Bisa dipahami bahwa setiap temuan dan pemikiran layak dipertanyakan dan ditinjau ulang jika memang diperlukan. Namun apakah itu juga berlaku pada metodologi ilmiah atau teori tertentu atau sudut pandang tertentu? Bukankah metodologi ilmiah atau teori jauh lebih solid daripada sekadar pemikiran?
Setiap ilmu pengetahuan memiliki pandangan dasar atau paradigma yang terdiri dari unsur-unsur teori, pengembangan hipotesis, serta kerangka metodologi, sebagai hasil dari prestasi komunitas ilmiah dan biasanya sudah berlangsung sangat lama. Lewat paradigma tersebut, komunitas ilmiah menelisik problem yang layak dipecahkan dan bagaimana cara pemecahannya. Pendeknya, paradigma adalah cara pandang sebuah disiplin ilmu yang juga menjadi cara pandang orang-orang yang berada di dalam komunitas ilmiah dalam disiplin ilmu tersebut.
Saat sebuah komunitas ilmiah memakai paradigma tertentu tanpa persoalan berarti dan telah sekian lama mereka pakai sehingga telah melahirkan begitu banyak penemuan dan pemikiran, maka itu bisa disebut sebagai fase normal untuk sebuah paradigma. Komunitas ilmiah tertentu tentu saja merasa nyaman dan terus berada di dalam paradigma yang telah berlaku lama, namun zaman selalu dinamis dan bisa saja di dalam waktu tertentu, kenyamanan komunitas ilmiah tersebut terguncang. Itulah yang disebut dengan anomali dan memancing hadirnya revolusi ilmu pengetahuan yang akan sangat menentukan masa depan ilmu pengetahuan.
Bisa saja dinamika zaman membawa manusia kepada ketidakpuasan atas kerangka penjelasan atau paradigma ilmu pengetahuan yang lama, namun belum juga yang tidak puas menemukan solusi untuk menggantikannya. Masa seperti itu disebut anomali atau krisis. Krisis dapat berakhir jika bangunan kerangka penjelasan ilmu pengetahuan yang lama itu runtuh dan dapat juga berakhir jika muncul teori-teori baru atau bahkan paradigma baru. Demikianlah kebebasan ilmu pengetahuan itu.
Jadi, paradigma ini adalah sesuatu yang jauh lebih besar daripada pemikiran atau teori orang per orang. Paradigma adalah keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh komunitas ilmiah dalam cara pandang yang disepakati bersama untuk menjawab setiap persoalan yang berkaitan dengan disiplin ilmu tersebut. Kesepakatan dan keterlibatan secara emosional para peneliti dengan satu paradigma tertentu dalam waktu yang sangat lama melahirkan kematangan bagi disiplin ilmu tersebut.
Jika diumpamakan Ulumul Quran sebagai sebuah disiplin ilmu yang memiliki paradigma tersendiri, maka keseluruhan aktivitas komunitas ilmiah yang menggunakan Ulumul Qur’an sebagai cara untuk memahami Al-Qur’an sekian lama membangun dan menyepakati cara pandang bersama untuk menjawab sebuah persoalan: bagaimana cara memahami Al-Qur’an. Kesepakatan dan keterlibatan cara emosional para pemikir semakin mematangkan Ulumul Qur’an sebagai metodologi untuk mamahami Al-Qur’an. Itu bisa disebut sebagai paradigma.
Lalu, perkembangan zaman memunculkan ketidakpuasan terhadap penjelasan Ulumul Qur’an, namun belum tentu pengganti bagi Ulumul Qur’an sudah ditemukan. Kalaupun sudah ditemukan, belum tentu sudah mengalami pematangan sebagaimana Ulumul Qur’an. Maka, terjadilah anomali atau krisis. Bisa dikatakan Uluml Qur’an sebagai sebuah paradigma sedang mengalami krisis, bisa pula dikatakan tidak.
Jika dikatakan sedang mengalami krisis, maka salah satu alasannya adalah ketidakpuasan terhadap Ulumul Qur’an masih ada sedangkan alternatifnya belum ditemukan atau belum ditentukan. Jika itu benar, maka Ulumul Qur’an sedang memasuki fase pra-paradigma akibat belum ditemukannya paradigma baru yang matang. Jika dikatakan tidak sedang mengalami krisis, maka salah satu alasannya adalah bahwa Ulumul Qur’an yang ada sedang baik-baik saja. Tidak ada ketidakpuasan yang cukup kuat untuk menggoyahkannya.
Dalam keadaan tidak krisis atau dalam keadaan normal, paradigma Ulumul Qur’an yang sudah ada lebih dimanfaatkan oleh para peneliti untuk menghidupkan dan mempertegas fakta dan teori yang sudah ada. Karena itu, peneliti, dengan menggunakan paradigma yang sudah ada, memperluas pengetahuannya dan mendukungnya dengan fakta-fakta. Jadi, hanya ada perluasan ilmu pengetahuan, tidak baru. Teori baru pun tidak akan muncul. Karena itu, bisa dibedakan antara kritik terhadap sebuah teori dengan kritik terhadap sebuah paradigma. Kritik teoretis bisa hadir pada yang pertama dan kritik paradigmatik hanya bisa lahir pada yang kedua.
Perluasan ilmu pengetahuan dengan paradigma yang sudah ada juga mampu memecahkan masalah-masalah yang ada dan baru, tapi sesungguhnya itu tidak benar-benar baru karena telah ada secara implisit di dalam paradigma yang telah ada. Ulumul Qur’an pun demikian. Memang Ulumul Qur’an mampu memecahkan masalah-masalah kontemporer, tetapi sesungguhnya tidak ada yang baru dalam pemecahan tersebut karena paradigma yang dipakai tetap paradigma lama yang secara implisit mengulang solusi yang sudah ada sejak lama.
Dalam pandangan tentang paradigma ini, setiap masalah yang diselesaikan sesungguhnya tidak diselesaikan secara rasional, empiris, atau lewat aturan logis tertentu, tetapi diselesaikan menurut paradigma yang sudah ada. Katakanlah persoalan poligami dibahas dari sudut pandang Ulumul Qur’an, maka solusi yang ditawarkan nanti sesungguhnya sudah ada secara implisit di dalam paradigma Ulumul Qur’an yang ada di benak peneliti.
Ulumul Qur’an yang berkembang karena perubahan zaman pun sesungguhnya berkembang seturut paradigmanya yang dianut sejak lama. Misalnya, perkembangan mutakhir Ulumul Qur’an adalah tafsir maudhui. Jika dicermati, maka tafsir maudhui tidak jauh-jauh dari paradigma tafsir yang lebih awal, misalnya tafsir bil ma’tsur. Semuanya tidak mau jauh-jauh dari teks karena tidak ingin mengkhianati teks. Teks adalah paradigmanya. Peneliti yang paling cakap untuk menerapkan Ulumul Qur’an dan menemukan hal-hal baru dari penelitiannya adalah peneliti yang paling memahami—bahkan terikat secara emosional dengan—paradigma Ulumul Qur’an itu sendiri, bukan yang lain.
Penemuan hal-hal baru ditentukan oleh perubahan paradigma. Memang, perubahan teori dan penemuan fakta tidak akan berarti banyak jika paradigma tidak berubah. Namun, penemuan fakta baru dan perubahan teori sangat menentukan perubahan paradigma di masa depan. Dengan adanya fakta baru, maka kesadaran tentang tidak memadainya lagi paradigma lama suatu disiplin ilmu mulai muncul. Penemuan fakta-fakta baru meniscayakan perubahan teori karena teori lama tidak lagi mampu menjelaskan kenyataan. Lalu, disusul kemudian perubahan paradigma.
Misalnya, apakah Ulumul Qur’an cukup memadai untuk menjelaskan merebaknya poligami yang bahkan ada pelatihan tertentu untuk berpoligami dan dianggap sesuai dengan syariat? Bahkan ada kecenderungan untuk mengatakan bahwa tidak berpoligami adalah tidak sesuai syariat. Bagaimana Ulumul Qur’an menjelaskan dan memberi solusi atas itu? Cukupkah dengan mengatakan bahwa poligami adalah pintu darurat pesawat yang tidak setiap saat dibuka?
Ketidakpuasan seperti di atas adalah contoh penemuan fakta baru dan ketidakpuasan atas teori yang sudah ada. Lalu, sangat mungkin paradigma baru lahir dari ketidakpuasan-ketidakpuasan seperti itu. Mungkinkah hermeneutika menemukan pintu masuknya di Ulumul Qur’an dalam hal ini? Mungkinkah akan terjadi perubahan paradigma? Semuanya mungkin. Satu hal tentang paradigma adalah bahwa semakin matang sebuah paradigma, maka semakin dia sensitif untuk menemukan fakta-fakta baru hingga melahirkan teori-teori baru. Jadi, semakin matang sebuah paradigma, maka semakin mungkin paradigma baru akan lahir. Sepertinya paradigma Ulumul Qur’an sendiri sudah sangat matang.
Saat sebuah paradigma baru lahir, maka saat itulah revolusi ilmu pengetahuan terjadi. Revolusi ilmu pengetahuan tidak terjadi hanya pada saat teori baru lahir. Teori baru yang lahir hanya menjadi catatan kaki bagi paradigma yang sama.
Ketika sauatu paradigma baru lahir, maka lahir pula definisi baru tentang ilmu pengetahuan. Saat terjadi perdebatan antara dua kelompok ilmuwan, maka salah satu yang penting dilihat adalah paradigma yang keduanya pakai. Paradigma yang berbeda bisa melahirkan pemikiran yang berbeda sekaligus menjelaskan mengapa keduanya berbeda pemikiran. Perbedaan paradigma sama dengan perbedaan cara untuk memecahkan masalah. Katakanlah ketika definisi tentang planet berubah, maka terjadi perbedaan dalam memandang Pluto. Ketika cara pandang tentang poligami berubah, maka sikap pandangan tentang kursus-kursus berpoligami pun berubah.
Pandangan tentang paradigma ini adalah pandangan yang lebih luas daripada sekadar teori. Pandangan tentang paradigma melibatkan sejarah panjang ilmu pengetahuan itu sendiri karena sejarah ilmu pengetahuan adalah sejarah perubahan paradigma-paradigma. Kadang peneliti dikelabui oleh kenyataan bahwa mereka sedang membuat perubahan besar hanya dengan mengubah teori, padahal hanya dengan perubahan paradigma lah perubahan besar itu terjadi. Pandangan tentang poligami tidak akan ke mana-mana jika hanya paradigma Ulumul Qur’an yang diajukan.[]
Editor: AMN
sangat bermanfaat sekali