Qurbân dan Kedagingan

Setelah melalui perubahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, kata qurbân berubah menjadi kurban yang sinonim dengan korban. Ada perubahan makna di sana. Kurban berarti persembahan kepada Allah SWT berupa binatang ternak yang disembelih pada Lebaran Haji. Sedangkan korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya.

Kurban jadinya adalah yang sangat khas Idul Adha karena langsung berkaitan dengan hewan ternak yang disembelih pada Lebaran Haji. Adapun korban lebih merupakan makna dari kurban itu sendiri, yaitu pemberian sebagai bukti kebaktian, kesetiaan, atau kehambaan. Persamaan keduanya adalah bahwa yang berkurban atau berkorban memiliki sesuatu yang dikorbankan atau dikurbankannya. Apakah menusia pemilik yang sesungguhnya dari sesuatu yang dikorbankannya? Jika bukan pemilik sesungguhnya, bagaimana manusia disebut berkorban atau berkurban?

Bacaan Lainnya

Di dalam bahasa Arab, sepertinya kata qurbân ada hubungan dengan kata qarîb yang berarti dekat. Barangkali juga tidak ada hubungannya. Jika ada, maka kurban adalah fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Fasilitas ini bukan milik manusia, tetapi milik Allah SWT. Manusia hanya memanfaatkan fasilitas. Jadi, Allah SWT sendiri yang memberikan fasilitas kepada manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Manusia adalah milik Allah SWT dan fasilitas yang dipakai manusia adalah milik Allah SWT. Jadinya, kedekatan dengan Allah SWT pun juga adalah milik Allah SWT. Semua milik-Nya.

Ketika seseorang berkurban, maka hewan ternak yang disembelih bukan milik pemberi kurban. Yang berkurban hanya memanfaatkan fasilitas pemberian Allah SWT itu untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam hal ini, bukan hanya hewan ternak yang menjadi fasilitas, tetapi segala yang ada di alam raya ini adalah fasilitas dari Allah SWT agar manusia mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan diri manusia pun fasilitas.

Karenanya, Tuhan bukan kenyataan yang berjarak dengan manusia yang hanya hadir di dalam kekhusyukan shalat di sepertiga malam, bukan yang hanya di rumah-rumah ibadah, bukan yang hanya muncul kala duka melanda atau gembira membahana. Karenanya, kurban bukan hanya Idul Adha, tetapi setiap saat. Konsekuensinya, menjauhi Allah SWT sebagai antithesis qurbân juga adalah kenyataan setiap saat. Di dalam QS. Qaf/50: 16: Wa nahnu aqrabu ilayhi min hablil warîd. Artinya, Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

Ayat lain yang dikaitkan dengan qurbân adalah QS. al-Kautsar/108: 1-2: Innâ a’taynâkal kautsar. Fashalli li rabbika wanhar. Artinya: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Ayat ini bisa dimaknai sebagai perintah shalat sunnah Idul Adha setelah banyaknya nikmat yang datang dan setelah shalat, diadakan penyembelihan kurban. Namun, nikman Allah SWT tidak hanya datang sebelum Idul Adha, tetapi setiap saat sebelumna dan setelahnya. Jadi, shalat atau bersyukur dan berkurban juga adalah kejadian setiap saat.

Kata fashalli li rabika di pada ayat di atas menegaskan pentingnya pernyataan Ketuhanan Allah SWT oleh manusia. Pernyataan tersebut bisa dalam bentuk intelektual, seperti argumentasi rasional tentang eksistensi Tuhan, dan bisa pula dalam bentuk ritual, seperti shalat, bersyukur, dan berdoa. Namun keduanya tidak cukup. Harus ada wanhar yang berarti berkurban. Memang harus dicatat bahwa arti kata wanhar adalah menyembelih hewan ternak sehingga terkesan ada makna yang sempit di sana. Dianggap sempit karena hewan ternak yang dikurbankan, bukan rumah mewah, bukan tenaga, dan bukan ilmu pengetahuan. Namun, sesungguhnya ada pesan khusus pada pengkhususan hewan ternak itu.

Hewan adalah makhluk yang paling mirip manusia. Tumbuhan tidak mirip manusia, apalagi makhluk yang merupakan benda mati. Ketika syariat menentukan hewan ternak yang dikurbankan, maka pesan yang hendak disampaikan adalah kedagingan dan juga darah yang mana keduanya tidak dimiliki oleh makhluk lain selain manusia dan hewan.

Kedagingan yang dimaksud adalah kesadaran bahwa manusia sebagai makhluk berdaging dan jasmani dan bukan semata-mata makhluk spiritual atau ruhani.

Pemahaman keagamaan sering mengglorifikasi keruhanian manusia sampai lupa bahwa manusia adalah juga makhluk jasmani, bahkan memusuhi jasmani. Padahal, manusia berada dalam kejasmanian dan kedagingannya. Penyembelihan daging bukan permusuhan kepada daging, tetapi justru pengakuan kepada pentingnya kedagingan itu. Penyembelihan hanyalah konsekuensi dari bahwa daging itu hendak dikonsumsi.

Seandainya penyembelihan adalah bentuk permusuhan kepada kedagingan yang katanya untuk menghilangkan sifat kebinatangan, lalu mengapa dagingnya dibagikan untuk dimakan dan bukan dibuang agar jiwa tidak tercemar oleh kenistaannya?

Peristiwa-peristiwa tragis seperti kelaparan, pengangguran, ketunawismaan, ketelanjangan, kesakitan, hingga kematian adalah kenyataan kedagingan yang sering dilupakan oleh pemahaman keagamaan karena terlalu fokus kepada keruhanian dan spiritualitas, padahal tanpa semua itu, bayang-bayang kekufuran pasti selalu menghantui.

Kesadaran akan kedagingan adalah gerak aktivisme yang membumikan teologi dan spiritualitas agama kepada kenyataan konkret. Aktivisme seperti itu membawa Tuhan hadir tidak hanya di rumah-rumah ibadah atau tempat-tempat berdzikir, tetapi juga di kolong jembatan, pemukiman kumuh, hingga para pencari-pencari kerja. Mereka barangkali bahkan telah kenyang mendengerkan ceramah-ceramah agama dalam keadaan perut keroncongan.

Pemahaman keagamaan lebih sering hadir seperti komentator sepak bola yang lambenya penuh marah dan kritik pedas kala seorang striker gagal menjebol gawang lawan, tetapi komentator itu sendiri bahkan tidak mampu menendang bola. Pemahaman keagaamaan harusnya menjadi pemain, bukan komentator. Harusnya memberi daging, bukan hanya siraman ruhani.

Hamba bukanlah eksistensi yang terlepas dari sekitarnya. Hamba adalah eksistensi hanya hadir dalam relasi. Pemahaman keagamaan juga menegaskan relasi itu tetapi hanya relasi dengan Tuhan, padahal hamba adalah eksisntesi yang berelasi dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Tanpa relasi itu, hamba sesungguhnya tidak bereksistensi, tidak ada.

Ketika putera Nabi Ibrahim as denga rela menjadi kurban lalu menyelipkan doa semoga dia menjadi anggota kelompok orang-orang sabar, maka itu adalah kritik kepada mereka yang hidup di menara gading: “Kalian sukses berkisah tentang pengorbanan. Sedang aku, menyerahkan kedagingangku!”[]

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Keren. Dari tulisan Ustaz Muid ini, saya justru kebagian ‘daging kurban’ sebelum hewan kurban disembelih. Terima kasih atas pencerahannya, ini mah daging semua ustaz. Sehat-sehat selalu Ustaz dan IBIHTAFSIR.ID sukses selalu.