Sedikitnya ada tiga sistem ekonomi yang dikenal masyarakat internasional. Ketiganya adalah: sistem ekonomi Islam, kapitalisme, dan sosialisme.
Kalau ketiganya kita simplifikasikan, kita akan mendapatkan informasi bahwa ternyata sistem ekonomi kapitalistik mengedepankan keinginan yang tak terbatas terhadap harta benda dan persaingan bebas.
Sementara itu, sistem ekonomi sosialistik mencoba untuk mengubah ketidaksamaan kekayaan dengan menghapuskan hak kebebasan individu dan hak terhadap kepemilikan yang mengakibatkan hilangnya semangat untuk bekerja lebih giat dan berkurangnya efisiensi kerja pekerja.
Pada dasarnya, sistem ekonomi Islam berbeda dari sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Dalam beberapa hal merupakan pertentangan antara keduanya dan berada di antara kedua sistem ekstrem tersebut.
Misalnya, di bidang perdagangan. Menurut sistem kapitalistik yang mengandalkan persaingan bebas tak terbatas, karena disparitas harga yang tinggi, orang boleh saja menjual barang dagangannya kepada pihak pembeli dengan keuntungan yang besar. Meski pada umumnya masyarakat amat membutuhkan barang tersebut secara luas dan merasa tercekik oleh harga yang mahal.
Dalam sistem sosialistik, seluruh bentuk produksi dan sumber pendapatan menjadi milik negara atau masyarakat secara keseluruhan. Hak individu untuk memiliki harta atau memanfaatkan produksi tidak diperkenankan.
Dalam Islam, perdagangan atau tijaarah dimotivasi untuk menolong sesama (at-ta’aawwun bayn al-naas) karena perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an, “… Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa; dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan, bertaqwalah pada Allah, sungguh Allah sangat berat siksanya.”(QS. al- Maidah/5: 2).
Dalam ayat lain, “Tidak ada dosanya bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu (selagi kamu mengerjakan ibadah haji).” (QS. al-Baqarah/2: 198). Begitu juga dalam QS. al-Jumu’ah/62: 10: “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.”
Prof. Dr. Afzalur Rahman, dalam Economic Doctrines of Islam, mengatakan bahwa Islam memperkenankan orang Islam terlibat dalam perdagangan yang halal atau usaha yang lain, asalkan bebas dari penipuan, judi dan kezaliman.
Jelas sekali, betapa gaya trading tipu-tipu seperti dalam aplikasi online dan menjual barang-barang kebutuhan pokok masyarakat luas ke luar negeri karena disparitas harga yang tinggi adalah gaya-gaya perdagangan yang tidak bermoral.
Islam menawarkan gaya bisnis yang berbasis syari’ah yang diilhami oleh nilai-nilai luhur Qur’ani yang menyeimbangkan antara dua kepentingan yaitu aspek ketuhanan dan sisi kemanusiaan. Islam adalah sistem ajaran theo-anthroposentrisme yang mengedepankan pentingnya keseimbangan atau equillibrium.
Apa yang kita saksikan dan alami langsung selama ini, menguatkan keyakinan kita bahwa sistem ekonomi Islam itulah yang memberikan keadilan, kesejahteraan, menyebarluaskan kasih sayang, menentang kezaliman dan penganiayaan.
Kalau sudah terbukti begini, apa lagi alasan kita untuk tidak menerima nilai-nilai luhur Al-Qur’an. Termasuk mengembangkan sistem ekonomi Islam atau ekonomi syari’ah.
Selamat dan sukses untuk kita semua. Semoga Allah swt memuliakan dan memberkahi kita.[]
Editor: AMN