). Karena penafsir berangkat dari kesadaran atas zamannya sementara teks yang dihasilkan oleh si penulis merupakan hasil dialog antara kesadaran penulis dengan zaman yang ada padanya sehingga benturan pengetahuan tidak bisa dihindari. Karena bagaimanapun makna yang disimpulkan oleh penafsir merupakan hasil peleburan pengetahuan antara si penulis dan si penafsir itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Saidi, Acep Iwan. “Hermeneutika, Sebuah Cara untuk Memahami

Teks” dalam Jurnal Sosioteknologi, Edisi 13 Tahun 2008.

Adzim, Imam Subarul. “Pendekatan Hermeneutik dalam Menafsirkan

Ayat-Ayat Pluralisme Agama.” Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Institut PTIQ, 2021.

Fitria, Rini. “Memahami Hermeneutika dalam Mengkaji Teks” dalam

Jurnal Syi’ar, Vol. 16 No. 2 Tahun 2016.Talib, Abdullah A. Filsafat Hermeneutika dan Semiotika. Palu: LPP-           Mitra Edukasi, 2018.


[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hal. 11.

[2] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hal. 31.

[3] Imam Subarul Adzim, “Pendekatan Hermeneutik dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Pluralisme Agama,” Tesis, Jakarta: Program Pascasarjana Institut PTIQ, 2021, hal. 45-46.

[4] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hal. 34.

[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hal. 35.

[6] Acep Iwan Saidi, “Hermeneutika, Sebuah Cara untuk Memahami Teks” dalam Jurnal Sosioteknologi, Edisi 13 Tahun 2008, hal. 376.

[7] Abdullah A. Talib, Filsafat Hermeneutika dan Semiotika, Palu: LPP-Mitra Edukasi, 2018, hal. 6.

[8] Rini Fitria, “Memahami Hermeneutika dalam Mengkaji Teks”, dalam Jurnal Syi’ar, Vol. 16 No. 2 Tahun 2016, hal. 35.

[9] Abdullah A. Talib, Filsafat Hermeneutika dan Semiotika, hal. 8.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *