Islam selamanya kompatibel dengan ruang dan waktu. Di era klasik, modern, maupun kontemporer kesesuaian itupun tetap terbukti kebenarannya. Di saat banyak masyarakat mengalami kesulitan akibat kenaikan harga bahan pokok termasuk BBM, Islam sekali lagi tampil dengan karakternya yang cocok dengan zaman.
Islam menawarkan gaya hidup di bulan Ramadhan yang hemat. Tidak berlebihan atau hemat dalam beribadah atau iqtishaad bukanlah sekadar lips service tetapi bersumber dari ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya.
Misalnya dalam QS. Thaha/20: 1-2, “Thaahaa, Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah”. Karakter demikian itu diperkuat oleh QS. al- Baqarah/2: 185, “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu sekalian”.
Kedua dasar autoritatif itu didukung oleh realitas se-sungguhnya dalam praktek ibadah Rasulullah Saw. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw kala berbuka puasa hanya dengan air putih, kurma atau yang manis-manis. Setelah itu, salat maghrib, baru makan, dilanjutkan salat isya dan tarawih (Prof. Dr. Aboubakr Jabir al-Jazairy, Minhaaj al-Muslim, Baab ash- Shiyaam).
Gaya hidup Rasulullah Saw ini pun kompatibel dengan ilmu pengetahuan. Air putih sangat efektif untuk membasahi kerongkongan dan jalan makanan ke perut. Kurma adalah buah yang khas didesain Allah SWT untuk setiap orang di manapun dan berfungsi sebagai penyumbang glukosa yang baik bagi keperluan asupan sumber energi kita setelah lebih kurang 13 jam tidak diisi makanan.
Salat maghrib menjadi sangat penting sebagai kewajiban kita setelah puasa seharian. Didahulukan dari makan, karena juga pertimbangan kesehatan. Perut yang relatif lama tidak diisi makanan, bila tiba-tiba diberi muatan yang berat akan membebani sistem pencernaan makanan. Bisa berujung pada sakit. Bukan cuma itu, makan banyak ketika berbuka akan mempersulit kita kala tarawih.
Karenanya, bisa dimengerti mengapa Imam al-Ghazali menyebut makruh hukumnya terlalu banyak makan meski halal kala berbuka puasa (Imam al-Ghazali dalam Bidaayah al- Hidaayah). Demikian pula, kala santap sahur. Seperti diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra dari Aisyah ra bahwa Rasulullah bila sahur cuma makan buah atau sayur atau minum susu. Tidak banyak, dan bukan makanan yang berminyak.
Gaya hidup Ramadhan seperti ini praktis cocok dengan kondisi kekinian di mana tidak sedikit orang yang mengalami kesulitan. Meski begitu, kita sepatutnya membangun optimisme tinggi. Hadits Rasulullah Saw di akhir Sya’ban tahun kedua Hijriyah di Madinah menyebutkan bahwa di bulan Ramadhan, Allah SWT akan menambah rezeki orang beriman (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Bayhaqi). Hal itu sebagaimana tercantum di dalam Imam al-Mundziry dalam At-Targhaib wa at-Tarhiib min al-Hadiits asy-Syariif).
Jadi, jika kita mengikuti sunnah Rasulullah Saw dalam mengisi Ramadhan di manapun kita tinggal di zaman apapun kita hidup tetap bisa menyesuaikan dengan keadaan.
Kita bersyukur punya agama Islam. Kita bangga jadi muslim karena ittibaa’ as-sunnah bukan hanya pada tampilan fisik dan pakaian asesoris semata tetapi mengikuti jejak langkah dan gaya hidup Rasulullah Saw.
Selamat terus mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Kita pasti beruntung di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT memuliakan dan memberkahi kita semua.[]
Editor: AMN