Relevansi Hermeneutika Heidegger pada Kajian Tafsir Al-Qur’an

tafsiralquran.id

Berbicara mengenai hermeneutika, orang memahaminya biasanya memandangnya sebagai bentuk ilmu tafsir yang mendalam dan bercorak filosofis, sementara apabila menyinggung mengenai tafsir orang pasti akan teringat pada salah satu variabel dalam agama, yaitu kitab suci. Kitab suci merupakan salah satu variabel yang paling dekat dengan hermeneutika, karena pada dasarnya hermeneutika muncul sebagai salah satu metode untuk memahami kitab suci, termasuk kitab suci umat Islam, Al-Qur’an. Namun, hingga saat ini perdebatan apakah teori hermeneutika yang notabene berasal dari Barat tersebut bisa diintegrasikan dengan ῾Ulūm Al-Qur’ān, dan karenanya bisa digunakan untuk penafsiran Al-Qur’an, diperdebatkan di lingkungan umat Islam. Ada tiga kelompok besar dalam hal ini, sebagian sarjana Muslim menolaknya secara utuh, sebagian lain menerimanya secara utuh, dan sebagian lain menerima secara bersyarat.[1] Salah satu tokoh hermeneutika Barat adalah Heidegger.

Heidegger merupakan salah satu tokoh filsuf yang lahir di Messkirch, sebuah kota kecil di Block Forest, Jerman, pada tanggal 26 September 1889 M.[2] Ayahnya Friedrich Heidegger, seorang pengurus gereja St. Martin. Dari nama gereja inilah, sang ayah menamakan filsuf ini: Martin, maka, nama lengkapnya adalah Martin Heidegger gabungan nama gereja dan nama belakang ayahnya. Ibunya sendiri bernama Johanna. Kota Meskrich, rata-rata penduduknya adalah para petani yang taat dengan tradisi Kristen Katolik. Tak aneh, bila keluarga Martin Heidegger juga termasuk penganut agama Katolik yang saleh. Besar dalam lingkungan keluarga dan sosial yang demikian membuat Heidegger berhasrat menjadi imam dan masuk sekolah asrama yang dikenal dengan nama Seminari Jesuit, dan dia sekolah di sana selama beberapa tahun.[3]

Pendasaran filosofis karya Heidegger tidak bisa dilepaskan dari metode fenomenologi. Titik tolak Heidegger berbeda dengan Schleimacher yang di latarbelakangi romantisme Jerman atau Dilthey yang berpijak pada lebensphilosophile. Fenomenologi adalah studi tentang fenomena. Sesuai dengan semboyan yang diusung, Zuruck zu den Sachen Selbst (kembali pada hal-hal itu sendiri), metode ini hendak melihat suatu fenomena apa adanya, sebelum segala ilmu dan pengetahuan mengatakan sesuatu tentang hal tersebut.

Hermeneutika Heidegger ialah melakukan penafsiran dengan membiarkan realitas itu menampakkan diri. Penafsir tidak menaruh kerangka berpikir miliknya ke dalam sesuatu yang menampakkan diri itu. Hermeneutika Heidegger tidak bersifat kognitif, melainkan pra-refletik. Sebab, bila penafsir menggunakan interpretasi yang selama ini ia ketahui pada sesuatu tersebut, maka tafsirannya adalah berupa pantulan pengetahuan dan realitas. Sementara, hermeneutika Heidegger benar-benar hanya membiarkan fenomena itu tampil apa adanya. Penafsir menyilahkan fenomen menyingkapkan diri apa adanya.[4]

Heidegger menempatkan hermeneutika sebagai destruksi metafisika tradisional yang merupakan Ada yang menyembunyikan diri. Demikian proyek fenomenologi Heidegger, yang ia beri nama hermeneutika faktisitas menjadi sebuah ontologi karena membiarkan Ada mewahyukan dirinya dalam dimensi tampak dan tak tampak-nya (tersembunyi). Lebih lanjut, filosof ini mengubah hermeneutika dari ilmu membahas tentang metode menuju ilmu yang membahas tentang tujuan filosofis dan menekankan perlunya meningkatkan hermeneutika dari sekedar sebagai metode memahami teks atau metode umum untuk ilmu humaniora atau teori penafsiran, ke arah pembahasan tentang makna pemahaman dan hakikat penafsiran itu sendiri, dan karena filsafat adalah upaya memahami wujud (yang ada). Dia juga berpendapat bahwa teks memiliki wujud tersendiri terlepas dari penciptanya, dan dalam arena itu tidaklah penting mengetahui tujuan sang pencipta/pengarang/penulis, mitra bicara atau yang dihadapinya pada masa terciptanya teks itu, tapi yang terpenting adalah pembacaan dan pemahaman penafsir sesuai dengan pengetahuan mereka yang mendahului kandungan teks serta dugaan dan pertanyaan-pertanyaan mereka terhadap teks saat mereka membahas dengannya. Pertanyaan dan prediksi yang biasanya lahir pada era di mana sang penafsir hidup.[5]

Konsepsi hermeneutika dasein yang digagas Oleh Heidegger sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa sejatinya secara langsung berkaitan erat dengan kajian tafsir Al-Qur’an dalam tradisi Islam. Namun, khazanah tafsir Al-Qur’an hingga saat ini masih mengalami perdebatan serius terkait integrasi hermeneutika Barat, dalam hal ini hermeneutika dasein Heidegger dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebagian sarjana Muslim menolaknya secara utuh, sebagian lain menerimanya secara utuh, dan sebagian lagi menerimanya secara bersyarat.

Hubungan antara tradisi hermeneutika Barat dan kajian tafsir Al-Qur’an tidaklah harus dibuat tegang dan kaku seperti anggapan kelompok yang pertama maupun ketiga. Hubungan keduanya itu harus bersifat terbuka karena keduanya sebenarnya saling mengisi satu dengan yang lain. Berikut akan dijelaskan dimensi-dimensi hermeneutika dasein Heidegger yang memiliki relevansi dengan kajian tafsir Al-Qur’an.

Pertama, sebelumnya telah dijelaskan bahwa seseorang itu dituntut untuk selalu sadar bahwa dirinya telah mengalami faktisitas keterlemparan. Ia harus senantiasa menyadari bahwa kebudayaan atau lingkungan tempat dia hidup terlempar sangat berpotensi mempengaruhi pemahamannya. Teori hermeneutika dasein ini jelas dapat memeperkuat salah satu konsep metodis yang selama ini telah ada dalam kajian tafsir Al-Quran. Nabi Muhammad pernah mengatakan: “Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu-nya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” Hadis tersebut di era sepeninggal Nabi hingga awal abad kedua hijriah membuat para sahabat enggan menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan ra’y yang oleh mereka diterjemahkan sebagai akal atau ijtihad. Ini terlihat dari sikap sebagian sahabat yang membenci penafsiran dengan ra’y akal, seperti Abdullah bin Umar yang tidak mau menafsirkan Al-Qur’an dan keengganan Abu Bakar ketika ditanya tentang makna suatu ayat yang tidak ada penjelasannya dari nabi.

Kata ra’y dalam hadis tersebut tidaklah tepat diartikan dengan ‘akal’, sebab kata ‘akal’ Arab: ‘aql mengandung arti berpikir secara positif, sebagaimana tertera dalam beberapa ayat Al-Qur’an lihat, misalnya, Q.S. 2:44, 3:65, dan 6:32. Jika menilik teori hermeneutika dasein Heidegger, agaknya kata ra’yu tersebut lebih tepat untuk dilekatkan pada pemahaman yang terbastarisasi oleh kebudayaan. Ra’yu yang demikian tentu akan merusak makna jika dipaksakan dalam menafsirkan teks Al-Qur’an, karena dapat dipastikan penafsirannya akan sarat subjektifitas penafsir. Dengan demikian, jika pemahaman hadis tersebut dijelaskan dengan teori faktisitas Heidegger, maka pemahaman konsep ra’yu itu akan lebih segar dan mendalam.

Kedua, dalam kitab-kitab ‘Ulūm Al-Qur’ān, kata tafsir yang secara etimologi berarti kasyf membuka dan bayān menjelaskan didefinisikan dalam konteks Al-Qur’an oleh Badruddin Zarkasyi, antara lain sebagai berikut: memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum-hukumnya serta hikmah-hikmahnya. Hanya saja, di dalam definisi tersebut tidak diterangkan secara sophisticated, seperti bagaimana pemahaman itu terjadi. Padahal keterangan demikian itu penting bagi proses interpretasi. Dengan demikian, penjelasan hermeneutika dasein Heidegger terutama yang terkait dengan proses pemahaman, dapat melengkapi definisi tersebut.

Bagi Heidegger, pemahaman adalah modus berada-di-dunia, yakni modus dari ciri hakiki dasein yang paling asali. Di-dunia adalah struktur wujud dasein, bukan sifat ataupun konstatasi suatu situasi faktual. Da dari dasein menunjuk keterbuakaan esensial. Pemahaman adalah cara beradanya wujud manusia, sebagai berada-di-dunia. Segala bentuk tahu lainnya de facto modifikasi dari berada-di-dunia yang asali tersebut. Pemahaman sebagai modus berada-di-dunia yang memungkinkan terjadinya pemahaman di tingkat pengalaman. Pemahaman karenanya merupakan dasar bagi semua penafsiran, senantiasa hadir dalam setiap kegiatan penafsiran. Menurut Heidegger keseluruhan pemahaman itu bersifat temporal, intensional, historisitas. Dari konsepsi pemahaman Heidegger tersebut dapat didefinisikan bahwa pemahaman lebih dari sekedar proses mental, melainkan proses ontologis, bukan sebagai studi mengenai proses kesadaran dan ketidaksadaran, namun sebagai pengungkapan apa yang sebenarnya bagi manusia. Dengan demikian, konsepsi Heidegger tersebut, sebenarnya dapat melengkapi kajian tafsir dalam dunia Islam.

Ketiga, hermeneutika dasein Heidegger ini juga dibutuhkan oleh kajian tafsir Al-Qur’an di tengah maraknya tafsir-tafsir yang bercorak eksklusif bahkan fanatis. Saat ini banyak bermunculan tafsir-tafsir akan Al-Qur’an yang cenderung hanya membenarkan perspektif tafsirnya sendiri dan menafikan perspektif tafsir yang berbeda. Hal ini jelas merupakan kemunduran yang perlu ditinjau ulang. Mengingat nun silam di masa klasik, perbedaan pendapat para ulama begitu dijunjung tinggi, sebagaimana tampak dalam pemikiran Imam Syafi’i. Beliau pernah berkata, “Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah, tapi mungkin juga benar.” Oleh karena itu, di tengah maraknya wacana tafsir eksklusif agaknya keberadaan hermeneutika dasein Heidegger patut untuk diberi tempat dalam khazanah tafsir Al-Qur’an. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemahaman manusia itu tidak akan pernah bersifat objektif, karena selalu terbastarisasi oleh prasangka-prasangka yang melingkupi keseharian manusia, sehingga dalam memahami tafsir, manusia harus senantiasa bersifat inklusif dan mau menghormati pemahaman yang berbeda, karena dalam makna sejatinya apa yang kita pahami dari objek Ada dalam pandangan Heidegger dan Al-Qur’an dalam pandangan mufassir tidak pernah lepas dari konstruksi pemahaman yang telah ada dalam benak penafsir. Dengan demikian, demi mengembalikan khazanah tafsir yang inklusif, agaknya intergrasi hermeneutika dasien Heidegger ini adalah sesuatu yang tidak terelakkan.

Keempat, teori temporalitas dasein juga dapat menguatkan dimensi kemewaktuan Al-Quran. Dalam khazanah keilmuan tafsir, Al-Qur’an dikenal sebagai kitab suci yang akan senantiasa sesuai dan selaras dengan perkembangan zaman. Bertolak dari adagium tersebut, tentu adalah merupakan sebuah keniscayaan untuk menilik teori temporalitas dasein yang dikonsepsikan Heidegger. Sebagaimana telah diulas sebelumnya, dari temporalitas dasein lebih mengutamakan dimensi waktu yang akan datang. Dengan perkataan lain temporalitas dasein itu mengandaikan munculnya sumber-sumber baru bagi pemahaman atau suatu proses tanpa akhir. Ini jelas akan semakin menguatkan dimensi keabadian pesan-pesan Al-Qur’an.[6]

Kesimpulan

Pendasaran filosofis karya Heidegger tidak bisa dilepaskan dari metode fenomenologi. Titik tolak Heidegger berbeda dengan Schleimacher yang di latarbelakangi romantisme Jerman atau Dilthey yang berpijak pada lebensphilosophile. Fenomenologi adalah studi tentang fenomena. Sesuai dengan semboyan yang diusung, Zuruck zu den Sachen Selbst (kembali pada hal-hal itu sendiri), metode ini hendak melihat suatu fenomena apa adanya, sebelum segala ilmu dan pengetahuan mengatakan sesuatu tentang hal tersebut. Konsepsi hermeneutika dasein yang digagas Oleh Heidegger sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa sejatinya secara langsung berkaitan erat dengan kajian tafsir Al-Qur’an dalam tradisi Islam. Namun, khazanah tafsir Al-Qur’an hingga saat ini masih mengalami perdebatan serius terkait integrasi hermeneutika Barat, dalam hal ini hermeneutika dasein Heidegger dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Daftar Pustaka

Arif, Muhammad. “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya Terhadap Kajian Al-Qur’an,” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan hadis, Vol. 16 No. 1 Januari 2015.

Hardiman, F. Budi. Seni Menmahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.

Muaz, Abdul. “Hermeneutika dan Mewaktu Bersama Heidegger,” dalam Jurnal Studi Hadis Nusantara, Vol. 2 No. 2 Desember 2020.

Mayolla, Innoccentius Gerardo. “Hermeneutika Faktisitas Sebagai Modus Eksistensi Bangsa Indonesia Menurut Martin Heidegger,” dalam https://lsfdiscourse.org/hermeneutika-faktisitas-sebagai-modus-eksistensi-bangsa-indonesia-menurut-martin-heidegger/. Diakses pada 1 Desember 2021 Safitri, Lina Sofyana. “Martin Heidegger Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dasein dalam Pemahaman Eksistensial,” dalam https://www.academia.edu/30345643/Hermeneutika_Martin_Heidegger. Diakses pada 1 Desember 2021.


[1] Muhammad Arif, “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya Terhadap Kajian Al-Qur’an,” dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan hadis, Vol. 16 No. 1 Januari 2015, hal. 85.

[2] F. Budi Hardiman, Seni Menmahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius, 2015, hal. 100.

[3] Abdul Muaz, “Hermeneutika dan Mewaktu Bersama Heidegger,” dalam Jurnal Studi Hadis Nusantara, Vol. 2 No. 2 Desember 2020, hal. 145

[4]Innoccentius Gerardo Mayolla, “Hermeneutika Faktisitas Sebagai Modus Eksistensi Bangsa Indonesia Menurut Martin Heidegger,” dalam https://lsfdiscourse.org/hermeneutika-faktisitas-sebagai-modus-eksistensi-bangsa-indonesia-menurut-martin-heidegger/. Diakses pada 1 Desember 2021

[5]Lina Sofyana Safitri, “Martin Heidegger Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dasein dalam Pemahaman Eksistensial,” dalam https://www.academia.edu/30345643/Hermeneutika_Martin_Heidegger. Diakses pada 1 Desember 2021.

[6]Muhammad Arif, “Hermeneutika Heidegger dan Relevansinya Terhadap Kajian Al-Qur’an,”…, hal. 98-102.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *