Sekilas tentang Hans-George Gadamer
Gadamer lahir di Marburg 11 Februari 1900 M.[1] Ia belajar filsafat pada universitas di kota asalnya, antara lain pada Nikolai Hartmann dan Martin Heidegger dan mengikuti kuliah juga pada Rodolf Bultmann, seorang teolog protestan. Pada tahun 1922 ia meraih gelar “doktor filsafat”. Sembilan tahun kemudian ia menjadi privatdozent di Marburg. Setelah selama tiga tahun mengajar, tepatnya tahun 1937 ia menjadi profesor. Tetapi dua tahun kemudian Gadamer pindah ke Leipzig. Pada tahun 1947 ia pindah lagi ke Frankfurt. Akhirnya di tahun 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai pensiun.[2] Gadamer dikenal sebagai seorang penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang amat terkemuka. Karya monumentalnya Wahrheit and methode: Grundzugeeiner Philosophischen Hermeneutik (Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis Menurut Garis Besarnya) telah menghantarkan dirinya sebagai seorang filusuf terkemuka di bidang hermeneutika filosofis. Terbitnya buku ini pertama kali terbit tahun 1960 dalam bahasa Jerman, dianggap sebagai salah satu kejadian terpenting dalam filsafat Jerman dewasa ini. Pada tahun 1965 diterbitkan cetakan kedua dengan suatu kata pendahuluan yang baru di mana Gadamer menjelaskan maksudnya dan menjawab sejumlah keberatan-keberatan yang telah dikemukakan oleh sementara kritisi; ditambah lagi sebuah lampiran. Dan pada cetakan ketiga dari tahun 1972 masih ditambah lagi dengan suatu kata penutup. Buku ini kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris dengan judul Truth and Method (Kebenaran dan Metode).
Hermeneutika adalah seni tafsir atau seni mengartikan yang berasal dari bahasa Yunani “Hermeneuien” yang berarti tafsir atau interpretasi. Plato menyebut para penyair dengan sebutan hermenes Tuhan. Aristoteles juga menggunakan istilah ini di dalam bukunya pada bab logika pro posisi yang bertajuk “Peri Hermeneutis.”[3]
Teori Hermeneutika Gadamer
Dalam teori Gadamer membaca dan memahami sebuah teks pada dasarnya adalah juga melakukan dialog dan membangun sintesis antara dunia teks, dunia pengarang dan dunia pembaca. Ketiga hal ini-dunia teks, dunia pengarang dan dunia pembaca-harus menjadi pertimbangan dalam setiap pemahaman, dimana masing-masingnya mempunyai konteks tersendiri sehingga jika memahami yang satu tanpa mempertimbangkan yang lain, maka pemahaman atas teks menjadi kering. Untuk mendapatkan pemahaman yang maksimal, Gadamer mengajukan beberapa teori diantaranya:
Pertama, “prasangka hermeneutik”
Prasangka hermeneutik adalah bahwa dalam membaca dan memahami sebuah teks harus dilakukan secara teliti dan kritis. Sebab sebuah teks yang tidak diteliti dan diintegrasi secara kritis tidak menutup kemungkinan besar sebuah teks akan menjajah kesadaran kognitif kita, tetapi adalah hal yang tidak mudah bagi seseorang untuk memperoleh data yang akurat mengenai asal-usul sebuah teks dan cenderung untuk menerima sumber otoritas tanpa argumentasi kritis.
Kedua, “Lingkaran Hermeneutika”
“Prasangka hermeneutik” bagi Gadamer nampaknya baru merupakan tangga awal untuk dapat memahami sebuah teks secara kritis. Ia sebetulnya hendak menekankan perlunya “mengerti“. Bagi Gadamer mengerti merupakan suatu proses yang melingkar. Untuk mencapai pengertian, maka seseorang harus bertolak dari pengertian. Misalnya untuk mengerti suatu teks maka harus memiliki prapengertian tentang teks tersebut. Jika tidak, maka tidak mungkin akan memperoleh pengertian tentang teks tersebut. Tetapi di lain pihak dengan membaca teks itu prapengertian terwujud menjadi pengertian yang sungguh-sungguh. Proses ini oleh Gadamer disebut dengan “the hermeneutical circle“ (lingkaran hermeneutika).[4] Akan tetapi tidak dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa lingkaran itu timbul jika kita membaca teks-teks. Lingkaran ini sebenarnya telah terdapat pada taraf yang paling fundamental. Lingkaran ini menandai eksistensi manusia sendiri. “Mengerti” dunia hanya mungkin kalau ada prapengertian tentang dunia, dan tentang diri kita sendiri, sehingga mewujudkan eksistensi kita sendiri. Apa yang dimaksudkan dengan “prasangka hermeneutika“ dan “lingkaran hermeneutika” bagi Gadamer di atas mengandaikan bahwa dalam melakukan interpretasi atau pemahaman terhadap suatu teks, seorang hermeneutik atau pelaku interpretasi tidak berada dalam keadaan kosong. Dia akan membawa serangkaian pra-anggapan ke dalam teks tersebut. Bila teori ini kita kaitkan dengan ilmu tafsir dalam tradisi Islam, maka seorang mufassir Al-Qur’an, ia akan membawa sejumlah prasangka berupa-misalnya-pengetahuannya tentang bahasa Arab, puisi, “konteks dan intra teks dalam Al-Qur’an, dan inter-teks antara Al-Qur’an dengan teks yang lain.”
Ketiga, “Aku-Engkau” menjadi “Kami”
Menurut Gadamer sebuah dialog seperti dialog kita dengan teks akan dipandang sebagai dialog yang produktif jika formulasi subjek-objek “aku-engkau” telah hilang dan digantikan dengan ”kami”.[5] Sebetulnya pemahaman itu tidak hanya sampai disitu, karena kesadaran subjek yang dari ”aku-engkau’ menjadi ”kami” masih potensial untuk menghalangi sebuah partisipasi maksimal untuk memperoleh pemahaman yang benar sebelum subjek ”kami” hilang melebur pada substansi yang didialogkan. Ibarat pemain bola, yang bisa diperoleh secara benar dan autentik ketika yang bersangkutan mengalami sendiri serta lebur di dalam peristiwa permainan yang sehat dan ideal di mana pemain, wasit, penonton meninggalkan indentitas ”keakuannya” dan semuanya tertuju pada kualitas dan seni permainan itu sendiri. Jadi sikap memahami sebuah teks sedapat mungkin bagaikan upaya memahami dan menghayati sebuah festival yang menuntut apresiasi dan partisipasi sehingga pokok bahasan itu sendiri yang hadir pada kita, bukan lagi kesadaran subjek-objek.
Keempat, “hermeneutika dialektis”
Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat historis, peristiwa dialektis dan peristiwa kebahasaan. Karena itu, terbuka kemungkinan terciptanya hermeneutika yang lebih luas. Hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman. Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Lebih lanjut menurut Gadamer hermeneutika berkaitan dengan pengalaman, bukan hanya pengetahuan; berkaitan dengan dialektika bukan metodologi. Metode dipandangnya bukan merupakan suatu jalan untuk mencapai suatu kebenaran. Kebenaran akan mengelak kalau kita menggunakan metodologi. Gadamer memperlihatakan bahwa dialektika sebagai suatu sarana untuk melampaui kecenderungan metode yang memprastrukturkan kegiatan ilmiah seorang peneliti. Metode menurut Gadamer tidak mampu mengimplisitkan kebenaran yang sudah impilisit di dalam metode. Hermeneutika dialektis membimbing manusia untuk menyingkap hakekat kebenaran, serta menemukan hakekat realitas segala sesuatu secara sebenarnya.[6]
Hermeneutika sebagai bentuk upaya penafsiran dan memberi makna atas sebuah teks, maka inti dari pemikiran hermeneutika Gadamer bertumpu pada konsep ”memahami”. Pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektika dan bahasa. Oleh karenanya pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini. Pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah “mengetahui” secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu. Pada satu tempat khusus dalam kerangka ruang dan waktumisalnya dalam sejarah. Semua Pengalaman yang hidup itu menyejarah, bahasa dan juga pemahaman menyejarah. Proses pemahaman sebenarnya merupakan interpretasi itu sendiri. Sebab bila akal pikiran memahami maka di dalammya tercukup juga interpretasi. Sebaliknya bila akal pikiran kita melakukan interpretasi, maka terangkum juga pemahamannya, yang terpenting dari keseluruhan pemikiran Gadamer adalah bahwa pemahaman terhadap sebuah wacana (teks) akan terjadi manakala teks itu terus-menerus ditempatkan dalam kerangka konteks yang berubah secara continue.
Teori Gadamer tersebut adalah sebuah upaya penerapan dari tugas pokok hermeneutika yaitu bagaimana menafsirkan sebuah teks yang asing menjadi tidak asing. Bagaimana menelusuri pesan dan pengertian dasar sebuah ungkapan dan tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiksi. Sehingga menimbulkan keraguan dan kebimbangan bagi pendengar atau pembaca. Karena itu proses pemahaman dan interpretasi tidak dengan metode induksi, dan tidak pula deduksi, melainkan dengan metode alternatif yang-oleh Komarudin Hidayat-disebut dengan metode abduksi. Metode ini menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinan kebenaran.[7] Di sini pra-konsepsi dan pra-disposisi seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran yang besar dalam membangun makna. Dalam tradisi hermeneutika, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya. Namun begitu tidak berarti hermeneutika mendukung paham relativis-menihilisme, melainkan justru hendak mencari pemahaman yang benar atas sebuah teks yang hadir pada kita sebagai “tamu asing”. Memahami sebuah teks asing sama halnya dengan melakukan”interogasi” orang asing yang sama sekali tidak kita kenal. Tujuan utamanya adalah untuk melakukan rekonstruksi makna subjektif mungkin sebagaimana yang dikehendaki oleh pengarang atau penyusun teks.
Persoalan yang muncul bagaimana sejumlah teori Gadamer pada khususnya dan teori hermenutika pada umumnya kita terapkan dalam upaya memahami sebuah teks keagamaan, dalam hal ini Al-Qur’an dan Al-Hadis. Bila kita merujuk kepada sejumlah kitab-kitab tafsir nampaknya para mufassir juga menggunakan teori hermeneutika dalam penafsiran mereka, meskipun istilah yang mereka gunakan bukan hermeneutika. Satu contoh karya tafsir al-Baidhâwi, “Anwâr al-Tanzĭl wa Asrâr al-Ta’wĭl“. Metode hermenutika al-Baidhâwy, dan para mufassir pada umumnya adalah apa yang disebut dengan internal relationship (hubungan internal) yaitu hubungan internal dalam Al-Qur’an, atau dalam terminologi tafsir disebut dengan Al-Qur’ân yufassiru ba’dhahu ba’dhan. (Al-Qur’an menafsirkan ayat satu dengan ayat lain).
Dalam memahami teks Al-Qur’an (dalam hal sejumlah karya tafsir) yang diwariskan oleh para ulama kepada kita. Harus hati-hati dan dihadiri dengan sikap “kewaspadaan” terutama dalam mencari atau memahami suatu teks pada Al-Qur’an. Perlu juga mengkaji dan mencari referensi tentang dunia ilmu pengetahuan dan islam itu sendiri.Juga perlu adanya menerima saran dan masukan dari beberapa pihak yang lain. Jangan menerima apa adanya tanpa adanya kritik sama sekali. Belum lagi dominasi dan hegemoni teks itu sendiri. Dalam sebuah teks Al-Qur’an misalnya dapat kita lihat dari tiga perspektif. yaitu; perspektif teologis, filsafat linguistik dan mistikal. Dari sudut pandang teologi Al-Qur’an adalah suci, kebenarannya absolut, berlaku dimana dan kapan saja, sehingga dengan begitu yang namanya Al-Qur’an tidak mungkin bisa dirubah dan diterjemahkan. Begitu ia diterjemahkan dan ditafsirkan maka ia bukan lagi Al-Qur’an. Namun dari sudut historis dan filsafat linguistik, begitu kalam Tuhan membumi dan sekarang malah menjelma kedalam teks, maka Al-Qur’an tidak bisa mengelak untuk diperlakukan sebagai objek kajian hermeneutik. Manusia tidak berjumpa langsung dengan Tuhan maupun malaikat Jibril sebagaimana yang dialami Rasulullah Saw., melainkan hanya dalam bentuk teks dan tafsiran yang diantarkan kepada kita melalui mata-rantai tradisi. Artinya, teks Al-Qur’an kemudian memiliki dua dimensi, sakral dan profan, absolut dan relatif, historis dan meta-historis.
Kesimpulan
Dalam hal ini kita dapat menyoroti konsep Gadamer tentang Memahami. Grondin dengan tepat mencirikan upaya Gadamer sebagai “re-filologisasi” konsep memahami. Hermeneutik Scheiermacher dan Dilthey sedikit banyak meminati filologi dengan fokus pada makna teks dan intensi penulis. Minat filologi tersebut ditinggalkan oleh Heidegger dengan menempatkan memahami dalam konteks eksistensi manusia. Gadamer melakukan re-filologisasi dengan mengalihkan proses memahami kembali pada makna teks. Meski demikian Gadamer tetap bergerak di daratan Ontologis seperti Heidegger, tetapi ia seperti dikatakan-Marquard-menukar “Being-towards-death” (Berada-menuju-kematian) Heidegger dengan “Being-towards-the-text” (Berada-menuju-teks). Teks kembali menjadi keprihatinan didalam hermeneutik Gadamer.
Secara prinsip tidak ada perbedaan antara hermeneutika dengan tafsir. Sebagai sebuah metode interpretasi, keduanya berupaya memahami teks untuk menemukan makna yang relevan. Karena itu sebuah teks lahir bukan dalam ruang dan hampa budaya. Hermeneutika berupaya menyingkap makna yang melingkup teks. Dalam tafsir, apa yang melingkup teks terrefleksi dalam sabâb al-nuzûl dan sabâb al-wurûd. Yang membedakan keduanya adalah dasar teologis. Karena itu, penafsiran biasanya disejajarkan dengan praktik penafsiran, sedangkan hermenutika menunjuk kepada tujuan, prinsip dan kriteria dari praktek tersebut. Dengan kata lain, hermeneutika adalah teori penafsiran itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983.
Fitria, Rini. “Memahami Hermeneutika dalam Mengkaji Teks”, dalam Jurnal Syiar Vol. 16 No. 2 Agustus 2016.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.
Hidayat, Qomaruddin. Memahami Bahasa Agama (Sebuah Kajian Hermenetik), Yogyakarta: Mizan, 1996. S, Kaelan, M. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma, 1998.
[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius, 2015, hal. 156.
[2] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983, hal. 233.
[3] Rini Fitria, “Memahami Hermeneutika dalam Mengkaji Teks”, dalam Jurnal Syiar Vol. 16 No. 2 Agustus 2016, hal. 33.
[4] Kaelan, M.S, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma, 1998, hal. 208.
[5] Qomaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Sebuah Kajian Hermenetik),Yogyakarta: Mizan, 1996. hal. 150.
[6] Kaelan, M.S, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya…, hal. 209.
[7] Qomaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Sebuah Kajian Hermenetik)…, hal. 18.