Menulis Berarti Belajar

Sejak Ustadz Saiful Arif mengontak saya untuk menjadi narasumber pada Pelatihan Penulisan Artikel Website Keislaman yang diadakan oleh Cariustadz.id, saya terbawa ingatan ke masa lalu kala begitu susah tulisan kita untuk dibaca oleh khalayak.

Era internet dan media sosial adalah era informasi multiarah. Sebelum era itu, informasi berasal dari satu arah yaitu media arus utama. Hanya merekalah penyedia informasi. Jika ada informasi dari khalayak, maka itupun harus bertarung dengan khalayak yang lain untuk bisa dimuat oleh koran, majalah, atau tabloid. Bayangkan, berapa banyak kala itu ide yang hanya tertahan di benak orang-orang atau teronggok menjadi kenangan di kamar masing-masing dalam bentuk lembaran.

Syukurlah, era baru menjelang. Informasi tidak hanya satu arah. Bahkan, masing-masing orang membuat medianya sendiri-sendiri dalam bentuk tulisan, suara, bahkan video. Masing-masing kita bisa menciptakan kantor berita, majalah, koran, atau surat kabar kita sendiri dan kita bisa disebar ke siapapun dan ke manapun di seluruh penjuru bumi. Jika tidak punya, banyak media yang bersedia memuat tulisan kita tanpa seleksi yang seketat dahulu.

Menimbang penjelasan tentang kenyataan media saat ini di atas, maka sudah bukan zamannya lagi bagi para produsen ide untuk kesulitan menyebarkan idenya agar bisa dikenali oleh khalayak. Persoalannya juga bukan pada apakah kita punya ide atau tidak karena tidak ada orang yang tidak memiliki ide. Media pun memberi keleluasaan bentuk ide disebarkan lewat suara, foto, video, maupun tulisan atau gabungan antara semuanya. Jadi, sama sekali tidak ada masalah.

Jika harus memilih di antara berbagai pilihan penyebaran bentuk ide, maka harus dikatakan bahwa tulisan adalah yang paling penting. Bahkan jika ide disebarkan lewat suara maupun gambar, maka jauh lebih baik jika sebelumnya dituliskan dulu dalam bentuk naskah atau konsep tertulis. Jadi, sesungguhnya penyebaran ide lewat tulisan lah yang paling mudah.

++++++++++

Tulisan yang baik adalah tulisan yang berawal dari kegelisahan pribadi penulis terhadap suatu hal atau suatu kenyataan. Kegelisahan itu biasanya hadir akibat adanya kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau adanya masalah yang kita anggap kita mengetahui jalan keluarnya atau alternatif pemecahannya. Jadi, semakin sering seseorang merasa gelisah, semakin banyak kemungkinan dia melahirkan tulisan yang baik. Jadilah pegelisah, maka engkau menjadi penulis.

Keuntungan bagi seorang yang menuliskan kegelisahannya terhadap sebuah persoalan dan mencoba memberikan solusi untuk persoalan tersebut adalah dia pasti menemukan pemecahan masalah yang jauh lebih baik daripada pemecahan masalah yang sebelumnya telah direncanakan saat memulai tulisan. Hal itu terjadi karena saat menulis, disadari atau tidak terjadi kemenungan yang mendalam terhadap persoalan tersebut. Jadi, seorang yang sedang menulis, sesungguhnya juga sedang belajar.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa menuliskan sesuatu atau kegiatan menulis, pada awalnya, bukan untuk siapa-siapa selain bagi penulis itu sendiri. Terkandung di dalam upaya menulis, ada upaya pencarian jati diri, terutama jati diri dalam merespon persoalan yang sedang dituliskan. Merespon persoalan bukanlah barang baru karena setiap hari kita merespon sangat banyak persoalan, tinggal menuliskannya.

Misalnya, saat ini saya sedang gelisah tentang peristiwa penyembelihan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as terhadap puteranya. Ada tuduhan bahwa peristiwa itu adalah peristiwa keji karena hanya demi mendekatkan diri kepada Allah SWT, selembar jiwa manusia harus dikorbankan. Apa iya syariat memang keji? Apakah tidak ada kemungkinan Nabi Ibrahim as salah paham terhadap mimpinya? Keyakinan saya menolak tuduhan syariat keji dan juga menolak dugaan seorang nabi salah memahami perintah Tuhannya, tetapi bagaimana rasionalisasi untuk keyakinan saya itu? Iya, rasionalisasi sangat penting di dalam sebuah tulisan. Sekalipun yang dituliskan adalah dogma agama, rasionalisasi terhadap dogma itu penting jika hendak dituliskan karena pembaca hendak memahami sebuah persoalan lewat bacaannya.

Saya pernah menuliskan kegelisahan saya di atas itu tidak dalam bentuk artikel, tetapi catatan kecil untuk sebuah ceramah. Saat mulai mencatat, saya bahkan belum ada jawaban terhadap persoalan yang saya gelisahkan. Ternyata, sambil memilih kata yang tepat untuk menggambarkan kegelisahan saya, beberapa alternatif jawaban sudah mulai mengerumuni kepala saya. Lalu, beberapa di antara alternatif jawaban itu berguguran karena bertentangan dengan jawaban yang lebih kuat. Kadang berguguran setelah dituliskan dan lebih sering saat masih dalam lamunan. Perlu diingat bahwa kegelisahan harus dituliskan semenarik mungkin untuk memancing rasa penasaran pembaca karena itulah kunci apakah pembaca melanjutkan bacaannya hingga akhir atau berhenti sebelum paragraf pertama usai.

Setelah kegelisahan selesai saya tuliskan, paragraf baru masuk kepada urusan alternatif jawaban terhadap kegelisahan tersebut. Alternatif jawaban ini sering perlu dituliskan untuk memperluas spektrum pandangan agar persoalan yang dibahas bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Jika pembaca merasa terwakili oleh salah satu sudut pandang, maka hampir pasti dia akan melanjutkan pembacaannya.

Bagian selanjutnya adalah penulis menunjukkan posisinya di antara sekian banyak alternatif jawaban yang ada dan menjelaskan mengapa posisi itu diambilnya. Gaya menggurui biasanya muncul pada bagian ini. Sebaiknya gaya tersebut tidak dipakai meski ada juga pembaca yang menyukai gaya itu karena terasa lebih menguatkan keyakinan. Inti tulisan sesungguhnya ada di bagian ini. Siapa dan bagaimana penulis artikelnya tergambar pada bagian ini.

Langkah terakhir dan sangat penting adalah membaca ulang tulisan sendiri. Paling tidak tiga hal yang perlu dicari kala membaca ulang, yaitu kesalahan teknis penulisan, kekeliruan sinkronisasi kalimat dan paragraf, serta ketidaksempurnaan ide dan penyampainnya. Jika perlu, beberapa kosa kata diganti dengan sinonimnya agar lebih menarik. Itu bisa dicari secara daring di dalam kamus bahasa dan kamus sinonim.

Tentu saja tidak ada jaminan bahwa setelah tulisan selesai, hadir sebuah jawaban yang paling benar terhadap persoalan yang hendak dijawab. Semua itu tergantung luasnya wawasan karena banyaknya bacaan dan lamanya kontemplasi. Kegiatan menulis adalah salah satu cara efektif untuk memperbanyak bacaan dan memperdalam kontemplasi karena adanya kegelisahan yang harus dituntaskan.

Satu hal lagi tentang kegiatan menulis adalah bahwa menuliskan sesuatu sesungguhnya pembuktian bahwa kita cukup memahami persoalan yang ditulis dan mampu menjawabnya. Karena itulah ada ungkapah yang berbunyi: “Saya belum memahami suatu hal jika belum mampu menjelaskannya kepada orang lain. Walaupun saya mampu menjelaskannya, saya pun belum memahami hal itu jika belum mampu menuliskannya. Walaupun saya mampu menuliskannya, saya tetap belum paham jika tulisan saya tidak mudah dipahami oleh pembacanya.” Jadi, jika tulisan kita tentang suatu hal sudah jadi tetapi orang lain kesulitan memahami tulisan kita, maka jangan-jangan kita sendiri tidak memahami hal yang kita tulils.[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar