Hermeneutika Gramatikal Schleiermacher dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an

pinterest.com

Banyak pemikiran hermeneutika yang digagas para sarjana barat yang diadopsi sarjana Muslim masa kini dalam mengembangkan kajian keislaman. Meski tidak jarang hal ini mendapatkan pertentangan dari sebagian kalangan. Salah satunya pemikiran hermeneutika psikologi dan gramatikal teori Friedrich Schleiermacher yang dinilai memiliki relevansi dengan kajian tafsir Al-Qur’an. Schleiermacher membedakan antara interpretasi gramatis dan interpretasi psikologis. Bila interpretasi gramatis menempatkan teks dalam kerangka obyektif maka interpretasi psikologis memusatkan diri pada sisi subyektif teks itu, yakni dunia penulisnya. Jika kita ingin memahami sebuah karya memakai teori hermeneutika Schleiermacher ada tahapan yang dapat dilalui, yakni memahami siapa penulis atau pengarang teksnya, temasuk ideologinya, keadaan budaya, politik pada saat pengarang menulis teks tersebut dan hal-hal yang berkaitan dengan psikologis lainnya. Namun, tahapan ini nampaknya akan sulit diterapkan mengingat pemilik teks Al-Qur’an adalah Allah SWT. Setelah memahami dunia psikologis penulisnya kemudian memahami susunan-susunan kalimat teks dari pengarangnya, yang dikenal dengan hermeneutika gramatikal.

Secara etimologis, hermeneutika gramatikal adalah sebuah seni memahami sesuai tata bahasa.[1] Sedangkan hermeneutika gramatikal secara terminologis adalah proses penafsiran (to interprete) yang tolok ukur utamanya didasarkan pada analisa bahasa yang digunakan oleh teks itu sendiri ketika ditulis. Dengan begitu, seorang penafsir teks berkewajiban menguasai aspek-aspek ketatabahasaan secara utuh dan menyeluruh ketika mulai berdialektika dengan teks tersebut. Semakin penafsir menguasai bahasa, maka semakin baik pula penafsirannya.[2] Begitu pun sebaliknya, mengabaikan kaidah-kaidah tata bahasa hanya akan mengantarkan penafsir ke pemahaman-pemahaman yang salah. Menurut Imam Al-Shatibi, ketika seseorang bermaksud untuk memahami Al-Qur’an, tugas utamanya adalah menyadari bahwa teks yang sedang dibacanya adalah teks bangsa Arab abad ke-7, bahkan tidak ada sama sekali di dalam Al-Qur’an hal-hal yang di luar Arab, semua isinya berkaitan dengan bangsa Arab. Sehingga, menjadi kewajiban paling mendasar untuk kembali menyelami tata bahasa Arab kala itu dan menjadikan hal itu pijakan dasar dalam memahami Al-Qur’an.[3]

Hermeneutika gramatikal teori Friedrich Schleiermacher, menjadi metode yang cukup relevan jika dikaitkan dengan Al-Qur’an. Beberapa relevansinya, di antaranya: Pertama, seorang mufasir harus mengerti bahasa yang digunakan oleh author atau audiens historisnya. Ini artinya, mufasir Al-Qur’an harus memahami dengan baik bahasa Arab yang merupakan bahasa utama yang digunakan Al-Qur’an.

Pemahaman yang dikuasai harus mencakup makna kosakata maupun struktur bahasa ketika sutau ayat Al-Qur’an diturunkan. Hal ini dikarenakan struktur bahasa yang ada dalam Al-Qur’an menyimpan banyak kandungan makna yang tidak terbatas hanya pada tekstualnya. Sebagai contoh, prinsip pertama Schleiermacher dalam kajian Al-Qur’an ialah adanya diakroni (makna yang mengalami perubahan) dan sinkroni (aspek bahasa yang selalu tetap).

Kedua, seorang mufasir harus melakukan analisis sintagmatis. Artinya penafsir harus dapat menghubungkan unit-unit bahasa secara konkret (in presentia).[4] Jika dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an, maka dapat dipahami ketika mufasir akan menafsirkan satu kalimat dalam ayat Al-Qur’an, ia juga harus melihat kalimat-kalimat yang berada di sekelilingnya, baik yang ada sebelumnya maupun setelahnya. Jadi, mufasir juga harus memperhatikan konteks kalimat dan ayat atau yang biasa disebut dengan siyaqul kalam. Penerapan ini bisa disebut juga dengan polisemi. Polisemi menurut ahli lingusitik ialah satu kata yang memiliki lebih dari satu makna.[5]

Ketiga, seorang mufasir harus memperhatikan hubungan antara bagian-bagian dan keseluruhan. Suatu kalimat dapat dipahami melalui keseluruhan ayat, serta sebaliknya suatu ayat juga dapat dipahami jika dilihat dari bagian setiap lafadz yang menyusunnya yang dapat dikaitkan dengan munasabah ayat. Secara etimologi, munasabah ayat berasal dari akar kata نسب mengandung arti satu, berdekatan, mirip, menyerupai. Adapun secara terminologi yang diberikan para ulama, munasabah adalah ilmu yang mengaitkan bagian-bagian awal ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan khusus atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’aruḍ) dan sebagainya. Sebegitu eratnya hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain dalam Al-Qur’an dari unsur paling terkecil hingga menjadi seperti bangunan yang kukuh, utuh, sempurna.[6]

Berdasar pemaparan diatas, meskipun teori hermeneutika Schleiermacher memiliki relevansi dalam kajian tafsir Al-Qur’an, namun tidak semata-mata teorinya mutlak benar. Sebab itu, jadikanlah teori hermeneutika Schleiermacher sebagai pisau analisis, bergantung pisau tersebut digunakan untuk apa dan oleh siapa. Di sisi lain, dalam penggunaanya pun juga harus betul-betul paham dengan konsep utuh hermeneutika agar tidak rancu dalam memahami sebuah teks hingga melahirkan produk-produk yang tidak sesuai dengan kesepakatan umum para ulama.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Shatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Shari’ah. Mesir: Maktabah Al-Kubra. 1975.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher Sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius. 2015.

Sari, Maula. “Analisis Sintagmatik dan Paradigmatik Ferdinand Dessausure Pada Q.S. Al-Ḍuhā”. Dalam MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab Dan Humaniora. Vol. 5 No. 1 Tahun 2020.

Syamsuddin. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press. 2009.

Zayd, Naṣr Hamid Abu. Mafhum An-Nas: Dirasah Fi Ulum Al-Qur’an. Maroko: Al-Markaz As-Saqafi Al-Arabi. 2000.


[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleirmacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius, 2015, hal. 89.

[2] Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009, hal. 66.

[3] Abu Ishaq Al-Shatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Shari’ah, Mesir: Maktabah Al-Kubra, 1975,  hal. 64.

[4] Maula Sari, “Analisis Sintagmatik dan Paradigmatik Ferdinand Dessausure Pada Q.S. al-Ḍuha”, dalam MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora, Vol. 5 No. 1 Tahun 2020, hal. 79.

[5] Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hal. 73.

[6] Naṣr Hamid Abu Zayd, Mafhum An-Nas: Dirasah Fi Ulum Al-Qur’an, Maroko, Al-Markaz As-Saqafi Al-Arabi, 2000, hal. 159-160.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *