Hati dan Posisinya dalam Ilmu Pengetahuan

penerbitbukudeepublish.com

Manusia memiliki panca indra yaitu penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan, dan perabaan. Kelimanya adalah alat yang memungkinkan manusia mengetahui. Kehilangan salah satunya adalah kehilangan besar. Seumpama seseorang tidak memiliki indra penglihatan sejak lahir, maka tidak mungkin ada bayangan baginya tentang warna, bentuk, dan jarak. Orang lain pasti kesulitan untuk menjelaskan tentang warna kepada orang yang buta sejak lahir. Definisi warna seperti apa yang bisa membuat seorang buta bisa memahami warna? Tidak ada. Pendeknya, siapapun yang kehilangan satu indra, maka dia kehilangan satu ilmu.

Demikian pula sulit untuk menjelaskan tentang musik kepada yang tuli sejak lahir; menjelaskan rasa pedas kepada yang tidak memiliki indra pengecap; menjelaskan permukaan yang halus dan kasar kepada yang tidak memilik indra perabaan; dan menjelaskan harum kepada yang tidak memiliki indra penciuman. Meski sedemikian penting indra, ternyata pengetahuan tidak bisa hanya dengan indra. Harus ada alat lain.

Bacaan Lainnya

Katakanlah indra telah bekerja dengan baik dengan mencerap berbagai objek yang berada dalam jangkauannya. Lalu, apakah sebuah pengetahuan telah lahir? Belum. Hasil cerapan oleh indra itu harus dipilah dan dianalisis. Dipilah maksudnya adalah membedakan antara satu dengan yang lain. Sedangkan dianalisis maksudnya adalah membangun relasi antara satu dengan yang lain. Contoh, saat seseorang melihat sebongkah batu, maka terbayang di sana ada bentuk, ada berat, ada ukuran, ada nilai atau harga, ada warna, ada definisi, dan seterusnya. Lalu ada terbayang berat yang sama dengan itu, ukuran yang sama dengan itu, nilai atau harga yang sama dengan itu, warna yang sama dengan itu, definisi yang sama dengan itu, dan seterusnya. Aktivitas sedemikan hanya bisa dilakukan oleh akal.

Salah satu aktivitas akal yang penting adalah mengabstraksi. Mengabstraksi adalah melepaskan dua hal yang sebenarnya di dalam objek hanya ada satu, bahkan tidak mungkin terpisah. Misalnya, ada lima butir kelereng. Di alam objektif, tidak mungkin dilepaskan antara “lima” dengan “kelereng” atau dilepaskan antara bilangan “lima” dengan “lima sesuatu”. Namun, akal mampu mengabstraksi, yaitu mampu memisahkan antara keduanya. Bahkan akal mampu menerapakan “lima” tidak hanya kepada kelereng itu tetapi kepada benda-benda objektif lainnya lalu menganalisis relasi antara semuanya.

Di dalam Al-Qur’an, ada disebutkan tentang hal yang mirip dengan pembahasan di atas yaitu pada QS. al-Nahl/16: 78:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Ayat ini menegaskan adanya keadaan tidak mengetahui apapun oleh manusia di awal kehidupannya dan itu pasti akan berlangsung seterusnya jika beberapa alat pengetahuan yang diciptakan oleh Allah SWT yang disebutkan di dalam ayat di atas tidak diberikan kepada manusia. Karena itu, alat-alat tersebut pun dianggap penting di dalam Al-Qur’an. Memang untuk indra, hanya disebutkan dua yaitu pendengaran dan penglihatan padahal sesungguhnya ada lima. Itu sebagai penekanan bahwa keduanya adalah indra terpenting dan pengetahuan. Karena itulah keduanya dianggap telah mewakili semuanya.

Ayat di atas tidak hanya menyebut indra sebagai alat untuk mengetahui tetapi juga ada af’idah yang merupakan bentuk jamak dari fu’aad. Kata itu sinonim dengan qalb yang kesemuanya berarti “hati”. Memang, konsep akal di dalam Al-Qur’an selalu bersinggungan dengan hati dan hati di dalam Al-Qur’an tidak menempati posisi di kepala sebagaimana banyak dipahami. Hati di dalam Al-Qur’an disebutkan berposisi di dada. Namun, fungsinya sama dengan akal, yaitu untuk memilah dan menganalisis. Lebih daripada itu, hati di sini juga berfungsi untuk menimbang yang baik dan buruk.

Dimensi moral di dalam upaya mengetahui sesuatu lewat alat-alat seperti indra, akal, dan hati ditunjukkan Al-Qur’an dengan kalimat di ujung ayat di atas, yaitu la’allakum tasykuruun. Secara etimologis, bersyukur berarti berterima kasih atas pemberian. Di dalam ayat tersebut, apakah dimaksudkan dengan berterima kasih karena diberi ilmu atau diberi alat untuk mengetahui atau apa? Kata inti dari berterima kasih adalah menghargai. Seorang disebut berterima kasih karena menghargai pemberian orang yang memberinya. Namun di ayat ini bukanlah urusan pemberian dan penerimaan yang penting, tetapi bagaimana menghargai pemberian itu.

Di dalam Islam, mengetahui atau ilmu pengetahuan tidak sekadar ilmu pengetahuan tetapi selalu berdimensi moral dan karena itu, selalu ada penghargaan terhadap kebaikan dan penghindaran dari keburukan. Di situlah kalimat la’allakum tasykuruun menemukan maknanya, yaitu agar kalian menghargai kebaikan. Seseorang tidak cukup hanya mengetahui kebenaran tetapi tidak mengamalkannya dan mengetahui keburukan tetapi tidak menghidarinya. Itu sama saja dengan tidak mensyukurinya. Itulah makna salah satu dari Nama-nama Allah yang Indah, asy-Syakuur. Apakah Allah SWT berterima kasih atas pemberian? Tentu saja tidak karena Allah SWT tidak menerima pemberian dari siapapun.

Jika ada pandangan bahwa ilmu pengetahuan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri, maka Islam menganggapnya keliru. Ilmu pengetahuan di dalam Islam adalah untuk menjadi semakin baik. Jika tidak, maka itu mengingkari ilmu pengetahuan itu sendiri.

Mari kita lihat lebih jauh bagaiman hati menjadi alat untuk mengetahui. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu pengetahuan di dalam Islam adalah untuk menjadi lebih baik, maka di situlah hati menempati posisi penting di dalam ilmu pengetahuan. Indra dan akal bisa menjadi alat mengetahui yang baik, tetapi tidak serta-merta menjadikan orang yang berilmu pengetahuan menjadi orang baik. Hatilah yang menentukan apakah seseorang bisa menjadi lebih baik karena ilmunya atau malah menjadi jahat dan merusak.

Ada perdebatan tentang mana sesungguhnya alat pengetahuan hingga melahirkan perdebatan antara empirisme (akal) melawan rasionalisme (akal). Adapula yang mendukung hati sebagai satu-satunya alat pengetahuan. Namun Al-Qur’an sepertinya tidak mau terlalu jauh ke dalam perdebatan seperti itu. Sepertinya Al-Qur’an lebih memilih jalan berbeda.

Pemahaman tentang realitas haruslah komprehensif. Realitas bukan hanya seluruhnya selain manusia, tetapi juga termasuk manusia itu sendiri. Jika harus dibandingkan, indra cenderung hanya mampu memahami realitas di luar manusia tetapi tidak mampu memahami manusia. Seumpama mata yang tidak mampu melihat dirinya sendiri. Adapun akal, mampu memahami dirinya dan bahkan mengoreksi dirinya jika salah, tetapi ketergantungannya kepada indra sangat besar. Meski demikian, akal layak dipakai untuk memahami manusia. Sedangkan hati, mampu memahami manusia dengan jauh lebih baik.

Al-Qur’an memilih untuk memberikan posisi istimewa kepada masing-masing alat pengetahuan tanpa mempertentangkannya. QS. Ali Imran/3: 190-191:

إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا سُبْحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Meski tidak mempertentangkan antara ketiganya, Al-Qur’an terkesan memberikan posisi istimewa bagi hati. Indra bisa soak karena usia. Akal bisa tumpul karena masa. Namun hati tidak. Hati bisa semakin benderang seiring upaya untuk menyucikannya. Karena itulah hati mampu mencapai Ilahi, sedangkan indra dan akal tidak selalu.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *