Filosof Berpuasa

okezone.com

Agama seperti datang untuk mengendalikan tubuh. Setiap aktivitas agama seakan-akan adalah gerakan yang hendak memusuhi tubuh, bahkan menghukumnya. Tubuh bagaikan pusat nista dan agama datang untuk memberangus nista dan karena itu, memberangus tubuh. Perempuan sebagai representasi tubuh indah pun diberangus sedemikan rupa. Tubuhnya dibungkus, oleh agama, hingga jangan sampai dikenali sebagai perempuan agar nista tidak memancar ke mana-mana.

Ketika syariat mewajibkan berpuasa, maka yang terbayang juga adalah betapa agama memusuhi tubuh. Tubuh yang butuh makan, minum, dan relasi seksual dilarang untuk mendekati semua itu. Bahkan warung makan pun harus tutup karena warung makan dianggap sebagai pelayan bagi kesenangan tubuh. 

Bacaan Lainnya

Sedemikan bencikah agama kepada tubuh? 

Begini ceritanya. Pemahaman manusia tentang realitas sepertinya tidak bisa mengelak dari pandangan adanya dua yang berbeda secara diametral, yaitu realitas yang kasat mata dan realitas tidak kasat mata; yang material dan tidak material; yang kuantitatif dan kualitatif; yang empiris dan yang rasional; yang kasar dan halus. Begitu seterusnya. Pemahaman tentang adanya raga dan jiwa juga seperti itu. Raga sebagai sesuatu yang material dan kasar serta jiwa yang tidak material dan halus.

Pemahaman tersebut bisa sebatas pemahaman tentang realitas yang tidak satu warna dan bisa bisa pula menjadi semacam penilaian mana yang lebih baik, lebih mulia, atau lebih utama. Di dalam agama (Islam, Kristen, dan Yahudi) yang lebih utama adalah sesuatu yang tidak material dan halus. Adapun keutamaan yang material dan kasar berada di bawahnya. 

Sesungguhnya pemahaman seperti di atas bukan pemahaman yang khas agama saja. Filosof seperti Plato memiliki pemahaman yang sama. Baginya, ada yang bernama dunia ide dan ada dunia kasat mata. Dunia ide adalah yang utama karena dari sanalah sesungguhnya asal dunia kasat mata. Kedua dunia ini memiliki ciri berbeda. Dunia ide bersifat tetap, tidak material, abadi, tidak berubah, halus, dan seterusnya. Dunia kasat mata bersifat sebaliknya, tidak tetap, tidak material, berubah, tidak abadi, kasar, dan seterusnya.

Pandangan seperti di atas, di dalam agama, dilanjutkan lebih jauh. Manusia mempunyai dimensi material dan dimensi tidak material, yaitu tubuh dan jiwa. Tentu saja, dalam agama, jiwa lebih utama dari tubuh. Kedua entitas ini memiliki kecenderungan masing-masing. Tubuh memiliki kecenderungan badani seperti makan, minum, hasrat seksual, dan sebagainya. Jiwa tidak demikian. Jiwa cenderung lebih condong kepada yang bersifat Ketuhanan dan tubuh menjadi belenggu bagi jiwa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Relasi tubuh dengan jiwa ini, di dalam agama, mendapatkan persamaannya dengan relasi antara dunia dan akhirat. Dunia adalah segala hal yang berkaitan dengan hal yang material dan sifatnya rendah atau nista (konon kata dunyaa di dalam bahasa Arab berarti rendah). Adapun akhirat selalu berkaitan dengan hal yang spiritual dan dengan demikian jauh lebih mulia daripada dunia.

Hingga penjelasan di atas, belum begitu jelas apakah agama membenci tubuh atau tidak. Kelanjutan dari penjelasan di atas nanti memberikan pemahaman mengapa agama dianggap cenderung membenci tubuh.

Relasi tubuh dan jiwa sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah pemahaman umum di dalam agama, namun tidak semua pemahaman membuat tubuh tampak dibenci. Paling tidak ada dua kecenderungan pemahaman lain yang muncul dari pemahaman di atas. Pertama, relasi tubuh dengan jiwa adalah berawal dari menyatunya tubuh dan jiwa yang memang terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan dan relasi tersebut mendefinisikan manusia itu apa. Jadi, menyatunya tubuh dengan jiwa membuat manusia menjadi manusia dan terpisahnya membuat manusia bukan lagi manusia.

Kedua, relasi tubuh dengan jiwa memang berawal dari menyatunya tubuh dengan jiwa, tetapi dipahami bahwa jiwa sesungguhnya tidak nyaman berada di dalam tubuh karena pengaruh buruk yang dibawa oleh tubuh. Selama berada di dalam tubuh, itu adalah siksaan bagi jiwa karena tidak lebih dari penjara. Jadi, manusia sesungguhnya didefinisikan dengan jiwanya, bukan tubuhnya atau tidak beserta tubuhnya.

Pemahaman yang kedua inilah yang membuat agama tampak membenci tubuh. Hal itu bisa dilihat ketika puasa dimasukkan ke dalam kerangka pemahaman keduanya. Penjelasan berikut dimulai dari pemahaman kedua.

Pada kerangka pemahaman kedua, tubuh jelas menjadi objek puasa. Buktinya, ada upaya untuk tidak makan, minum, dan hasrat seksual yang jelas-jelas merupakan kegemaran tubuh. Ketiga kegemaran tubuh itu bukan lagi tentang kelangsungan hidup pribadi maupuan umat manusia namun sudah menjadi kegemaran, bahkan pelampiasan hasrat. Karena itulah, tubuh dianggap membawa pengaruh buruk bagi jiwa. Penyatuan tubuh dengan jiwa membuat jiwa ikut-ikutan terpengaruh buruk. Jadi, cara agar jiwa tetap di dalam kesuciannya adalah dengan melepaskan diri dari dari pengaruh buruk tubuh. Wajar, jika tubuh dibenci.

Pada kerangka pemahaman pertama dipahami bahwa puasa memang menjadikan tubuh sebagai objek, namun penyatuan tubuh dengan jiwa dianggap semata kehendak Tuhan. Karenanya, relasi tubuh dan jiwa adalah niscaya bagi manusia untuk menjadi manusia seutuhnya. Memang masing-masing tubuh dan jiwa memilik karakter berbeda dan bahkan tampak bertentangan, namun perbedaan itu hadir sebagai tangga penting bagi manusia untuk ditapaki agar menjadi manusia seutuhnya.

Pemahaman pertama memahami bahwa manusia bukan manusia jika hanya ada tubuh tanpa jiwa. Demikian pula bukan manusia jika hanya ada jiwa tanpa tubuh. Manusia adalah tubuh dan jiwa. Puasa bukan puasa jika hanya ada makan tanpa berhenti. Demikian pula puasa bukan puasa jika hanya ada tidak makan dan tanpa makan sama sekali. Puasa adalah makan dan tidak makan; minun dan tidak minum. 

Pemahaman pertama memahami bahwa tubuh bukan penjara bagi jiwa dan sebaliknya jiwa bukan penghalang bagi tubuh, maka puasa bukan hanya urusan tidak makan, minum, dan melampiaskan hasrat seksual. Puasa adalah urusan tubuh dan juga urusan jiwa. Bagi tubuh, puasa adalah membatasi makan, minum, dan hasrat seksual. Bagi jiwa, yang penting adalah cara pandang terhadap makan, minum, dan hasrat seksual. 

Sudah jelas yang dimaksud dengan tubuh membatasi makan, minum, dan hasrat seksual karena yang berpuasa pasti melakukannya. Yang perlu dijelaskan adalah bagi jiwa, puasa adalah cara pandang. Bagi jiwa, bukan menahan makan, minum, dan hasrat seksual yang penting tetapi cara pandang terhadap ketiganya. Bagi jiwa, ketiganya bukan musuh, tetapi wahana bagi jiwa untuk mencapai kesempurnaannya dan juga wahana bagi tubuh untuk mencapai kesempurnaannya.

Tubuh akan lebih cepat menggapai kehacurannya jika makan, minum, dan hasrat seksual dilampiaskan tanpa kendali. Bukan hanya penyakit yang didatangkan tetapi juga bisa memicu tindakan-tindakan seperti korupsi, penipuan, hingga tindakan kekerasan. Karena itu, puasa bukan memusuhi tubuh tetapi menemani tubuh untuk mencapai kesempurnaannya.

Bagi jiwa, ketika ketiga hasrat itu tak terkendalikan, namun tidak terpenuhi (memang tidak akan pernah terpenuhi), maka jiwa akan tertekan hingga depresi. Hidup terasa hampa dan mudah sedih tanpa sebab. Jiwa yang lebih tenang karena tekanan serta ketiga hasrat tersebut terkendali akan melahirkan manusia yang lebih produktif dan lebih sehat.

Dalam puasa, tubuh adalah simbol keniscayaan. Makan, minum, dan hasrat seksual adalah hal-hal yang tidak bisa tidak. Manusia tidak mungkin mengelakkan hal-hal itu. Karena itu, kesempurnaan manusia bukan pada penolakannya terhadap hal-hal yang tak terelakkan, namun pada cara pandangnya terhadap hal-hal yang tak terelakkan tersebut. Puasa Ramadhan bukan hanya mengajarkan cara pandang lebih baik terhadap makan, minum, dan hasrat seksual karena ketiga hal itu sesungguhnya hanya simbol bagi hal-hal yang material. Jadi, puasa mengajarkan cara pandang yang lebih baik terhadap hal-hal yang material dan juga hal-hal yang tak terelakkan.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *