Kala para jamaah calon haji berangkat untuk wukuf di padang Arafah, mereka laksana rombongan besar yang sedang melakukan persiapan untuk mematikan diri. Seakan-akan semuanya sedang menuju ke Padang Mahsyar, sehingga pakaian ihram yang menempel di badan bak kain kafan yang membalut setiap mayat muslim yang telah wafat.
Perjalanan haji adalah perjalanan penuh simbol yang semuanya berawal atau disempurnakan oleh Nabi Ibrahim as. Tulisan ini mengkaji bermula dari saat Nabi Ibrahim as meninggalkan Siti Hajar di medan padang pasir yang tandus, padahal isterinya tersebut baru saja memberikan buah hati yg ditunggunya berpuluh-puluh tahun. Namun tega-teganya Nabi Ibrahim as meninggalkan Siti Hajar bersama bayi merah buah cintanya.
Konon Siti Hajar sampai berteriak-terik memanggil suami tercintanya yang berlalu begitu saja dengan perasaan heran, takut, dan kebingungan. “Mengapa Engkau meninggalkan kami di tempat yang tidak berpenghuni dan tidak memiliki bahkan air untuk kami minum? Bukankah bayi ini adalah wujud nyata anugerah Allah SWT atas dikabulkannya permohonanmu yang telah menunggu sangat lama? Bukankah dan bukankah … ?” Semua ikhtiar untuk menahan kepergian suami penopang hidup ditumpahkannya. Namun sang suami seakan tidak peduli, dan terus berjalan menjauh.
Sesaat sang isteri tertegun dan kemudian bertanya dalam suara jerit tertahan: “Apakah ini perintah Allah SWT?” Suami tercinta terhenti dan kemudian menoleh mengangguk dengan penuh kesedihan namun tegar khas sikap orang-orang tawakkal dan ikhlas.
Sesungguhnya Nabi Ibrahim as tidak pergi begitu saja. Ia tetap menitipkan doa, sebagaimana terekam di dalam beberapa ayat Al-Qur’an. “Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah/2: 129).
Episode selanjutnya sudah diketahui. Siti Hajar kemudian harus meninggalkan anak bayi seorang diri yang terus menangis entah karena kelaparan entah karena ditinggal pergi. Siti Hajar berlari dan berlari mencari air, namun tak jua ditemukannya. Berjalan dan kemudian berlari mencari air sambil teringat dan kuatir terlalu lama meninggalkan bayinya sendirian. Jangan bayangkan Siti Hajar berlari seperti saat ini jamaah haji bersai karena sai saat ini adalah sai yang diteduhi ruangan ber-ac dan lantai yang dingin. Jangan bayangkan pula bersai hanya meninggalkan keluarga yang sebagian besar tentu berkecukupan untuk ditinggal pergi berhaji. Siti Hajar berlari karena hendak mencari air sambil hatinya dihantui keadaan bayinya yang ditinggal sendiri. Siti Hajar berlari dikejar ancaman hidup-mati untuk dirinya dan terutama bayinya.
Nabi Ibrahim as, Siti Hajar, dan Nabi Ismail adalah orang-orang hebat. Mereka diberi anugerah namun kemudian diuji. Diberi kemudahan kemudian mendapatkan kesulitan yang lebih berat. Diberikan kelapangan kemudian bahkan mendapatkan kesempitan baru dalam bentuk ujian yang tampak tidak semakin ringan. Jika mereka orang-orang baik dan dekat dengan Allah SWT, mengapa mereka harus mengalami hal-hal yang seberat itu? Jangan-jangan justru kerena mereka bukan orang sembarangan, maka mereka mendapatkan itu?
Setelah Ismail beranjak dewasa, anak cerdas, tampan, dan salih ini diberitahu ayahnya bahwa ia hendak dikurbankan oleh ayahnya dengan cara disembelih. Nabi Ibrahim as tidak menyebutkan bahwa itu adalah perintah Allah SWT. Hanya disebutkan bahwa itu adalah mimpi yang dilihatnya kala tidur. Nabi Ibrahim as tidak hendak mengatasnamakan Allah SWT untuk urusan ini agar Ismail tidak merasa tertekan. Ini semata-mata percakapan antara ayah dengan anaknya.
Ismail adalah anak yang cerdas. Ayahnya adalah seorang nabi dan tidak mungkin seorang nabi melakukan sesuatu atas kehendaknya sendiri atau karena bisikan jahat. Karena itu, ia menjawab: ”Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat/37: 102).
Kesabaran bukan hanya milik Ismail sendiri, tetapi juga Nabi Ibrahim as, dan juga Siti Hajar. Karena itulah ayat itu berkata: “termasuk orang-orang yang sabar” (minash shaabiriin). Nabi Ibrahim as dan Siti Hajar begitu sabar menerima perintah kurban dan yang harus dikurbankan adalah buah hati yang sudah lama ditunggu-tunggu kehadirannya.
Namun penekanan Al-Qur’an secara nyata kepada Ismail bukan tanpa alasan. Nabi Ibrahim as sudah merasakan betapa pertolongan Allah SWT selalu datang kepadanya di saat-saat kritis, di saat akal tidak mampu lagi mencerna. Contohnya, ketika Nabi Ibrahim as dilemparkan ke dalam kobaran api oleh Raja Namruz. Adapun Ismail, ia tidak pernah atau belum mengalami pengalaman mukjizat Allah. Memang pernah di masa bayinya mengalami mendapatkan karunia air zam-zam yang berasal dari hentakan kakinya saat menangis, tapi itu adalah masa bayi yang belum mengetahui apa-apa. Jadi, kekuatan hati seorang Ismail adalah catatan penting, termasuk baik sangkanya kepada ayahnya dan juga kepada Allah SWT.
Nabi Ibrahim as sendiri sepertinya tidak pernah membayangkan bahwa perintah untuk menyembelih anaknya adalah kiamat dan akhir dari segalanya. Tidak mungkin Allah SWT memerintahkan dua orang, yaitu Siti Hajar dan Ismail, untuk tinggal di sebuah wilayah yang lalu salah satunya (Ismail) harus mati di usia belia sebelum rencana Allah SWT berwujud nyata di wilayah tersebut. Karena itulah, Nabi Ibrahim as mempunyai cita-cita yang jauh yang tergambar dari doanya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah/2: 126). Ismail adalah bagian dari rencana besar itu dan itu tidak mungkin berarti Ismail berakhir di usia belia.
Rupanya menjadi nabi bukan saja harus salih dan taqwa luar biasa, namun juga harus visioner. Visi itu hanya bisa diwujudkan dengan kesabaran dan keteguhan hati. Salah satu visinya, Nabi Ibrahim as saat itu sudah membayangkan Makkah akan sangat subur, penuh dengan berbagai macam buahan dan dikunjungi oleh penduduk seluruh penjuru bumi. Padahal saat itu mungkin Makkah masih tak berpenghuni dan hanya isteri dan anaknya yang tinggal di sana di padang pasir yang tandus dan kering. Visinya tersusun begitu rupa dalam doa yang dipanjatkan, sehingga Allah SWT hanya mengkoreksi sedikit saja atas doanya Nabi Ibrahim as yaitu bahwa kesejahteraan itu juga milik semua umat manusia tidak peduli dia muslim atau non muslim sekalipun.
Spirit haji di atas menjadi penjelasan mengapa haji begitu penting bagi umat Islam. Sejarah kemerdekaan bangsa kita mencatat, betapa para ulama yang sudah berhaji atau menyelesaikan pendidikan agamanya di Makkah dan Madinah, ketika kembali dari haji menjadi semakin pemberani, dan mereka disatukan dalam gelora kebangsaan yamg menyala-nyala. Sebut saja Haji Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, KH. Oemar Said Tjokroamninoto, dan Soekarno sendiri. Mereka tidak terbendung semangat mempersatukannya. Semangat yang saat ini sepoi-sepoi terdengar atau walaupun terdengar, tak terasa getar kesuciannya dan berkurang rasa keikhlasannya, tak mencerminkan kenegarwananan seperti dicontohkan para founding father dan para ulama dulu.
Saat ini lebih terdengar agama tidak lebih daripada dijadikan politik identitas. Agama dibonsai sekadar alat untuk menggapai kekuasaan, bukan peradaban. Kadang yang lebih mengkhawatirkan, agama bahkan dijadikan simbol-simbol untuk membangkitkan superioritas atas kaum minoritas yang menjadikan negara berada pada risiko terpecah belah. Islam sebagai agama pemersatu telah diperkosa menjadi agama pemecah belah.
Spirit persatuan haji seharusnya menjadi inspirasi bagi siapapun. Bagaimana tidak? Jamaah yang datang dari seluruh penjuru dunia punya mazhab yang berbeda, punya imam yang berbeda, budaya yang berbeda dan hanya disatukan oleh panggilam Ilahi dan semua memulai dengan Labbaik!
Karena itu, meng-Ibrahim-kan diri adalah sebentuk upaya teologis meneladani ketulusan dan keikhlasan Nabi Ibrahim as yang visioner atas keyakinannya pada Allah SWT. Meng-Ismail-kan diri adalah sebuah terobosan historis-milenial tentang figur generasi candradimuka yang berserah diri pada Tuhan-Nya, tanpa kepentingan apapun selain keridhaan-Nya. Sementara itu, Meng-Siti Hajar-kan diri adalah totalitas kesadaran tentang figur agung wanita yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, dan menegaskan bahwa identitas feminitas sesungguhnya mampu berbicara luas dimulai dari kecintaan kepada buah hati namun karena cinta itu berlandaskan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka pengorbanan cinta tersebut berbuah kasih sayang yang dinikmati oleh umat manusia hingga akhir zaman.[]
Editor: AMN