Pengetahuan modern menemukan keberadaan “alam-bawah-sadar”. Hal itu adalah sebuah penemuan revolusioner karena dipaham bahwa “alam-bawah-sadar” ini lebih dominan daripada “jiwa-sadar”, hingga mengendalikannya. Seumpama sebuah komputer, maka pasti memiliki tampilan luar dan tampilan dalam. Tampilan luar bisa dalam bentuk yang fisik dan bisa pula dalam bentuk kinerja. Di balik tampilan luar itu, ada tampilan dalam yang jauh penting daripada tampilan luar karena dominasi dan pengaruhnya. Apapun yang tampak secara kasat mata pada komputer sesungguhnya sangat bergantung kepada tampilan dalamnya. Itulah yang bidal “alam-bawah-sadar”.
Pada sebuah pabrik besar, terlihat secara kasat mata ribuan pegawai, mesin pengolah, suara kendaraan proyek lalu-lalang, gudang agam, limbah, keramaian pada jam kerja dan keheningan pada jam istirahat, dan seterusnya. Semua itu hanyalah penampakan luar. Meski tampak gadang, semua itu justru dikendalikan oleh sebuah ruang cuai di bucu pabrik. Sebuah ruang di mana seorang direktur duduk memikirkan dan memutuskan target produksi tahunan serta konsekuensi jumlah pegawai yang dibutuhkan, mesin yang digerakkan, serta biaya yang dihabiskan. Itulah seumpama “alam-bawah-sadar”, tidak terlihat, kecil, tapi menentukan.
Istilah Al-Qur’an untuk “alam-bawah-sadar” adalah sir, sebagaimana disebutkan di dalam QS. Taha/20: 7: Wa in tajhar bil qawli fa innahuu ya’lamus sirra wa akhfaa. Artinya: Jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh Dia mengetahui rahasia yang tersembunyi.
Sirr bisa jadi hanya salah satu istilah untuk “alam-bawah-sadar” karena ayat tersebut mengindikasikan adanya sesuatu yang lebih ringan, lebih kecil, lebih tersembunyi daripada sirr itu sendiri dengan adanya kata wa akhfaa di dalam ayat tersebut, meski tidak menyebutkan itu apa. Tegasnya, ayat itu menyebutkan adanya eksistensi tampilan luar dengan kata al-jahr (tampak, keras, besar) dan adanya eksistensi “alam-bawah-sadar” dengan kata as-sirr (laten, lembut, kecil).
QS. Taha/20: 7 juga menegaskan bahwa as-sirr lebih penting daripada al-jahr karena ayat tersebut menegaskan pengetahuan Allah SWT tentang as-sirr yang tidak akan bisa dikelabui oleh al-jahr. Bagi manusia, al-jahr itulah yang penting karena penilaian manusia hanya mampu mencapai al-jahr. Bukan hanya as-sirr. Allah SWT bahkan mengetahui yang akhfaa (lebih laten, lebih lembut, lebih kecil, dan lebih ringan daripada as-sirr.
Tentang hadirnya “alam-bawah-sadar”, ada beberapa teori yang menjelaskan asal-mulanya. Satu pandangan mengatakan bahwa “alam-bawah-sadar” hadir karena adanya upaya sensor terhadap keinginan asli manusia yang terhalang oleh gandalan-gandalan aturan sosial, adat-istiadat, termasuk aturan agama. Keinginan-keinginan tersebut lalu mengalami represi kemudian teronggok hingga membentuk “alam-bawah-sadar”.
Saat nantinya keluar kembali, onggokan itu sudah mengalami sublimasi ke dalam perilaku yang bisa diterima oleh aturan-aturan yang dulu menggandalnya, seperti empati dan cinta sesama. Jadi, empati dan cinta sesungguhnya adalah kebinatangan yang mengalami sublimasi menjadi kemanusiaan. Apakah benar demikian? Bukankah empati dan cinta itu adalah titipan langsung dari Tuhan? Terlepas mana yang benar, yang pasti benar adalah “alam-bawah-sadar” itu ada.
Jika “alam-bawah-sadar” terbukti ada, maka jiwa pun pasti ada meski tidak tampak sebagaimana penampakan raga. Jadi, sebagaimana sakit jiwa itu ada, maka sehat jiwa pun ada; bukan sekadar sehat syaraf atau sakit syaraf, sebagai halnya orang yang mengingkari jiwa mendefinisikan sakit dan sehat jiwa karena pemikiran itu hendak mengatakan bahwa semuanya adalah material sehingga sakit dan sehat pun material.
Tulisan ini, sampai di sini, sedang memekarkan argumen bahwa yang tampak ada dan yang tidak tampak pun ada. Juga memekarkan argumen bahwa bukan hanya ada, tetapi yang tidak tampak jauh lebih dominan daripada yang tampak. Selanjutnya, yang hendak dimekarkan oleh tulisan ini adalah bahwa yang tidak tampak itu adalah Allah SWT meskipun tidak tampak.
Saat sekelompok orang bermusyawarah untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, maka yang dibicarakan adalah tentang munculnya bulan. Apakah mereka sedang melihat bulan muncul? Tidak. Apakah karena tidak melihat bulan muncul, maka mereka tidak mampu menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan? Pasti mampu. Jadi, pengetahuan mereka bukan lewat penglihatan, tetapi melalui penghitungan. Lewat penghitungan yang sama mereka bahkan mampu menentukan bukan hanya awal dan akhir bulan Ramadhan, tetapi juga kapan sebuah komet akan melintasi bumi di masa datang secara presisi.
Nabi Ibrahim as mengetahui Tuhan ada bukan karena melihat-Nya, tetapi lewat penghitungan, sebagaimana terekam di dalam QS. al-An’am/6: 75-79. Baginya, alam raya ini beringsut dan bukan hanya beringsut, tetapi menjadi korban dari ingsutan yang jauh lebih besar darinya. Dia memerhatikan tubuhnya yang beringsut semakin lama semakin menua, melamban, mengerut, melemah. Alam raya beringsut, berputar, menyembul, lesap. Tergoda dia kepada matahari karena gembungnya, kepada gemintang karena pesonanya, kepada rembulan karena teduhnya. Tetapi semua lucut. Jika lucut, maka mereka pun korban dari ingsutan yang lebih besar darinya. Harusnya ada sesuatu yang beringsut tetapi dia bukan korban ingsutan. Sepertinya itu Tuhan.[]
Editor: AMN