Positivisme mengajarkan bahwah data itu penting dan menentukan kebenaran. Bentuk dari pentingnya data melahirkan metodologi untuk menganalisis dan memahami data dan juga cara untuk menguji kebenaran. Menguji kebenaran dalam sinaran positivisme adalah menguji kesesuaiannya dengan data. Bisa dikatakan bahwa pengaruh positivisme sama luasnya dengan pengaruh ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ketika orang berbicara tentang ideologi maupun agama, maka semua itu tidak lepas dari pengaruh positivisme. Agama dan ideologi berlomba-lomba untuk membuktikan kesesuaiannya dengan data. Bahkan Kitab Suci yang awalnya hanya membutuhkan keyakinan penganutnya, kini penganutnya menuntut Kitab Suci untuk sesuai dengan data. Bahkan kesesuaian dengan data bisa memperkuat keyakinan (iman); padahal dua hal itu seharusnya tidak perlu harus saling berhubungan. Pendeknya, positivisme benar-benar telah membius dan memesona semua manusia di beberapa generasi dan hampir semua aspek kehidupan.
Di tengah pujian dan anutan yang kuat terhadap positivisme, ada celah kelemahan pada positivisme itu sendiri. Ada beberapa pertanyaan yang menghujam positivisme. Di antaranya: Benarkah semua harus berdasarkan data? Bukankah data hanya salah satu sumber ilmu pengetahuan? Data adalah sumber pengetahuan yang diam, lalu apa yang membuat data bisa dipahami?
Mari membayangkan seorang peneliti seusai meneliti dan hasil penelitiannya sudah hadir dalam bentuk karya ilmiah. Lalu, karya ilmiah itu sekarang ada di hadapannya dan sedang dibacanya. Apakah sang peneliti boleh melakukan refleksi hingga pembacaan kritis terhadap karya ilmiah tersebut? Jika hanya data yang bisa mengkritisi data, maka seharusnya sang peneliti tidak boleh melakukan kritik terhadap karya ilmiah yang ada di hadapannya. Lalu, bagaimana mereka yang sedang membicarakan sebuah karya ilmiah di sebuah ruang diskusi, apakah mereka tidak boleh berkata apa-apa karena hanya bertemu dengan tulisan dan tidak bertemu dengan pengalaman?
Jika positivisme memahami bahwa data adalah alat untuk menguji sebuah teori, maka seharusnya ada yang lain yang bisa menguji teori, yaitu kritik. Adapun data, hanyalah salah satu dari bahan untuk mengkritisi.
Ada pertanyaan lama di dalam filsafat ilmu pengetahuan yang masih bergema hingga saat ini, yaitu apa yang dapat diketahui dan apa yang tidak dapat diketahui. Jawaban untuk pertanyaan itu bermuara pada dua jawaban yaitu rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpegang kepada kemampuan akal budi manusia dan empirisme berpegang kepada pengalaman manusia.
Setelah itu, ada kecenderungan untuk menganggap bahwa intuisi dan imajinasi kreatif manusia pun mampu mengungkapkan dan melahirkan teori. Pada dasarnya, terjadi pergeseran pertanyaan dari yang dapat diketahui dan apa yang tidak dapat diketahui menjadi apa dan bagaimana pengetahuan bisa terjadi. Namun pergeseran itu tidak cukup untuk mengukur apakah sebuah pengetahuan yang diperoleh itu benar atau tidak.
Yang diperlukan untuk menemukan ilmu pengetahuan yang benar adalah kritisisme bebas, sebagaimana yang dahulu dilakukan oleh Thales, Anaximandros, atau Anaximenes. Terlepas dari salah atau benarnya pendapat Thales, dia telah melakukan kritisisme yang bebas untuk memberi jawaban atas pertanyaan: Apa zat dasar yang menjadi bahan untuk membuat segala sesuatu? Pertanyaan itu sendiri hadir dari rasa penasaran tentang asal segala sesuatu. Thales menyebut air sebagai bahan dasar segala sesuatu.
Lalu, Anaximandros membantah Thales dengan alasan asal segala sesuatu pastilah berbeda dari sesuatu yang dihasilkannya. Jika segala sesuatu berasal dari air, maka air berasal dari apa? Pasti tidak berasal dari air. Kenyataannya, sesuatu sangat banyak, maka pastilah asal sesuatu itu juga banyak. Jadi, asal segala sesuatu pasti bukan air dan pasti banyak.
Anaximenes melanjutkan argumen Anaximandros yang mempertanyakan asal air. Lalu memberikan jawaban bahwa pastilah asal dari segala sesuatu adalah sesuatu yang lebih halus darinya. Karena itulah dia memahami bahwa udara adalah asal dari segala sesuatu. Bahkan udara adalah asal dari tanah dan juga api.
Sekali lagi tidak penting apa jawaban mareka karena jawaban akan selalu berubah sepanjang waktu, tetapi yang penting adalah kritisisme mereka yang memaksimalkan penggunaan akal budi untuk membangun kritisisme. Dengan cara itulah ilmu pengetahuan bisa mencapai kebenarannya. Kritisisme mereka adalah kritisisme rasional, bukan selalu bergantung kepada data dan fakta yang bisa memperlambat laju kritisisme.
Cara kerja positivisme adalah induksi, yaitu generalisasi dalam sebuah konsep dari data partikular yang ditemukan. Generalisasi tersebut disebut hipotesis. Semakin banyak data yang sesuai dengan hipotesis, maka semakin kuat pula hipotesis tersebut. Namun, cara kerja positivisme yang, katanya, mengandalkan data itu sesungguhnya tidak juga demikian.
Proses pengambilan generalisasi dan juga hipotesis sebagaimana dijelaskan di atas sesungguhnya lebih menekankan kepada kemampuan peneliti untuk menarik generalisasi dari data-data yang ada. Jadi, kemampuan rasional peneliti lah yang bekerja, bukan data itu sendiri. Lalu, ketika dilakukan pembuktian, maka yang bekerja lagi-lagi adalah kemampuan rasional peneliti, bukan data-data itu sendiri. Dengan demikian, yang mengembangkan ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah imajinasi dan asosiasi yang kreatif.
Ketika seseorang berkata: “Kulihat cinta di matanya”, maka itu muncul dari sebuah pengalaman yang terjadi sekali saja. Namun setelah kalimat itu sampai kepada orang lain, maka kata “cinta” mengarah kepada makna yang umum. “Cinta” di situ bukan lagi “cinta” yang terlihat kala sebuah pengalaman empiris terjadi, tetapi sudah menjadi sebuah konsep cinta yang mengatasi cinta yang terlihat pada waktu itu. Karena itulah, pernyataan tersebut bisa disampaikan kepada orang lain padahal yang lain tidak mengalami hal yang persis sama namun orang lain itu bisa memahaminya juga.
Apakah orang lain yang mendengarkan kalimat: “Kuliahat cinta di matanya” tidak mungkin memahami kalimat tersebut? Menurut positivisme, tidak mungkin karena pengetahuan hanya berasal dari pengalaman sedangkan yang mendengarkan kalimat itu tidak mengalaminya. Bahkan ketika orang lain juga mengalaminya lalu melahirkan pernyataan yang sama, yaitu: “Kulihat cinta di matanya”, maka kedua pernyataan di atas tidaklah sama karena berasal dari orang yang berbeda dan karena itu, pengalaman mereka pun berbeda. Dalam bangunan ilmu pengetahuan, itu adalah persoalan besar yang bisa meruntuhkannya.
Manusia memiliki roh yang mampu menampung semua pengalaman lalu dinyatakannya secara teoretis. Pengalaman tidak akan menjadi ilmu pengetahuan tanpa roh tersebut. Meski demikian, pengalaman tetap penting perannya dalam ilmu pengetahuan. Bahkan data bisa dijadikan salah satu alat untuk menguji keabsahan ilmu pengetahuan. Salah satu, bukan satu-satunya.
Dengan kemampuan roh tersebut, sebuah rumusan tentang pengalaman bisa hadir dan bisa dipertanggungjawabkan hingga bisa dipakai untuk menangkap, mengungkapkan, dan menjelaskan fakta, serta bisa membantu untuk menjelaskan peristiwa yang belum terjadi atau terjadi di masa datang setelah rumusan tersebut dibuat. Hal seperti ini tidak dilihat oleh positivisme karena positivisme lebih hanya kepada mengumpulkan data dan memahaminya, bukan sampai kepada menjelaskan data yang lain atau kejadian yang lain yang terjadi di masa yang berbeda.
Satu hal tentang positivisme sebagaimana dijelaskan di atas adalah adanya tersirat klaim dogmatisme yaitu ketidakmungkinan untuk salah karena alasannya adalah pengetahuan berbasis data atau pengalaman. Bukankah data dan pengalaman tidak mungkin salah? Hal tersebut sulit untuk dibenarkan karena bertentangan dengan karakter dasar ilmu pengatahuan yaitu: mungkin salah. Hanya dogma, ideologi, dan teologi yang tidak mungkin salah. Karena itu, ada kesan bahwa komitmen positivisme bukan kepada kebenaran, tetapi kepada pembenaran. Karena itulah, bagian atas tulisan ini menawarkan kritisisme bebas agar kemungkinan salah pada ilmu pengetahuan tetap ada.
Persoalannya kini adalah apakah kemungkinan salah yang bermaksud berkomitmen kepada kebenaran ini malah bisa terjatuh kepada relativisme?
Komitmen kepada kebenaran yang berawal dari paradigma kemungkinan salah untuk ilmu pengetahuan tidak harus terjatuh kepada relativisme. Bisa juga itu adalah upaya untuk semakin mampu merumuskan kebenaran. Jadi, kemungkinan salah tidak menutup kemungkinan benar. Jika sebuah ilmu pengetahuan diuji, maka kemungkinan selalu dua yaitu benar atau salah. Lalu, mengapa rumusannya adalah kemungkinan salah dan bukan kemungkinan benar? Sebuah teori pasti sudah teruji kebenarannya, maka ketika ada ujian berikutnya untuk teori tersebut, maka penekanannya adalah kemungkinan salahnya, bukan kemungkinan benarnya. Jadi, tetap ada kemungkinan sebuah teori malah semakin kuat setelah diuji.
Sebuah ilmu pengetahuan, sebuah teori, atau sebuah pemikiran selalu penting untuk diuji kebenarannya bukan untuk memastikan kebenarannya, tetapi untuk memastikan apakah dia layak dipakai untuk mengembangkan ilmu pengetahuan selanjutnya. Kebenaran yang pasti tidak pernah ada untuk ilmu pengetahuan. Di situlah uniknya. Ilmu pengetahuan berkembang bukan dalam kepastian tetapi dalam upaya terus-menerus memperbaharui kebenaran karena setiap kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran sementara.[]
Editor: AMN