Nilai-nilai Spiritual dan Sosial dalam Ibadah Kurban

Hari raya Iduladha mengingatkan kembali cara bersyukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Apabila merujuk pada QS. al-Kautsar/108: 1-3, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”, maka terdapat dua cara utama dan mulia untuk bersyukur kepada-Nya pada hari Iduladha, yaitu, Pertama, dengan cara mendirikan shalat. Kedua, dengan cara berkurban.

Dua cara syukur yaitu shalat dan berkurban yang disebutkan pada ayat di atas, maksudnya adalah bahwa bersyukur dengan cara mendirikan shalat wajib lima waktu dan shalat-shalat sunnah termasuk di dalamnya shalat sunnah Iduladha. Sedangkan bersyukur dengan cara berkurban maksudnya adalah melakukan penyembelihan hewan kurban dengan syarat-syarat tertentu yang dilaksanakan setelah shalat Iduladha pada tanggal 10 Dzulhijjah dan tiga hari kemudian yang disebut dengan hari tasyrik.

Bacaan Lainnya

Berkurban sebagai bukti rasa syukur kepada Allah SWT bagi Al-Sa`di dalam Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan merupakan ibadah utama dan mulia yang dilakukan pada hari raya Iduladha. Ibadah kurban ini menjadi bagian dari syariat Islam yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW mulai tahun kedua hijriyah yang sangat ditekankan kepada orang-orang yang mampu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang artinya: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami,”  (HR Ahmad dan Ibnu Majah).

Atas dasar hadits di atas, maka berkurban menjadi sunnah muakkad hukumnya bagi orang yang mampu sebagaimana pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Sedangkan menurut mazhab Abu Hanifah menjadi wajib hukumnya bagi orang yang mampu melakukannya.

Berkurban telah menjadi ibadah yang disyariatkan bagi umat Nab Muhammad SAW atau umat Islam sampai saat ini. Praktik berkurban ini pada dasarnya telah ada sejak zaman Nabi Adam AS dan Nabi Ibrahim AS. Praktik kurban yang pernah terjadi pada zaman Nabi Adam AS, pernah dilakukan oleh kedua putranya yang bernama Habil dan Qabil. Kisah keduanya dalam berkurban seperti disebutkan dalam QS. al-Maidah/3: 27-31. Sedangkan praktik kurban yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dikisahkan seperti dalam QS. al-Shaffat/37: 99-113. Kisah kurban tersebut memiliki tujuan yang berbeda masing-masing. Bagi Habil dan Qabil berkurban dilakukan atas perintah Allah SWT sebagai syarat agar dapat menikahi seorang putri Nabi Adam AS yang lebih cantik. Siapa di antara mereka berdua yang diterima kurbannya, maka dia berhak menikahi putri cantik tersebut. Berbeda dengan motif kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi  Isma`il AS. Kedua Nabi ini melakukan kurban atas dasar perintah Allah sebagai ujian dari-Nya dengan tujuan agar mendapatkan keridhaan dari-Nya.

Apabila memperhatikan motif kurban kedua putra Nabi Adam AS, maka dapat disimpulkan bahwa kurban mereka berdua memiliki nilai spiritual, karena melakukan perintah Allah. Namun kurban keduanya bersifat individual yang tujuannya hanya untuk kepentingan diri sendiri. Kemudian, jika memperhatikan motif kurban yang dilakukan Nabi Ibrahim dan putranya tersebut, maka sangat jelas sekali nilai spiritual yang tinggi untuk menjadi hamba-hamba Allah yang saleh. Nilai spritual kurban seperti ini tidak hanya dipahami sebatas pencapaian pada kesalehan individual semata, akan tetapi lebih lanjut mampu menjadi landasan yang kuat untuk melahirkan nilai-nilai sosial yang tinggi.

Dari sinilah nilai-nilai spritual dan sosial dalam ibadah kurban menjadi penting dikemukakan. Artinya bahwa berkurban yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW semestinya berorientasikan pada nilai spritual dan sosial. Nilai spritual kurban yang muncul pertama kali adalah seperti rasa syukur hanya kepada Allah SWT sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam QS. al-Kautsar/108: 1-3. Nilai spritual lainnya adalah taqarrub (mendekat) kepada Allah SWT hingga mencapai ketakwaan yang juga merupakan syarat diterimanya kurban sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Hajj/22: 37, yang artinya:“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…“.

Sebab turun ayat ini adalah menentang kebiasaan kaum musyrikin Arab sebelum Islam datang yang menempelkan darah-darah daging kurban mereka di dinding Ka`bah. Ada juga sebagian dari mereka membakar daging-daging kurban dan membiarkan aromanya membumbung tinggi ke langit dengan keyakinan bahwa aroma tersebut dapat menyenangkan Tuhan. Padahal yang sesungguhnya adalah bahwa bukan daging dan darah kurban yang dapat menyenangkan Tuhan dan mencapai keridhaan-Nya, akan tetapi yang dapat mencapai keridhaan-Nya adalah ketakwaan orang-orang yang berkurban.

Takwa yang menjadi syarat utama diterimanya kurban merupakan nilai spiritual yang sangat melekat dalam ibadah kurban. Meskipun takwa sebagai nilai spiritual, namun nilai sosial dari ketakwaan individual dapat memunculkan nilai-nilai sosial. Oleh karena itu, setelah nilai spiritual dalam ibadah kurban terwujud, maka nilai-nilai sosial dapat dimunculkan oleh orang yang berkurban. Di antara nilai-nilai sosial dalam ibadah kurban yang muncul yaitu, Pertama, ketakwaan orang yang berkurban melahirkan sikap tulus memberi. Kedua,  ibadah kurban dapat menjalin ukhuwah Islamiah dan persatuan. Ketiga ibadah kurban mengajarkan umat Islam untuk selalu menegakkan keadilan sosial.

Nilai sosial dalam ibadah kurban yang pertama yaitu ketakwaan orang yang berkurban melahirkan sikap tulus memberi. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya sikap tulus orang yang bertakwa dalam memberikan daging kurbannya kepada orang lain yang membutuhkan. Ketulusan dalam memberi daging kurban agar mendapatkan keridhaan Allah semata inilah yang bisa dikatakan nilai spiritual melahirkan nilai sosial yang berguna bagi masyarakat. Pemberian daging kurban oleh orang yang bertakwa secara tulus kepada masyarakat yang membutuhkan merupakan cerminan dari pengharapan mereka kepada Allah terhadap keridhaan-Nya sebagaimana yang dilukiskan dalam QS. al-Insan/76: 9, yang artinya: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

Sedangkan nilai sosial dalam ibadah kurban yang kedua adalah dapat menjalin ukhuwah Islamiah dan persatuan. Bukti nyata yang terlihat bahwa jalinan ukhuwah Islamiyah dan persatuan muncul berbarengan di saat pemotongan dan pembagian daging kurban kepada masyarakat yang menerimanya. Misalnya setiap anggota panitia kurban saling bantu membantu dalam pelaksanaan pemotongan hewan kurban tersebut. Munculnya rasa ukhuwah Islamiyah dan persatuan ini merupakan bagian yang penting dari nilai sosial dalam ibadah kurban, karena apabila tidak muncul rasa ini, maka akan mengalami kesulitan dalam mengatur, merapikan dan bahkan mendistribusi daging kurban kepada masyarakat yang menerimanya.

Jalinan ukhuwah Islamiah dan persatuan dalam ibadah kurban sebagai nilai sosial juga sangat berkait sekali dengan nilai spiritual ketakwaan sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Ali Imran/3: 103, yang artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.

Adapun nilai sosial dalam ibadah kurban yang ketiga adalah ibadah kurban mengajarkan umat Islam untuk selalu menegakkan keadilan sosial. Contoh sederhana keadilan yang dapat ditegakkan adalah ketika pembagian daging kurban secara merata dan adil kepada masyarakat yang menerimanya. Baik panitia kurban maupun masyarakat yang menerima kurban harus benar-benar melihat dan merasakan keadilan dalam pembagian jatahnya masing-masing. Berangkat dari yang sederhana inilah keadilan diajarkan untuk ditegakkan dalam ibadah kurban. Sehingga kemudian pembelajaran tentang keadilan ini berkembang menjadi upaya untuk selalu menegakkan keadilan sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bebangsa.

Ayat Al-Qur`an yang relevan dengan menegakkan keadilan sosial sebagai nilai sosial dalam ibadah kurban salah satunya adalah seperti dalam QS. al-Nahl/16: 90, yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Adapun kesimpulan yang dapat disebutkan yaitu bahwa ibadah kurban mengandung nilai-nilai spiritual dan nilai sosial. Nilai-nilai spiritual dalam ibadah kurban di antaranya adalah rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya; bertakarub (mendekat) kepada Allah SWT; dan bertakwa kepada-Nya. Sedangkan nilai-nilai sosial dalam ibadah kurban yaitu, Pertama, ketakwaan orang yang berkurban melahirkan sikap tulus memberi. Kedua,  ibadah kurban dapat menjalin ukhuwah Islamiah dan persatuan. Ketiga ibadah kurban mengajarkan umat Islam untuk selalu menegakkan keadilan sosial. []

Editor: IS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar