Banyak pemikir Muslim bersikap reaktif terhadap gagasan-gagasan yang disodorkan oleh modernitas barat. Di antara gagasan tersebut adalah perlunya metode hermeneutika dalam memahami Al-Qur’an. Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari kata hermeneuein (Yunani) yang berarti menafsirkan, maka hermeneia (kata benda) dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan kita pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Oleh karena itu, seorang Hermes sangatlah penting, karena jika terjadi kesalahpahaman tentang pesan itu, akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Hermes harus mampu menerjemahkan pesan dewa tersebut ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya (manusia), maka Hermes disebut dengan duta yang dibebani suatu misi. Keberhasilan misi tersebut sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan kepada pendengar.[1] Tulisan ini akan mengulas salah satu pemikiran hermeneutika kontemporer yang berkembang, yaitu pemikiran hermeneutika Paul Ricoeur (1913-2005) dan relevansinya bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman, khususnya dalam penafsiran dan studi Al-Qur`an.
Pemikiran Ricoeur tentang hermeneutika, selain diuraikan dalam bukunya The Rule of Metaphor, juga dijumpai dalam antologi esai-esai filsafatnya he Conflit des Interpretation, Essais d’hermeneutique (1969). Dalam bukunya itu dia berpendapat bahwa hermeneutika merangkum banyak disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman. Penafsiran adalah kegiatan membedakan makna tersembunyi (sens cache) dari wacana dengan makna lahir yang tampak (sens apparent). Dalam rangka mencapai tujuannya itu tahap awal yang harus dilakukan oleh seorang ahli hermeneutika ialah membandingkan atas makna rangkap wacana dan juga membandingkan fungsi penafsiran yang berbeda-beda disebabkan penggunaan disiplin yang berbeda-beda seperti semiotik, psikoanalisis, fenomenologi, sejarah perbandingan agama, dan kritik sastra[2].
Teori hermeneutika dari Paul Ricouer, dengan memperkenalkan tiga level “perkataan Tuhan” atau tingkatan Wahyu. Pertama, wahyu sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab. Kedua, wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih dua puluh tahun. Ketiga, wahyu sebagaimana tertulis dalam mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai mayoritas Muslim hingga hari ini.[3]
Dalam pemaknaan hermeneutika, Ricouer menitikberatkan pada pemaknaan tanda atau simbol yang dianggap sebagai teks. Menurut Ricoeur simbol adalah struktur penandaan dimana makna langsung (makna primer) sebenarnya juga menunjuk kepada makna lain yaitu makna yang tidak langsung. Akan tetapi, makna yang tidak langsung ini hanya dapat dipahami melalui makna langsung.[4] Simbol-simbol, metafora dan kata-kata yang terdapat dalam teks hanya bisa dipahami makna batinnya apabila kita merujuk pada sesuatu yang hendak diisyaratkan dalam simbol, metafora, dan kata-kata kunci. Demikian kata kunci Mekkah secara simbolik merujuk pada pusat ziarah orang Islam dari seluruh dunia pada musim haji, dan tujuan haji yang sebenamya ialah berjumpa dengan Tuhan (melaksanakan tauhid). Makna lapis pertama berkenaan dengan common sense dan dinamakan rujukan subjektif, sedangkan makna lapis kedua dan ketiga tidak cukup disingkap tanpa rujukan objektif.[5]
Pemaknaan yang muncul dari Al-Qur`an sangat dipengaruhi oleh alam pikiran, kultur dan dunia pembacanya (the world of readers). Setiap pembaca, disadari atau tidak, melakukan tindakan penafsiran yang dianggap cocok dan otentik bagi dirinya. Dalam konteks inilah hermeneutika yang digagas oleh Paul Ricoeur menemukan relevansinya. Sebagai teks tertulis, Al-Qur`an memenuhi kriteria untuk didekati dengan hermeneutika. Dengan menggunakan perspektif hermeneutika Paul Ricoeur, ayat-ayat mutasyabihât yang ada dalam Al-Qur`an dapat dipandang sebagai simbol. Ayat-ayat mutasyabihât merupakan simbol yang berupa kiasan (figurative), yang penuh dengan makna dan intensi tersembunyi, menggambarkan makna lain yang tidak langsung, dan hanya dimengerti melalui pemaknaan simbol-simbol tersebut. Bukan berarti makna literal tidak begitu penting, melainkan karena makna literal menjadi pintu bagi masuknya pemahaman terhadap makna yang lain.
Pemaknaan terhadap ayat-ayat mutasyabihât bukan hanya untuk memahami makna literalnya, atau penelusuran kesejarahan makna-makna simbolik, atau mencari pembuktian dan pembenaran terhadap hal-hal yang terkandung didalamnya. Lebih dari itu, penemuan makna intensionalnya adalah refleksi etis dan filosofis dari makna yang terkandung dalam teks dan simbol yang ada di dalam ayat Al-Qur`an. Dengan demikian pembacaan terhadap ayat-ayat mutasyabihât dalam Al-Qur`an tidak terjebak pada diskusi tentang makna literal, melainkan ditekankan pencarian makna filosofis dan refleksi etis bagi kehidupan manusia dan masyarakat, untuk menciptakan tata kehidupan yang damai, adil, dan sejahtera.
Hermeneutika Paul Ricoeur membuka cakrawala baru dalam memahami makna yang terkandung di dalam teks. Setiap teks dan simbol penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi, menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut. Makna literal yang ada dalam teks merupakan pintu masuk bagi pemahaman terhadap makna yang lain. Dalam upaya mencari makna yang lain dari makna literal diperlukan langkah-langkah metodologis. Seorang penafsir harus membuat pembedaan yang tegas antara pemahaman, penjelasan dan penafsiran.[6] Seorang penafsir juga harus dapat melakukan “perjuangan melawan distansi kultural” dengan teks dan simbol. Seorang penafsir juga harus mengambil jarak dengan obyek yang ditafsirkan. Dan pada akhirnya seorang penafsir dituntut untuk memikirkan secara mendalam, dan menemukan refleksi dari makna teks dan simbol dalam makna hidup dan kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Barokah, Sulih Nur. “Makna Jihad Dalam Novel Penakluk Badai Karya Aguk Irawan MN (Analisis Hermeneutika Paul Ricoeur).” Institut Agama Islam Negeri Puwokerto, 2021. http://repository.iainpurwokerto.ac.id/id/eprint/10627.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutika Dari Schleiermacher Sampai Derrida. Edited by Widiantoro. Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius, 2015.
M., Abdul Hadi W. Hermeneutika Sastra Barat Dan Timut. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Miswari. Filsafat Terakhir: Evaluasi Filsafat Sepanjang Masa. Edited by Eriyanto. Pertama. Lhokseumawe: Unimal Press, 2016.
Zamri, Muhammad. “Studi Kritis Atas Kritik Muh Ammad ‘Imȃrah Terhadap Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid.” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
[1] Muhammad Zamri, “Studi Kritis Atas Kritik Muh Ammad ‘Imȃrah Terhadap Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid” (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017). Hal. 3
[2] Abdul Hadi W. M., Hermeneutika Sastra Barat Dan Timut (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Hal. 52
[3] Miswari, Filsafat Terakhir: Evaluasi Filsafat Sepanjang Masa, ed. Eriyanto, Pertama (Lhokseumawe: Unimal Press, 2016). Hal. 392
[4] Sulih Nur Barokah, “Makna Jihad Dalam Novel Penakluk Badai Karya Aguk Irawan MN (Analisis Hermeneutika Paul Ricoeur)” (Institut Agama Islam Negeri Puwokerto, 2021), http://repository.iainpurwokerto.ac.id/id/eprint/10627. Hal. 29
[5] M., Hermeneutika Sastra Barat Dan Timut. Hal. 143
[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutika Dari Schleiermacher Sampai Derrida, ed. Widiantoro (Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius, 2015). Hal. 271