Manusia sebagai khalifah di dunia ini memiliki tugas utama memakmurkannya dengan segala bentuk kegiatan yang bermanfaat. Menjaga kelestarian alam. Menjaga kebersihan lingkungan. Menjaga keseimbangan alam. Menuntut ilmu dengan rajin dan giat. Bekerja untuk menafkahi diri sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Dan tugas-tugas kekhalifahan lainnya.
Bekerja merupakan nikmat luar biasa dari Tuhan. Agar nikmat tersebut bertambah, kita harus mensyukurinya. Ketika kita tidak pandai mensyukurinya bisa jadi Allah akan cabut nikmat tersebut. Dengan mensyukuri nikmat bekerja diharapkan pekerjaan tersebut akan mendatangkan kemaslahatan yang maksimal dan keberkahan melimpah.
Ikhlas dalam Bekerja
Mensyukuri nikmat bekerja adalah melakukannya dengan ikhlas dan profesional. Ikhlas dalam bekerja adalah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan ridha Allah. Karena dalam Islam bekerja merupakan kewajiban. Sehingga bekerja merupakan ibadah yang mulia. Karena dengan bekerja seseorang akan mendapatkan imbalan materi yang berguna untuk mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarganya sehingga terhindar dari meminta-minta kepada orang lain.
Niat mengharap ridha Allah dalam bekerja ini perlu dijaga karena setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Ketika bekerja dengan niat menunaikan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya maka ia telah melakukan ibadah yang sangat mulia. Tetapi ketika niatnya semata-mata hanya karena mendapatkan gaji dan materi maka yang ia dapatkan hanya sekadar gaji dan materi duniawi. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari jalur Umar bin Khattab RA,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrah karena Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya karena niat asalnya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas ditegaskan lagi dengan hadis berikut yang lebih spesifik terkait dengan bekerja mencari nafkah dengan ikhlas mencari ridha Allah. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain Rasulullah SAW menegaskan bahwa orang yang bekerja untuk menghidupi anaknya yang masih kecil, menghidupi kedua orang tuanya yang sudah renta, dan untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya agar terjaga kesuciannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain termasuk amalan jihad di jalan Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
“Jika ia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, tentu dia berada di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk menafkahi dua ibu-bapaknya yang sudah tua, tentu ia berada di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk dirinya, yakni untuk menjaga kesucian diri, maka dia di jalan Allah, dan jika ia keluar bekerja untuk riya dan berbangga-bangga (di hadapan manusia), maka dia berada di jalan setan.” (HR. Thabrani).
Rasulullah SAW bersabda lagi,
وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلا مَنْ قُتِلَ ؟ مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ فَفِي سَبِيلِ اللهِ، وَمَنْ سَعَى مكاثِرًا فَفِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ.
“Memangnya jihad di jalan Allah itu hanya yang terbunuh (dalam perang) saja? Siapa yang bekerja untuk menghidupi orang tuanya maka dia di jalan Allah, siapa yang berkerja menghidupi keluarganya maka dia di jalan Allah, tapi siapa yang bekerja untuk bermewah-mewahan (memperbanyak harta) maka dia di jalan thaghut.” (HR. Thabrani).
Profesional dalam Bekerja
Selain harus ikhlas, agar suatu pekerjaan mendatangkan kecintaan Allah SWT, kita harus bekerja dengan profesional. Profesional dalam bekerja adalah dengan mengerjakannya sebaik-baiknya. Hal ini menuntut untuk terus belajar dan berlatih agar hasil pekerjaannya sesuai standar terbaik. Profesional dalam bekerja mengharuskan ketrampilan yang memadai, etos kerja yang tinggi, dan amanah serta tanggung jawab dalam bekerja. Dalam Islam tidak dikenal bekerja asal-asalan. Karena ini menyangkut amanah. Orang yang amanah dan tanggung jawab dalam bekerja akan melakukan tugasnya sesuai dengan standar operasional yang sudah ditetapkan.
Hal ini dikuatkan dengan hadis Rasulullah SAW:
إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ (رواه الطبرني والبيهقي)
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).
Bekerja Harus di Bidang yang Halal
Tentunya, pekerjaan yang harus dikerjakan dengan ikhlas dan profesional seperti penjelasan di atas harus di bidang yang termasuk kategori halal. Jangan sampai kita bekerja di bidang yang diharamkan dalam Islam. Di sinilah pentingnya kita harus mencari tahu terlebih dahulu tentang status atau hukum kehalalan bidang pekerjaan sebelum memasukinya. Mencari bidang pekerjaan yang halal adalah suatu hal yang wajib dilakukan.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:
طَلَبُ الْحَلاَلِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Mencari (harta) yang halal adalah wajib bagi setiap Muslim. (HR. ath-Thabarani).
Abdullah bin Mas’ud ra menuturkan, Rasulullah SAW bersabda:
طَلَبُ الْحَلاَلِ فَرِيضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
Mencari (rezeki) yang halal adalah kewajiban setelah kewajiban. (HR ath-Thabarani).
Editor: DM