Pengetahuan itu sendiri tentu saja penting karena ada semacam otoritas bagi yang memilikinya. Namun yang juga penting adalah pengetahuan tentang pengetahuan karena dengan pengetahuan tentang pengetahuan, sebuah landasan kokoh untuk pengetahuan bisa dibangun. Apalah arti pengetahuan jika landasannya tidak kokoh.
Pengetahuan berasal dari pandangan dunia. Pandangan dunia berasal dari pengalaman hidup yang membentuk sebuah kesimpulan, pemahaman, atau kajian terhadap semesta manusia, semesta masyarakat, semesta sejarah, dan semesta alam. Karena perbedaan pengalaman hidup, maka berbeda pula pandangan dunia setiap manusia atau setiap kelompok manusia. Dengan perbedaan pandangan hidup, maka berbeda pula ideologi setiap manusia atau setiap kelompok manusia. Ideologi lebih merupakan nama yang lebih khusus terhadap pandangan dunia itu sendiri.
Pandangan dunia dan ideologi lalu menjadi cara untuk memahami dunia sehingga menghasilkan pengetahuan kembali. Begitulah seterusnya berputar dari pengalaman hidup menghasilkan pandangan hidup dan ideologi lalu dari keduanya lahir pengetahuan karena keduanya adalah cara untuk memahami dunia, yaitu semesta manusia, semesta masyarakat, semesta sejarah, dan semesta alam.
Lewat ideologi, lahir pemahaman tentang dunia lalu lahirlah aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Ideologi juga memiliki pemahaman tentang bagaimana seharusnya dunia ini sehingga lewat ideologi pula lahir pemahaman tentang bagaimana cara mencapai keadaan dunia yang seharusnya itu, bukan dunia sebagaimana adanya. Karena itu, di dalam ideologi ada pandangan tentang bagaimana seharusnya manusia, bagaimana seharusnya masyarakat, bagaimana seharusnya sejarah, dan bagaimana seharusnya alam ini. Jika kemudian timbul pertanyaan mengapa harus begitu, maka tugas pandangan dunia untuk menjawabnya. Perbedaan pandangan dunia menentukan perbedaan jawabannya.
Tentang cara kerja pandangan hidup dan ideologi ini, ada contoh yang menarik. Misalnya pandangan hidup seseorang memahami bahwa manusia semata-mata hanya materi dan karena itu, semata-mata digerakkan oleh gerak materi. Dengan berdasar pada pandangan hidup seperti, itu ideologi memberikan tujuan lalu memberikan cara bagaimana untuk sampai kepada tujuan. Pandangan hidup seperti itu tidak mungkin memahami bahwa ada kehidupan setelah kematian materi. Karena itu, pandangan hidup seperti ini tidak akan melahirkan ideologi yang memberikan tujuan dan bagaimana sampai kepada tujuan di kehidupan setelah kematian materi tersebut.
Meski telah ada pandangan dunia dan ideologi yang melahirkan pengetahuan dan pengetahuan kembali melahirkan pandangan dunia dan ideologi, namun masih ada pertanyaan tentang kemungkinan pengetahuan itu sendiri. Mungkinkah manusia mengetahui? Mungkinkah pengetahuan manusia mencapai hakikat wujud? Apakah pengetahuan manusia bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya? Agostisisme mengatakan tidak. Alasannya, manusia hanya memiliki akal dan indra untuk mengetahui dan keduanya pun mungkin salah. Jika mungkin salah dan pernah salah, mengapa manusia harus percaya pada akal dan indra? Dibandingkan dengan indra, akal jauh lebih banyak melakukan kesalahan. Karena itu, baik akal maupun indra tidak bisa dijadikan pegangan. Karena tidak ada pegangan selain akal dan indra, maka kesimpulannya pengetahuan tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia.
Ketidakmungkinan mengetahui tidak hanya terjadi karena akal dan indera (konon) tidak bisa dipercaya. Ada yang lain yaitu bahwa apapun yang dialami oleh manusia juga tidak bisa dipercaya karena tidak ada bukti yang mampu menjelaskan bahwa apapun yang dialami manusia bukanlah mimpi. Seorang yang mengaku dosen sedang berada di sebuah kelas dan mengajar mata kuliah Epistemologi Islam. Bahan ajarnya diterangkan dari sebuah artikel yang tayang di sebuah laman situs. Para mahasiswa mendengarkan dengan seksama. Ada yang terjaga, ada yang sedang berusaha setengah mati melawan kantuknya, dan ada pula yang kalah oleh kantuk dan tertidur.
Namun, seorang yang mengaku dosen itu tiba-tiba terbangun. Ternyata, dia tidak sedang berada di sebuah kelas, tapi di dalam biliknya. Dia tidak sedang mengajar. Dia bahkan bukan seorang dosen. Para mahasiswa yang dilihatnya tadi hanya ada di dalam mimpi. Adakah jaminan bahwa kini kita tidak sedang berimimpi dan akan terjaga nanti? Orang-orang yang sedang bermimpi tidak terlintas di benaknya bahwa dia sedang bermimpi. Semua terasa nyata hingga jaga membangunkannya.
Di tengah ketidakpastian, di tengah tidak adanya pegangan tentang pengetahuan, dan di tengah keraguan tentang segala hal, ada satu yang pasti bahwa yang ada adalah keraguan. Keraguan tidak akan pernah ada jika tidak ada yang melakukan tindakan ragu. Jadi selain bahwa keraguan itu pasti ada, yang pasti ada juga adalah orang yang meragu itu sendiri.
Dengan berdasar pada pandangan di atas, maka keraguan bukanlah alasan untuk tidak berpegangan kepada pengetahuan karena menganggap pengetahuan itu tidak ada. Justru keraguan adalah bukti bahwa pengetahuan itu ada. Bukankah yang diragukan adalah pengetahuan? Bagaimana mungkin pengetahuan bisa diragukan jika pengetahuan itu tidak ada?
Keraguan bahkan adalah bukti kebenaran itu ada; bahkan keraguan juga adalah bukti bahwa keyakinan itu ada. Bukankah ketika manusia meragu, maka keraguannya benar-benar ada? Dengan demikian adalah sebuah kebenaran bahwa manusia sedang ragu. Bahkan saat manusia ragu, dia sampai kepada keyakinan bahwa keraguan itu ada. Kebenaran dan keyakinan adalah landasan kuat bagi pengetahuan. Persoalan bagi pengetahuan bukanlah pada problem apakah pengetahuan bisa diperpegangi atau pada apakah manusia bisa mencapai pengetahuan. Persoalan bagi pengetahuan adalah bagaimana cara menggapai pengetahuan yang bisa diperpegangi dan bagaimana memilah mana pengetahuan yang benar dan mana yang keliru.
Bagi manusia, di dalam Islam, pengetahuan bukan hanya bermakna dimensi epistemologis, mengetahui dan tidak mengetahui, tetapi juga bermakna dimensi eksistensial. Manusia dan pengetahuan tidak bisa dipisahkan secara eksistensial. Manusia adalah pengetahuan dan pengetahuan adalah manusia. Tanpa manusia, pengetahuan tidak ada dan tanpa pengetahuan, manusia tidak ada. Ayat-ayat tentang penciptaan manusia sebagaimana tercantum di dalam surah al-Baqarah menjelaskan hal itu. Pas setelah Allah SWT mengabarkan penciptaan Nabi Adam as sebagai khalifah di bumi, ayat selanjutnya adalah tentang pengajaran Allah SWT kepada Nabi Adam as tentang al-asmâ’ seluruhnya. Pengajaran tersebut hanya untuk manusia, bukan untuk yang lain. Tidak ada tanda bahwa ada makhluk lain yang mendapatkan pengajaran oleh Allah SWT secara khusus. Ayat itu adalah ayat tentang pengetahuan.
Pengetahuan Nabi Adam as di surga adalah pengetahuan yang belum bersentuhan dengan kenyataan dan pengalaman hidup. Jadi pengetahuan Nabi Adam as bukanlah kesimpulan dan pemahaman yang berasal dari atau kajian terhadap semesta manusia, semesta masyarakat, semesta sejarah, dan semesta alam. Ibaratnya, pengetahuan Nabi Adam as adalah pengetahuan yang masih mentah atau masih merupakan benih-benih pengetahuan; belum merupakan pandangan hidup dan belum merupakan ideologi.
Adanya larangan untuk mendekati sebuah pohon adalah pengalaman pertama Nabi Adam as dalam menghadapi kenyataan yang akan membentuk pandangan hidup dan ideologinya. Pengalaman itu belumlah merupakan pengalaman yang sebenarnya karena pengalaman yang sebenarnya adalah ketika Nabi Adam as harus turun ke bumi dan tinggal di sana menghadapi kenyataan yang sama sekali berbeda dengan surga di mana jarak antara keinginan dan kenyataan tidak ada. Bumi adalah tempat di mana jarak antara keinginan dan kenyataan diantarai oleh ruang dan waktu yang bisa sangat lama dan menjemukan, seperti penantian dalam ketidakpastian.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa relasi manusia dengan pengetahuan adalah relasi eksistensial, maka pengetahuan tertinggi manusia adalah pengetahuan tentang dirinya karena dengan itulah manusia mengenal Tuhannya. Kata lain dari itu adalah pengetahuan tertinggi manusia adalah Tuhannya, namun untuk itu, dia harus mengenal dirinya. Sebagaimana pengetahuan dengan manusia tidak bisa dipisahkan secara eksistensial, maka demikian pula dengan manusia dengan Tuhan. Tidak pula bisa dipisahkan. Mengetahui diri sama dengan mengetahui Tuhan di saat bersamaan. Ketidakterpisahan manusia dengan Tuhan bisa dipahami di dalam ayat berikut, QS. al-A’raf/7: 172:
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّاكُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ – ١٧٢
Di potongan pertengahan ayat di atas ada kalimat: Dan Allah mengambil kesaksian atas diri mereka (Wa asyhadahum ‘alâ anfusihim). Atas perintah Allah SWT, manusia mengambil kesaksian atas diri mereka sendiri atau menjadi saksi atas diri mereka. Artinya, manusia memandang diri mereka sendiri lalu memberikan kesaksian atas diri mereka itu. Lalu yang luar biasa dan tak terpikirkan sebelumnya adalah bahwa saat manusia masih sedang memandang diri mereka, Allah SWT bertanya: Bukankah Aku Tuhanmu? (Alastu bi rabbikum). Dalam keadaan masih memandang diri mereka sendiri, manusia menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi (Qâlû balâ syahidnâ). Di saat manusia memandang dirinya, di saat bersamaan manusia memandang Tuhannya. Dirinya dan Tuhannya tak terpisahkan. Apakah ayat itu menegaskan bahwa manusia memberikan kesaksian atas dirinya atau kesaksiaan atas Tuhannya? Kedua-duanya.
Yang dimaksud dengan mengetahui diri di sini bukan berarti mendalami ilmu jiwa (nafs). Itu hanyalah nama dari salah satu disiplin ilmu pengetahuan. Yang hendak dikatakan di sini adalah bahwa keseluruhan ilmu pengetahuan adalah berada di dalam kerangka manusia mengenal dirinya. Dalam hal ini, tidak ada pembedaan dan perbedaan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama sebagaimana dipahami belakangan. Semua ilmu pengetahuan adalah satu kesatuan untuk mengenal Tuhan. Salah satu penjelasan untuk itu adalah bahwa di antara cara untuk mengenal diri adalah dengan mengenal selain diri. Cara untuk mengenal Tuhan adalah dengan mengenal selain Tuhan. Itu salah satu penjelasan.
Penjelasan lain adalah bahwa apa yang disebut dengan Tuhan dan selain-Nya sesungguhnya adalah sebuah kesatuan karena memang tidak ada selain Tuhan. Hanya ada Tuhan. Karena itu, pengetahuan tentang apapun adalah dalam kerangka pengetahuan tentang Tuhan. Pencarian ilmu pengetahuan adalah pencarian terhadap kebenaran dan Tuhan adalah kebenaran itu sendiri (al-Haqq).[]
Editor: AMN