Relevansi Hermeneutika Heidegger dengan Kajian Al-Qur’an

Hermeneutika diartikan dan dipandang sebagai bentuk ilmu tafsir yang mendalam dan bercorak filosofis, sehingga ketika berbicara mengenai tafsir tentu tidak terlepas dari sebuah unsur yang ada dalam agama, yaitu kitab suci. Hermeneutika sendiri merupakan sebuah kegiatan yang sangat khusus, yaitu menafsir teks-teks sakral. Hal ini menjelaskan mengapa istilah hermeneutika lebih dikenal dalam disiplin religius, seperti studi kitab suci dan teologi.[1] Hermeneutika pada dasarnya muncul sebagai salah satu metode untuk memahami kitab suci, termasuk kitab suci umat Islam, Al-Qur’an.[2]

Namun, dari sini muncul permasalahan apakah konsep hermeneutika yang notabene berasal dari Barat bisa disesuaikan dengan ‘Ulumul Qur’an yang merupakan komponen dasar yang dipelajari untuk penafsiran Al-Qur’an. Ada tiga kelompok besar dalam hal ini. Sebagian sarjana Muslim menolaknya secara utuh, sebagian lain menerimanya secara utuh, dan sebagian lagi menerimanya secara bersyarat.[3]

Berangkat dari permasalahan di atas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut mengenai pemikiran hermeneutika Barat, yang dalam tulisan ini dikhususkan pada konsep hermeneutika Martin Heidegger dan melihat sejauh mana pemikiran Heidegger mempunyai relevansi terhadap kajian Al-Qur’an dan tafsir.

Martin Heidegger lahir di sebuah kota kecil Meβkirch, dekat Freiburg im Breisgau, Jerman pada tanggal 26 September 1889 dari keluarga Katolik Roma yang taat dan sederhana. Ayahnya seorang pastor gereja St. Martin. Pastor paroki dan guru Latinnya memberikan bantuan finansial pada Heidegger untuk belajar di gimnasium (sekolah) di Kota Konstanz. Heidegger sempat studi teologi di Universitas Freiburg, di sanalah dia mengenal hermeneutika. Di awal studi teologinya, Heidegger banyak menyibukkan diri dengan pemikiran Schleiermacher dan Dilthey serta hubungannya denga teologi. Kemudian di tahun 1913 dia belajar filsafat dan mendapat beasiswa lagi dari gereja Katolik. Heidegger direncanakan untuk mengajar filsafat Kristiani, maka disertasinya ditulis di bawah bimbingan profesor filsafat Kristiani, Arthur Schneider. Alih-alih memenuhi harapan itu, Heidegger malah memusatkan diri pada fenomenologi Husserl.

Heidegger menjadi emeritus dari perguruan tinggi mulai tahun 1952, tetapi masih aktif mengajar materi kuliah hingga tahun 1967. Dia tinggal di pondoknya di daerah pegunungan Schwartwald dan meninggal di Freiburg im Breisgau pada tanggal 26 Mei 1976.[4]

Hermeneutika Heidegger dibahas dengan memahami konsep dari fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah diskursus tentang menampakkan diri atau interpretasi dengan “membiarkan apa yang menampakkan diri itu dilihat dari dirinya sendiri dengan cara dia memperlihatkan dirinya sendiri”. Jadi, hermeneutika Heidegger melakukan interpretasi tidak dengan memasukkan kerangka berpikir penafsir ke dalam hal yang dipahami, melainkan dengan membiarkan hal yang diinterpretasi itu tampak, dan kita sebagai penafsir menjumpai sendiri kenyataan itu.[5]

Heidegger memulai proyek filsafatnya dengan lebih dahulu mengkritik konsep “ada” para filosof dari Plato hingga Nietzsce. Heidegger kemudian mengusulkan proyek destruksi metafisika melalui dasein. Dasein merupakan bahasa Jerman yang berarti “ada-di sana”.[6] Keberadaan dasein tidak mengacu pada kebendaan, melainkan pada situasi, yang mana tempatnya tidak tergantikan oleh yang lain dan yang berada di sana itu juga terlempar begitu saja, yakni berada begitu saja. Pengalaman berada begitu saja inilah yang disebut Heidegger dengan istilah “faktisitas”.[7]

Teori hermeneutika Heidegger yang terkait satu sama lain dapat diringkas ke dalam beberapa bentuk teori sebagai berikut: Pertama, teori “faktisitas” keterlemparan. Heidegger berpendapat bahwa setiap manusia (dasein) seutuhnya dibentuk oleh kebudayaannya, karena tidak bisa mengontrol “keterlemparan” lingkungan sosialnya. Seseorang menjadi bagian dari suatu kebudayaan, dan akibatnya seluruh tingkah lakunya dipelajari dari kebudayaan itu.[8]

Kedua, pemahaman Heidegger melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa keseluruhan pemahaman adalah bersifat temporal, intensional, historisitas. Ia melampaui konsepsi terdahulu dalam memandang pemahaman bukan sebagai proses mental namun sebagai proses ontologis, bukan sebagai studi mengenai proses kesadaran dan ketidaksadaran namun sebagai pengungkapan “ada” yang sebenarnya bagi manusia.[9]

Ketiga, teori relasi ontolgis-eksistensial. Bagi Heidegger, pemahaman itu merupakan sebuah keterhubungan. Karena pemahaman ini adalah sebuah keterhubungan, maka secara pasti ia akan memunculkan kebermaknaan. Dengan hal ini maka Heidegger mengetengahkan kemungkinan ontologis bahwa “kata” dapat memiliki signifikansi yang bermakna; merupakan basis bagi bahasa. Poin yang dibuat Heidegger di sini adalah bahwa kebermaknaan merupakan sesuatu yang dalam daripada sistem logis bahasa, ia dibangun di atas sesatu yang menjadi hal pokok bagi bahasa dan melekat dalam dunia keutuhan relasional.[10]

Keempat, teori tentang waktu. Eksistensi dasein merupakan aktualitas dan kemungkinan-kemungkinan yang terkait dengan momen-momen temporalitas, masa lalu, sekarang, dan akan datang. Karena kemungkinan-kemungkinan dasein, ekstasis waktu yang terpenting adalah masa yang akan datang. Temporalitas dasein adalah orientasi ke masa yang akan datang. Dari arah masa depan, waktu merupakan kemungkinan produktif dari pemahaman. Suatu data dari masa lalu menjadi lebih terungkap aktualitasnya dan relevansi pesannya berkat keterarahan yang dulu itu ke kini.[11]

Hermeneutika dasein Heidegger ini juga dibutuhkan oleh kajian tafsir Al-Qur’an di tengah maraknya tafsir-tafsir yang bercorak eksklusif bahkan fanatis. Saat ini banyak bermunculan tafsir-tafsir akan Al-Qur’an yang cenderung hanya membenarkan perspektif tafsirnya sendiri dan menafikan perspektif tafsir yang berbeda. Oleh karena itu, di tengah maraknya wacana tafsir eksklusif agaknya keberadaan hermeneutika dasein Heidegger patut untuk diberi tempat dalam khazanah tafsir Al-Qur’an.

Teori temporalitas dasein juga dapat menguatkan dimensi kemewaktuan Al-Qur’an. Dalam khazanah keilmuan tafsir, Al-Qur’an dikenal sebagai kitab suci yang akan senantiasa sesuai dan selaras dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, temporalitas dasein itu mengandaikan munculnya sumber-sumber baru bagi pemahaman atau suatu proses tanpa akhir. Ini jelas akan semakin menguatkan dimensi keabadian pesan-pesan Al-Qur’an.[12]

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Muhammad. “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya terhadap Kajian Al-Qur`an”. Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an dan Hadits, Vol. 16 No. 1, 2015.

Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Melacak Hermeneutika Tafsir Al-Manar dan Tafsir Al-Azhar. Yogyakarta: Qalam, 2003.

Hadi, P. Hardono. Heidegger untuk Pemula, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2001.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher Sampai Derrida. Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015. Muhammed, Damanhuri. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.


[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015, hal. 14.

[2] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Melacak Hermeneutika Tafsir Al-Manar dan Tafsir Al-Azhar, Yogyakarta: Qalam, 2003, hal. 41.

[3] Muhammad Arif, “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya terhadap Kajian Al-Qur`an”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur`an dan Hadits, Vol. 16 No. 1, Tahun 2015, hal. 86.

[4] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida…, hal. 100-103.

[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida…, hal. 105-106.

[6] Muhammad Arif, “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya terhadap Kajian Al-Qur`an” …, hal. 86.

[7] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida…, hal. 107.

[8] P. Hardono Hadi, Heidegger untuk Pemula, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 44.

[9] Damanhuri Muhammed, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 162.

[10] Damanhuri Muhammed, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi…, hal. 154.

[11] Muhammad Arif, “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya terhadap Kajian Al-Qur`an” …, hal. 97.

[12] Muhammad Arif, “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya terhadap Kajian Al-Qur`an” …, hal. 100-102.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *