Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd terhadap Al-Qur’an

ssl.com

Pendahuluan

            Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan di desa Qahafah, Mesir pada tanggal 10 Juli 1943 dari seorang ayah aktivis ikhwanul Muslimin. Abu Zayd mendapat pendidikan agama di Kuttab dan dapat menghafal Al-Qur’an. Setamat sekolah menengah, Abu Zayd berkuliah di Fakultas Adab, Fakultas Sastra di Universitas Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliah strata satu pada tahun 1972 dan menyelesaikan strata dua di universitas yang sama pada tahun 1976. Pada tahun 1981, Abu Zayd merebut gelar doktoralnya dengan disertasi yang berjudul Ta‟wilu Al-qur‟an Inda Muhyiddin Al-Araby dan sejak itu banyak karya-karya tentang Islam yang dihasilkannya. Akibat fitnah permurtadan atas dirinya, Abu Zayd pindah ke Belanda pada tahun 1995, dan menjadi dosen tamu di Universitas Leiden, Belanda.

            Karya-karya yang telah dihasilkan Abu Zayd antara lain: Mafhum An-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Qur’an, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tekstualitas Al-Qur’an[1], Dirosah fi Ulumul Qur’an, Naqd al-Kitab al-Din, Al-Itijjah al-Aqli fi Tafsir (bidang tafsir), At-Ta’wil Iskaliyat al-Qiraah wa Aliyyat at-Ta’wil (bidang filsafat, Al-Imam Al-Shafi’i wa ta`sis Aydiyulujiyyah al-wasatiyah, The al-Qur’an: God and Man in Communication (Leiden, 2000), dan lain-lain

            Abu Zayd dibesarkan dalam kalangan agamis, dari ayah seorang aktivis Ikhwanul Muslimin, yang kala itu menjadi organisasi massa terbesar di Mesir yang sedang mengalami pergolakan politik dan menyuarakan harokah islamiyah menentang penguasa nasionalis saat itu. Kemampuan Abu Zayd menghafal Al-Qur’an 30 Juz pada usia delapan tahun juga menguatkan latar belakang agamisnya.

            Pada tahun 1978 hingga tahun 1980, Abu Zayd melanjutkan studi S3 nya di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, dan mengambil konsentrasi Studi Islam[2]. Di Universitas Pennsylvania inilah, Abu Zayd mengenal hermeneutika dan mengakui bahwa hermeneutika membuka cakrawala dunia baru padanya. Sepulangnya dari Amerika, Zayd banyak membuat tulisan seputar hermeneutika. Disertasi doktoralnya mengangkat judul judul“Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil AI-Qur’an `inda Muhy al-Din ibn`Arabi”(Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap Hermeneutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi), dan menulis tentang hermeneutika dalam tulisannya, “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas” (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981 dan mengklaim dirinya sebagai orang pertama yang menulis tentang hermeneutika dalam bahasa Arab.

Permasalahan

            Apa yang membuat Abu Zayd diadili dan terusir dari Mesir, tentulah bukan karena persoalan biasa. Peristiwa yang dikenal dengan “Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”, memvonis Abu Zayd sebagai seorang murtad dan pada pengadilan banding di Kairo, Abu Zayd divonis untuk menceraikan istrinya[3]. Pemikiran-pemikiran apa yang membuat Abu Zayd menjadi dicap sebagai tokoh kontroversial terutama di negaranya? Makalah ini mencoba menguraikan pemikiran-pemikiran Abu Zayd kaitannya dengan pembacaan teks Al-Qur’an dan Hadist.

Konsep Pemikiran Abu Zayd

            Segolongan kaum intelektual muslim, menggolongkan pemikiran dan metodologi Abu Zayd terhadap penafsiran Al-Qur’an adalah pemikiran dekonstruktif, yaitu berusaha membongkar nilai-nilai keyakinan umat Islam yang selama ini telah mapan[4]. Pemikiran dan metode Abu Zayd terhadap penafsiran Al-Qur’an dengan apa yang kemudian disebut dengan ‘Relativisme Tafsir’, yaitu pemikiran yang membuat semua penafsiran menjadi relatif, tidak ada penafsiran yang lebih tinggi dari pada penafsiran yang lain, semua relatif kepada masing-masing penafsir, sesuai latar belakang sosial, budaya, pendidikan dan kecenderungan mereka[5], ditentang oleh kalangan-kalangan yang ingin tetap mempertahankan penafsiran yang telah ada sejak zaman klasik dulu. Menurut Abu Zayd, hermeneutika bukan hanya semata diskursus pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga telah ada dalam turâts Arab, baik Arab klasik maupun modern[6].

Hermeneutika Abu Zayd

            Dalam tulisan-tulisannya sepulang dari menyelesaikan studi S3 di Amerika, Abu Zayd banyak mengusulkan perubahan-perubahan dalam penafsiran teks Al-Qur’an dan teks-teks Hadis. Abu Zayd mengusulkan penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran teks-teks Al-Qur’an. Ini dimulakan karena melihat kondisi negeri kelahirannya, Mesir, Abu Zayd menyaksikan adanya penunggangan kepentingan ideologi politik terhadap wacana keagamaan. Pemerintahan Mesir yang dipimpin Gamal Abdul Nasser kala itu, memberlakukan kebijakan politik yang mengatasnamakan agama, terutama sikap bangsa Mesir terhadap imperialisme dan zionisme Israel pada Palestina, negeri yang berbatasan langsung dengan Mesir. Kemudian setelah tahun 1970-an, kebijakan tersebut mengalami kontradiktif sejak zaman Presiden Anwar Sadat, karena adanya perubahan konteks perubahan Internasional dengan dibungkus klaim-klaim keagamaan.

Karakteristik Hermeneutika Abu Zayd

            Menurut Abu Zayd, “Hermeneutika pada saat yang sama merupakan persoalan klasik sekaligus modern. Dalam konsentrasinya pada hubungan penafsir dengan teks, Hermeneutika bukan persoalan spesifik pemikiran barat, tetapi juga persoalan yang eksistensinya serius dalam khazanah (turats) Arab klasik dan modern sekaligus”.

            Fatkul Qadir, mengutip perkataan Abu Zayd yang diambil dari tulisan Adnin Amas, Metodologi Bibel dalam studi Al-Qur’an, sebagai berikut:

Abu Zayd menyatakan: “Bagaimanapun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri, dan menjadi manusiawi, karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. Jadi, dalam pandangannya, Al-Qur’an adalah bahasa manusia (the Qur’an is human language). Teks Ilahi (divine text) berubah menjadi teks manusiawi (human text) sejak turunnya wahyu yang pertama kali kepada Rasul. Pemahaman Rasul atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia. Teks Al-Qur’an terbentuk dalam realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah “produk budaya” (muntaj thaqafah). Ia juga menjadi “produsen budaya” (muntij li al-thaqafah) karena menjadi teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain. Karena realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Abu Zayd juga menganggap Al- Qur’an sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusiawi (nas insani)[7].

            Dari pernyataan tersebut, Abu Zayd memandang teks-teks Al-Qur’an adalah suatu produk budaya sekaligus produsen budaya. Hal ini sejalan dengan konsep hermeneutika produktif faktisitas yang diusulkan oleh Heideger dimana untuk memahami teks, membuat suatu presuposisi, suatu anggapan pada teks yang terlepas dari pembuat teks itu sendiri. Menurut Abu Zayd, metode yang tepat untuk memahami A-Qur’an adalah sebagai teks yang tidak terpisahkan dari sistem bahasa yang berfungsi informatif dan komunikatif, adalah metode analisis bahasa (minhaj al-tahlil al-lughawi) karena sejalan dengan objek dan materi kajiannya.

Refleksi

            Menurut pendapat penulis, pandangan Abu Zayd yang menyatakan bahwa Al-Qur’an disamakan dengan produk budaya atau produsen budaya, adalah pangkal kekeliruan Abu Zayd. Antropolog Indonesia, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar[8]. Dengan kata lain, budaya adalah hasil olah karsa dan karya manusia dalam belajar menghadapi alam sekitarnya.

            Pembacaan teks Al-Qur’an sejatinya dapat ditinjau dengan semua cara pembacaan teks, baik cara pembacaan atau penafsiran klasik, dan pembacaan atau penafsiran hermeneutis, dan bahkan dengan cara pembacaan atau penafsiran ilmu alam (science).

            Membatasi dan fanatik dengan pembacaan  teks Al-Qur’an hanya pada satu cara pembacaan saja, pada hakikatnya ‘memperkosa’ Al-Qur’an hanya pada makna tertentu yang dibuat oleh seseorang manusia atau sekelompok manusia, maka wajarlah terjadi pengelompokan-pengelompokan semacam Mu’tazilah, Jabariyah, Asy’ariyah, Syi’ah, Sunni dan sebagainya. Sebaliknya, membuat persyaratan-persyaratan tertentu yang ketat untuk membatasi hanya manusia dengan kemampuan spesifik tertentu atau penafsiran kelompok tertentu saja yang memiliki legitimasi penafsiran Al-Qur’an, pada hakikatnya sama dengan ‘memperkosa’ manusia untuk memahami Al-Qur’an hanya mengacu pada spesifikasi manusia tertentu atau kelompok manusia tertentu saja.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zayd, Nasr Hamid, Mafhum An-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin berjudul Tekstualitas Al-Qur’an, cet. ketiga, Yogyakarta: LKIS, 2013  
Afrizal, Lalu Heri, Metodologi Tafsir Nasr Hamid Abu Zaid dan Dampaknya terhadap Pemikiran Islam, dalam Jurnal Tsaqofah vol. 12, No. 2, November 2016.  
Alfian, Muhammad, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Jurnal Islamika, Vol. 18, No. 01, Juli 2018.  
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5725690/5-pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli  
Munir, Samsul, Nsr Hamid Abu Zaid dan Hermeneutika Teks al-Qur’an, dalam Jurnal Ta’dib  
Qadir, Fatkul, Tafsir Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, Jurnal Scholastika: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.1, Nomor 1 Tahun 2019.

                [1] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum An-Nash Dirasah fi ‘Ulumul Qur’an, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin dengan judul Tektualitas Al-Qur’an, cetakan ke-tiga, Yogyakartya: LKIS , 2013.

                [2] Fatkul Qadir, Tafsir Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, Jurnal Scholastika, Vol.1, Nomor 1 Tahun 2019.

                [3] Muhammad Alfian, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Jurnal Islamika, Vol. 18, No. 01, Juli 2018. Hal. 25.

                [4] Lalu Heri Afrizal, Metodologi Tafsir Nasr Hamid Abu Zaid dan Dampaknya terhadap Pemikiran Islam, dalam Jurnal Tsaqofah vol. 12, No. 2, November 2016. Hal. 300.

                [5] Lalu Heri Afrizal, Lalu Heri Afrizal, Metodologi Tafsir Nasr Hamid Abu Zaid dan Dampaknya terhadap Pemikiran Islam, hal. 301.

                [6] Samsul Munir, Nsr Hamid Abu Zaid dan Hermeneutika Teks al-Qur’an, dalam Jurnal Ta’dib, tt.

                [7] Fatkul Qadir, Tafsir Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, dari Jurnal SCHOLASTICA: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Volume 1, Nomor 1, November 2019, hal. 7

                [8] https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5725690/5-pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli, diunduh tanggal 29-11-2021.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *