Biografi Derrida
Jacques Derrida lahir di kota Elbiar dekat Aljir Al-Jazair pada tanggal 15 Juli 1930 M, yang waktu itu masih dijajah Prancis. Orang tuanya bernama Aime Derrida dan Georgette Sultana Ester Safar. Menikah pada tahun 1923, dan pindah ke St. Agustinus di Aljazair. Keduanya keturunan Yahudi yang nenek moyang mereka berasal dari Spanyol dan menetap di Aljazair. Pada tahun 1949 Derrida pindah ke Prancis dan meninggal di sana.[1]
Setelah selesai di hypnokhagne di tahun 1952 Derrida berhasil masuk ke Ecoule Normale Superiere, sekolah bergengsi yang telah meluluskan banyak filsuf Prancis. Di sana dia berkenalan dengan banyak dosen terkenal diantaranya Louise Althusser dan Michel Foucault. Pada tahun 1953-1954, Derrida mempelajari arsip-arsip Husserl di univertas Leuven, Belgia. Pada tahun 1960-1964, Dia mengajar di universitas Paris I Sorbone-Panteon dan sempat menjadi asisten Ricour. Setelahnya, Derrida kembali ke Ecoule Normale Superiere sebagai pengajar. Derrida wafat pada tanggal 9 Oktober 2004, pada usia 74 tahun dikarenakan mengidap kanker.[2]
Pemikiran Derrida
Pemikirannya dipengaruhi oleh tradisi pemikiran yang berkembang pada tahun 1950-1970-an. Suatu era pergeseran dari era modernitas ke posmodernitas dan peralihan dari strukturalisme ke posstruktualisme. Tahun 1974 Derrida terlibat dalam pembentukan Group de Recherche sur L’ enseigment de la Philosophie (GREPH), yang berhasil menggagalkan upaya pemerintah Prancis untuk membatasi pengajaran filsafat. Sejak tahun 1974, Derrida aktif dalam kegiatan perhimpunan dosen-dosen filsafat yang memperjuangkan tempat yang wajar bagi pengajaran filsafat di sekolah-sekolah menengah di Prancis. Perhimpunan ini mulai aktif ketika rencana pembaharuan pengajaran dilakukan, dan pengajaran filsafat mulai dipertanyakan. Derrida mengajukan pernyataan menarik ketika ia mengemukakan “Qui apeur de la philoshopie” (Siapa takut filsafat?).[3]
Pada intinya pemikiran Derrida ini dilatarbelakangi oleh ontologi Heidegger, fenomenologi dan postrukturalime Prancis. Kemudian berkaitan dengan teori itu muncul karena kritik terhadap Saussurian. Ferdinand de Saussure merumuskan teorinya melalui dua oposisi biner (dua hal yang berlawanan), seperti besar dan kecil, ucapan dan tulisan, ada dan tidak ada, murni dan tercemar, dan seterusnya. Dalam pandangannya bahwa yang pertama selalu superior, sempuna, utama, sedangkan yang kedua disingkirkan atau marginal. Istilah dekonstruksi ini dikenakan kepada Derrida sejak ia memberikan ceramah di Amerika dalam sebuah artikel. Pemikiran Derrida juga bukan suatu yang khas dalam hal dekonstruksi. Jika kita melihat perkembangan filsafat Prancis dan bahkan di Jerman, ada beberapa filosof yang sudah berbicara tentang dekonstruksi.[4]
Terdapat beberapa pengertian dekonstruksi menurut para ahli yakni, secara leksikal prefiks “de” berarti penurunan, pengurangan, penokohan, dan penolakan. Jadi, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap konstruksi, yaitu gagasan. Menurut Al-Fayyadl, dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri. Umar Junus, memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra.[5] Dari penelitian McQuillan didapat bahwa dekonstruksi adalah sebentuk interpretasi teks, tetapi interpretasi itu tidak sama dengan yang dimengerti sampai sejauh ini. Dekonstruksi adalah sebuah interpretasi teks yang dilakukan secara radikal, dan bisa disebut “hermeneutik radikal”. Mengapa demikian? karena dekonstruksi ini memang berlawanan dengan pemahaman biasa pada zamannya, yaitu modernis. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi binner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis.[6]
Pada dasarnya, dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Prancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak yang lain membongkar metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.
Penerapan Dekonstruksi ke Penafsira Al-Quran
Seletah mengetahui lebih jauh tentang dekonstruksi Derrida yang objeknya adalah teks kemudian membongkar teks dan memunculkan unsur-unsur yang kontradiktif satu sama lain yang menghasilkan suatu kebenaran yang sangat mungkin dibantah atau relatif. Bagaimana jika dekonstruksi ini diterapkan kepada tafsir Al-Quran yang intinya menguak makna di balik teks?.
Adapun tafsir dalam bahasa Arab berasal dari kata al-Fasr yang berarti penjelas atau keterangan, yaitu menerangkan dan mengungkapkan sesuatu yang belum jelas. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan definisinya. Sebagaian ulama menyatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang menerangkan tentang turunnya ayat-ayat, hal ihwalnya, kisah-kisahnya, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzûl-nya, tertib makiyah dan madâniyah-nya, muhkam dan mutasyâbih-nya, halal dan haramnya wa’ad dan wa’îd-nya, nâsikh dan mansûkh-nya, khas dan ‘amm-nya, mutlaq dan muqayyâd-nya, perintah dan larangannya, ungkapan dan tamsil-nya, dan sebagainya.[7]
Pendapat Abd Azhim Zarqani dalam Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm Al-Qurân mengatakan bahwa tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang Al-Quran dari segi dilalah-nya berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia. Sedangkan dalam Mu’jam al-Wâsith disebutkan bahwa tafsir adalah penjelasan makna Al-Quran dan menghasilkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum dari ayatnya. Fokus tafsir dari definisi sebelumnya adalah dengan menjelaskan makna Al-Quran, akan diperoleh darinya kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum. Artinya, sasaran akhir tafsir adalah mengeluarkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum. Terdapat banyak pengertian yang terlingkup dalam kata tafsir atau kata-kata lain yang menjadi padanannya. Namun, secara umum diterima bahwa yang dimaksud dengan kata itu adalah usaha untuk memperjelas makna teks Al-Quran, juga termasuk dalam pengertiannya adalah usaha untuk mengadaptasi teks Al-Quran ke dalam situasi kontemporer seorang mufassir. Dengan demikian, di samping untuk memenuhi kebutuhan teoritis untuk memahami pesan-pesan Al-Quran, tafsir juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan praktis yang besar untuk mendapatkan petunjuk kitab suci yang akan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.[8]
Jika metode dekonstruksi Derrida adalah bagaimana menginterpretasikan teks apakah bisa menginterpretasi ayat-ayat di dalam Al-Quran? jawabnya bisa, karena objek kajian dekonstruksi dan tafsir itu sendiri adalah teks. Namun, yang jadi permasalahan dengan dekonstruksi ini kesan teks Al-Quran yang suci, terbebas dari kesalahan, sakral bagi umat Islam karena firman Allah SWT, dan pedoman hidup bagi umat Islam akan hilang begitu saja karena dekonstruksi ini ada untuk meniadakan kebenaran absolut dalam teks, menimbulkan banyak makna sehingga teks tersebut bisa sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya, dekonstruksi membiarkan teks itu ambigu dan tidak menantang segala kemungkinan.
Dengan demikian hal ini bertentangan dengan tujuan tafsir sendiri yaitu untuk memperjelas makna teks Al-Quran agar bisa diterapkan, dihayati, dan menjadi pedoman hidup untuk umat Islam di era sekarang ini. Hal ini yang menjadikan dekonstruksi tidak bisa diterapkan dalam penafsiran Al-Quran. Karena memang diketahui juga bahwa tujuan pertama dan utama digunakannya hermeneutika adalah mempelajari Bibel yang sangat berbeda dari segi sejarah dan orientasinya.[9]
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.
Kholis, Nur. Pengantar Studi Al-Quran dan Hadis. Yogyakarta: Teras, 2018.
Lubis, Akhyar Yusuf. Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuan. Bogor: Akedemia, 2003.
Masykur Arif, Rahman. Buku Pintar Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Ircisod, 2013.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013. Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: PT Kanisius, 1999.
[1] Akhyar Yusuf Lubis, Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuan, Bogor: Akedemia, 2003, hal. 91-92.
[2] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius, 2015, hal. 273-277.
[3] Akhyar Yusuf Lubis, Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuan…, hal. 92.
[4] Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Ircisod, 2013, hal. 412-415.
[5] E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: PT Kanisius, 1999, hal. 120.
[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: dari Schleiermacher sampai Derrida…, hal. 291-296.
[7] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Quran dan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2018, hal. 135.
[8] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Quran dan Hadis…, hal. 136.
[9] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013, hal. 431.