Hermeneutik Gadamer dan Relasinya dengan Tafsir

  • Hermeneutik Gadamer

Hans-George Gadamer adalah seorang filosof kelahiran Marburg pada tahun 1900. Ia belajar filsafat pada Nikolai Hartmann, Martin Heidegger, dan Rodolf Bultmann, seorang teolog protestan. Pada tahun 1922 ia meraih gelar “doktor filsafat”. Sembilan tahun kemudian ia menjadi privatdozent di Marburg. Setelah selama tiga tahun mengajar, tepatnya tahun 1937 ia menjadi profesor. Tetapi dua tahun kemudian Gadamer pindah ke Leipzig. Pada tahun 1947 ia pindah lagi ke Frankfurt am Main. Akhirnya di tahun 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai pensiunnya.[1] Gadamer dikenal sebagai seorang penulis kontemporer dalam bidang hermeneutik yang amat terkemuka. Lewat karya monumentalnya Wahrheit and Methode: Grundzuge einer Philosophischen Hermeneutik (Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis menurut garis besarnya) telah menghantarkan dirinya sebagai seorang filsuf terkemuka di bidang hermeneutika filosofis.

Walaupun bukunya tersebut berjudul Wahrheit and Methode (Kebenaran dan Metode), namun Gadamer tidak bermaksud menjadikan hermeneutika sebagai metode. Bagi Gadamer hermeneutika bukan hanya sekedar menyangkut persoalan metodologi penafsiran, melainkan penafsiran yang bersifat ontologi, yaitu bahwa understanding itu sendiri merupakan the way of being dari manusia. Jadi baginya lebih merupakan usaha memahami dan menginterpretasi sebuah teks, baik teks keagamaan maupun lainnya seperti seni dan sejarah.[2]

Dalam teori Gadamer, membaca dan memahami sebuah teks pada dasarnya adalah juga melakukan dialog dan membangun sintesis antara dunia teks, dunia pengarang dan dunia pembaca. Ketiga hal ini; dunia teks, dunia pengarang dan dunia pembaca harus menjadi pertimbangan dalam setiap pemahaman, dimana masing-masingnya mempunyai konteks tersendiri sehingga jika memahami yang satu tanpa mempertimbangkan yang lain, maka pemahaman atas teks menjadi kering dan miskin. Untuk mendapatkan pemahaman yang maksimal, Gadamer mengajukan beberapa konsep diantaranya sebagai berikut:

Pertama, “pengalaman hermeneutis” (hermeneutische erfahrung). Menurut Gadamer sebuah dialog seperti dialog kita dengan teks akan dipandang sebagai dialog yang produktif jika formulasi subjek-objek “aku-engkau” telah hilang dan digantikan dengan “kami”.[3]

Kedua, “prasangka dan otoritas”. Gadamer berargumen bahwa prasangka dan otoritas tidak dapat sama sekali dibersihkan dari pemahaman teks karena upaya pebersihan itu sendiri adalah sebuah prasangka. Sebaliknya, prasangka dan otoritas justru merupakan komponen-komponen yang memungkikan pemahaman teks, maka tugas pembaca adalah membedakan antara prasangka yang legitim dan yang illegitim.[4]

Ketiga, “peleburan horizon-horizon” (horizontverschmelzung). Menurut Gadamer, pemahaman atas teks tidak pernah steril dari situasi spasion-temporal pembaca dan teks, melainkan selalu merupakan interseksi situasi pembaca dan teks. Jadi, seorang pembaca melebarkan horizon kekiniannya sampai menjangkau horizon masa silam teks untuk memahami teks itu secara kreatif.[5]

Keempat, “sejarah pengaruh” (wirkungsgeschichte). “wirkungsgeschichte” dalam pengertian yang diberikan oleh Gadamer adalah suatu situasi yang didalamnya kita sebagai pelaku sejarah tidak dapat melampaui sejarah, sehinga sebuah penelitian sejarah yang mengklaim diri obyektif sekalipun tersituasi oleh sejarah, yakni: oleh suatu zaman yang mengejar obyektivitas. Hasil-hasil penelitian sejarah juga tidak berdiri diluar sejarah, melainkan merupakan bagian berkesinambungan sejarah.[6]

  • Relasi Hermeneutik Gadamer dengan Tafsir  

Sekilas secara etimologis nampaknya tidak ada perbedaan antara hermeneutik dengan tafsir. Atau dengan ungkapan lain hermeneutik adalah merupakan seni berintrepretasi. Jika demikian bila dibandingkan dengan ilmu tafsir dalam tradisi keilmuan Islam, maka hermeneutik semakna dengan tafsir atau penafsiran. Meskipun dalam perjalanan sejarah keduanya dibedakan dalam tataran teologis. Penafsiran biasanya disejajarkan dengan praktik penafsiran, sedangkan hermeneutik menunjuk kepada tujuan, prinsip dan kriteria dari praktek tersebut. Dengan kata lain, hermeneutika adalah teori penafsiran.[7]

Hermeneutika sebagai bentuk upaya penafsiran dan memberi makna atas sebuah teks, maka inti dari pemikiran hermeneutika Gadamer bertumpu pada konsep “memahami sebagai sebuah kesepahaman”. Pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialetika dan bahasa. Oleh karenanya pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini. Pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah.

Oleh karena itu hasil yang terpenting dari keseluruhan pemikiran Gadamer adalah bahwa pemahaman terhadap sebuah wacana (teks) akan terjadi manakala teks itu terus-menerus ditempatkan dalam kerangka konteks yang berubah secara kontinyu. Perubahan kontinyuitas dalam memahami teks akan mudah dengan mengikuti perubahan kontinyuitas dalam suatu karya.

Teori Gadamer tersebut adalah sebuah upaya penerapan dari tugas pokok hermeneutika yaitu bagaimana menafsirkan sebuah teks yang asing menjadi tidak asing; bagaimana menelusuri pesan dan pengertian dasar sebuah ungkapan dan tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebimbangan bagi pendengar atau pembaca.

Karena itu proses pemahaman dan interpretasi tidak dengan metode induksi, dan tidak pula deduksi, melainkan dengan metode alternatif yang disebut dengan metode abduksi. Yaitu, menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinan kebenaran.[8]

Di sini pra-konsepsi dan pra-disposisi seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran yang besar dalam membangun makna. Dalam tradisi hermeneutika, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya. Namun begitu tidak berarti hermeneutika mendukung paham relativisme-nihilisme, melainkan justru hendak mencari pemahaman yang benar atas sebuah teks yang hadir pada kita sebagai “tamu asing”. Memahami sebuah teks asing sama halnya dengan melakukan “interogasi” orang asing yang sama sekali tidak kita kenal. Tujuan utamanya adalah untuk melakukan rekonstruksi makna seboyektif mungkin sebagaimana yang dikehendaki oleh pengarang atau penyusun teks.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. , Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983.

Hardiman, F. Budi, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015.

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika, Jakarta: Paramadina, 1996.

Kau, Sofyan A.P., Hermeneutika Gadamer Dan Relevansinya Dengan Tafsir, dalam Jurnal Farabi, Vol. 11, No. 1, 2014. Sumaryono, E., Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: PT. Kanisius, 1993.


[1] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983, hal. 233.

[2] E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: PT. Kanisius, 1993, hal .23

[3] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015, hal. 194

[4] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida, hal. 175

[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida, hal. 186

[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida, hal. 179

[7] Sofyan A.P. Kau, Hermeneutika Gadamer Dan Relevansinya Dengan Tafsir, dalam Jurnal Farabi, Vol. 11, No. 1, 2014, hal. 117

[8] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika, Jakarta: Paramadina, 1996, hal. 18.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *