Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an

klimg.com

Hermeneutika dan tafsir ialah dua metode yang sama-sama mengkaji teks namun memiliki objek yang berbeda. Hermeneutika merupakan produk barat dan dalam perjalanan sejarahnya digunakan untuk menafsirkan teks-teks mitos Yunani dan kitab suci keyakinan di luar Islam. Sedangkan tafsir al-Qur’an merupakan tradisi yang telah lama berkembang dalam dunia Islam yaitu pada masa rasulullah saw. lalu bagaimana kedudukan hermeneutika dalam ilmu tafsir al-Qur’an dan apakah bisa difungsikan sebagai metode manfsirkan al-Qur’an. Upaya coba-coba dari beberapa ilmuwan kontemporer yang belum membuahkan pemikiran Islam yang utuh dan komprehensif. Akibatnya para pendukung hermeneutika tidak akan mampu membuat suatu tafsir Alquran yang utuh mereka hanya berkutat pada masalah dekonstruksi sejumlah konsep atau hukum Islam yang sudah dipandang baku dalam Islam. Tafsir secara etimologi mengikuti wazan taf’il, berasal dari kata fasr yang penjelasan atau keterangan. Ibn Manzur dalam Lisan al-Arab menjelaskan bahwa “fasr” adalah menyingkap sesuatu yang tertutup dan tafsir adalah menyingkap makna yang dikehendaki dari lafadz yang musykil.[1] Menurut Az-Zarkasyi dalam al-Burhan menjelaskan bahwa tafsir adalah menerangkan makna-makna al-Qur’an dan mengeluarkan hukumnya dan hikmahnya.[2] Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas bagaimana cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapi.[3] Dari sini dapat kita pahami bahwa tafsir merupakan proses yang dilakukan seseorang (mufassir) untuk mengetahui makna yang ada pada al-Qur’an.  Sumber tafsir merupakan hal yang sangat penting untuk dibahas karena poin ini merupakan dasar dalam pemahaman mengkaji ilmu tafsir al-Qur’an. menurut Ahsin Sakho ada tiga sumber tafsir yang harus dipahami. Pertama adalah bil ma’tsur. Kedua, bil ra’yi dan ketiga Isyari.[4]  Sumber bil ma’tsur ialah tafsir Al-Qur’an berdasarkan riwayat yang meliputi ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan sunnah Rasul dan penafsiran dengan riwayat sahabat. Tafsir bi al-ma’sur dari Al-Qur’an dan sunnah yang sahih dinilai marfu’ harus diterima. Sementara yang berasal dari riwayat sahabat dan tabiin masih diperselisihkan apakah diterima atau tidak.[5] Sumber bil ra’yi ialah sumber yang berasal dari akal. Menurut Syeikh Manna’ al-Qaththan, tafsir bi al-ra’yi adalah tafsir yang dalam penjelasan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya berpegang kepada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) didasarkan pada logikanya semata.[6] Isyari sumber tafsir yang berdasarkan intuisi seorang mufassir al-Qur’an. Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani; hermeneuin, yang diterjemahkan dengan “menafsirkan”, kata bendanya hermeneia artinya tafsiran. Dalam tradisi Yunani kuno kata hermeneuein dipakai dalam tiga kata makna, yaitu: Mengatakan,  Menjelsakan, Menerjemahkan. Dalam bahasa Inggris ketiga tersebut diekspresikan dengan kata to interpret.[7] Menurut Adian Husain bahwa hermeneutika berarti Tafsir.[8] Hal demikian juga dijelaskan Kresbinol Labobar dalam bukunya bahwa hermeneutika dari bahasa Ibrani pathar, artinya menafsir (to interprete) kata bendanya pithron artinya tafsiran (interpretation).[9] Jika keduanya hampir memiliki makna yang sama lalu apakah keduanya merupakan metode yang sama dan bisa digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an?. Menurut Sahiron Syamsuddin bisa. Menurutnya, bukan hanya bisa melainkan dapat melengkapi metode penafsiran al-Qur’an hal ini didasari pada tiga poin yaitu: Pertama, secara terminologi, hermeneutika seni menafsirkan dan ilmu tafsir pada dasarnya tidaklah berbeda. Keduanya mengajarkan kepada kita bagaimana kita memahami dan menafsirkan teks secara benar dan cermat. Kedua, yang membedakan antara keduanya, selain sejarah kemunculanya adalah ruang lingkup dan objek pembahasannya: hermeneutika sebagaimana yang diungkapkan di atas, mencakup seluruh objek penelitian dalam ilmu sosial dan humaniora sermasuk didalanya bahasa atau teks sementara ilmu tafsir hanya berkaitan dengan teks. Dengan demikian maka objek yang mempersatukan tafsir dan hermeneutika adalah teks. Ketiga, memang benar bahwa objek utama ilmu tafsir adalah al-Qur’an, sementara objek utama hermeneutika pada awalnya adalah teks Bibel, di mana proses pewahyuan kedua kitab suci ini berbeda. Dalam hal ini, mungkin orang akan bertanya apakah bisa hermeneutika diterapkan dalam menafsirkan al-Qur’an begitupun sebaliknya. Menurut Sahiron, hal ini bisa diatasi dengan argumentasi bahwa meskipun al-Qur’an diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai wahyu Allah secara verbatim, sementara Bibel diyakini umat kristiani sebagai wahyu tuhan dalam bentuk inspirasi, namun bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan Ilahi kepada manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti baik melalui hermeneutik maupun ilmu tafsir.[10] Menurut prof. Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud dalam bukunya The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquid al-Attas: and Exposition of the Original Concept of Islamization menilai bahwa tafsir benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain. Hermeneutika bisa saja digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an, akan tetapi kedudukan hermeneutika tidak melebihi tafsiran Rasulullah SAW dan para sahabat yang telah lama bersama rasul. Artinya penggunaan metode hermeneutik juga tidak bisa terlepas dari ketentuan yang berlaku dalam menafsirkan al-Qur’an sebagaimana yang telah disepakati para ulama. Perlu dipahami bahwa penggunaan hermeneutika tidak boleh menyalahi aturan penafsiran dan menghasilkan pelencengan penafsiran yang membuat perubahan pada hukum yang ada pada al-Qur’an. Dengan demikian ada tiga unsur yang sama antara hermeneutika dan tafsir Alquran ketiga unsur yang dimaksud menurut Nasharuddin Baidan yang pertama adalah teks interpreter dan audiens atau penerima tafsir ketiga aspek tersebut secara implisit berisi tiga konsep pokok yakni membicarakan hakikat sebuah teks selanjutnya apakah interpreter nya memahami teks dengan baik dan bagaimana suatu penafsiran dapat dibatasi oleh asumsi-asumsi dasar serta kepercayaan atau wawasan para audien ketiga unsur pokok yang menjadi pilar utama dalam teori hermeneutika itu itu tidak jauh berbeda dari yang dipakai oleh para ulama tafsir dalam menafsirkan Alquran sebagaimana Ibnu Taimiyah misalnya menyatakan bahwa dalam setiap proses penafsiran harus diperhatikan 3 poin yang pertama siapa yang menyebabkannya, kedua, kepada siapa ia diturunkan dan ketiga ditujukan kepada siapa. Selain persamaan dalam tiga prinsip dasar itu menurut Nasharuddin Baidan ilmu tafsir juga mempunyai tujuan yang sama dengan hermeneutika yakini ingin menjelaskankan suatu teks sejujur-jujurnya dan objektif mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Husain, Adian. 2007. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani.

Labobar, Kresbinol. 2017. Dasar-Dasar Hermeneutik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Manzur, Ibnu. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Sadir. Vol. 5.

Muhammad, Ahsin Sakho. 2019. Membumikan Ulumul Qur’an. Jakarta: Qaf.

Qaththan, Manna al. 2020. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Shiddieqy, Teungku M. Hasbi Ash. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Susanto, Edi. 2016. Studi Hermeneutik Kajian Pengantar. Jakarta: Kencana.

Syamsuddin, Sahiron. 2009. Hermeneutika dan Pengembangan Ilmu Al-Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press. Syarafuddin H.Z., Tafsir Bi Al-Ma’sur (Kelebihan Dan Kekurangan Serta Pengembanganya). Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.


[1] Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Sadir, t.th), Vol. 5, h. 55.

[2] Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 153.

[3] Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020), h. 409.

[4] Ahsin Sakho Muhammad, Membumikan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Qaf, 2019), h. 157.

[5] Syarafuddin H.Z., Tafsir Bi Al-Ma’sur (Kelebihan Dan Kekurangan Serta Pengembanganya), (Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)

[6] Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, h. 434.

[7] Edi Susanto, Studi Hermeneutik Kajian Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 1.

[8] Adian Husain, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), h. 7. 

[9] Kresbinol Labobar, Dasar-Dasar Hermeneutik, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2017), h. 1.

[10] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ilmu Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea press, 2009), h. 72-73.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *