Merdeka dalam Sinar Eksistensialisme
Kemerdekaan sesungguhnya tidak tampak. Yang tampak adalah penindasan. Ketika penindasan hadir, maka bayangan tentang kemerdekaan pun hadir. Dalam hal ini, kemerdekaan sama dengan keadilan yang juga tidak tampak. Ketidakadilan lah yang tampak. Hal lain yang juga tidak tampak adalah normalitas. Ada tetapi tidak tampak. Abnormalitas lah yang tampak. Barangkali ketiganya sama dengan udara. Tidak ada yang tampak dan tidak ada masalah ketika seseorang bisa bernafas dengan baik. Semua biasa-biasa saja sehingga seperti tidak ada apa-apa dan tidak terlihat apa-apa. Namun, ketika seseorang merasa kesulitan bernafas, maka barulah tampak ada sesuatu.
Saat penindasan hadir, maka satu-satunya jalan untuk mengenyahkannya adalah aksi, bukan kontemplasi semata-mata. Kontemplasi tidak akan mengubah kenyataan. Dalam hal ini, sejarah tidak bisa dibiarkan begitu saja terjadi tanpa diubah arahnya kepada yang lebih baik. Karena itu, ada hubungan tak terpisahkan antara aksi, kerja, dan karya. Ketiganya hadir di dalam relasi manusia dengan alam semesta dan dengan manusia lainnya. Hanya dengan ketiganya manusia bisa bereksistensi.
Konsekuensi dari kenyataan di atas ada dua. Pertama, pekik merdeka hanya muncul di dalam penjajahan atau ketertindasan. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, pejuang kemerdekaan hanya lahir dalam ketertindasan, meskipun tidak mesti ketertindasan melahirkan pejuang. Pejuang ini pun dua macam. Ada pejuang yang berjuang untuk menghilangkan penindasan. Ada juga penjuang yang berjuang untuk menikmati keistimewaan yang sebelumnya dinikmati oleh para penindas. Jenis pejuang yang kedua bukanlah pejuang sejati karena targetnya adalah menjadi penindas.[1]
Di antara semua makhluk hanya manusia yang mampu menjadi pejuang kemerdekaan dan, uniknya, juga satu-satunya jenis makhluk yang mampu menjadi penindas. Itu karena ada semacam “karakter suci” pada diri manusia dan manusia juga sesungguhnya adalah “makhluk supranatural”, bukan sekadar makhluk natural. Selain manusia, secara alami bereksistensi. Namun, manusia memiliki hak untuk bereksistensi.[2]
Karena memiliki hak untuk bereksistensi, manusia tidak boleh menerima segala yang terjadi padanya sebagai kenyataan yang alami sebagaimana terjadi pada selain manusia.[3] Penindasan tidak bisa disebut sebagai kenyataan yang harus diterima sebagaimana fenomena alam. Justru yang alami adalah kemerdekaan. Namun tidak sedikit yang terlena dalam hanyut hanya dalam upaya untuk melanjutkan kehidupan sebagaimana kehidupan yang telah dijalani oleh orang tua dan orang tua dari orang tuanya di masa lalu. Untuk itu, pejuang harus mengambil jarak dari realitas yang melingkupinya. Jika tidak, meski berkehendak menjadi pembebas, dia hanya akan terjatuh pada penjajahan lain. Dia hanya tidak menyadarinya.
Diperlukan kasadaran untuk berubah. Kesadaran untuk berubah ini bukan hanya dilakukan oleh individu untuk dirinya tetapi untuk orang banyak. Ada hak Ilahi yang harus menjadi milik semua manusia, bukan hanya untuk satu orang. Jika hanya untuk dirinya, maka seseorang cukup berubah menjadi penindas, maka tidak akan tertindas dan itu berarti dia sudah merdeka. Bukan itu. Di situlah kekeliruan pemikiran yang hanya bicara upaya perebutan dominasi, bukan kemerdekaan sejati.
Jika hanya memperbutkan dominasi, maka yang terjadi hanyalah penggantian penindas oleh penindas lain, bukan hilangnya penindasan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa baik penindas maupun tertindas adalah sama-sama manusia, maka targetnya bukan untuk mengenyahkan manusianya, tetapi untuk menghilangkan penindasan yang mereka lakukan atau untuk menghilangkan hak untuk menindas yang dirasa dimiliki oleh sekelompok orang.[4] Jika itu sudah hilang, maka penindas berubah menjadi manusia biasa yang penuh martabat.
Menerka Merdeka dalam Al-Qur’an
Kisah para nabi di dalam Al-Qur’an adalah kisah para pembebas. Para nabi dari kalangan bangsa Ibrani mengajarkan bahwa ketika masyarakat melupakan Tuhan dan menjadi diri mereka sendiri sebagai pusat segala hal, mereka akan membawa bencana kepada diri mereka sendiri dan komunitasnya.[5] Karena itu, para nabi bukanlah para perenung, tetapi hadir dalam bentuk aksi menentang penindasan. Para nabi mengajak manusia untuk merenungkan kembali relasi antara manusia dengan Tuhan dan dengan manusia lain. Tujuannya ada tiga: 1) menyuarakan kebenaran; 2) melawan kebatilan dan kezaliman; dan 3) membangun masyarakat atas dasar persaudaraan, kebajikan, persamaan sosial, keadilan, dan cinta kasih.[6]
Agama hadir dan para nabi diutus tidak di dalam kesunyian, tetapi di dalam keramaian dan di tengah masyarakat yang sudah sangat kompleks. Para nabi bangsa Ibrani diperkirakan hadir pada abad ke-8 SM. Kala itu, masyarakat sudah terbagi ke dalam kelas-kelas sosial, ekonomi, dan politik di mana yang satu menindas yang lain.[7] Perbudakan adalah konsekuensi dari kehendak para pemilik modal untuk tetap kaya dengan cara tidak memberi upah yang layak kepada pekerjanya. Demi melanggengkan kekayaannya, para pemilik modal berkoneksi dengan para penguasa yang korup.
Nabi Adam as hadir jauh sebelum abad ke-8 SM, tetapi jika beliau diutus di dalam kesunyian, seharusnya tidak perlu meninggalkan surga. Kenyataannya, Nabi Adam as turun dengan sebuah catatan, di dalam QS. Al-Baqarah/2: 36, bahwa akan terjadi permusuhan antara sekelompok manusia dengan sekelompok manusia yang lain karena kepentingan sosial, ekonomi, dan politik.[8] QS. Al-Baqarah/2: 36 hanya deskripsi tentang apa yang akan terjadi, namun QS. Al-Baqarah/2: 38 sudah menjelaskan perlunya hadir seorang pejuang hadir bukan hanya untuk merenungkan bagaimana permusuhan itu bisa terjadi dan menghentikannya, tetapi juga untuk mewujudkan keadilan.[9]
Sebelum kisah Nabi Adam as turun dari surga, Al-Qur’an menyuguhkan kisah tentang penolakan Iblis untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Kisah ini banyak disalahpahami sebagai kisah pembangkangan Iblis tetapi sesungguhnya adalah kisah tentang keangkuhan sebagai hulu segala bentuk penindasan yang nantinya ada di bumi. Secara spesifik bahkan Al-Qur’an menyebutnya sebagai keangkuhan rasial karena Iblis menegaskan bahwa dia lebih baik dari Adam karena asal penciptaanya mereka yang berbeda.[10]
Kata habataha dikenakan kepada Nabi Adam as sebagai perintah untuk turun ke bumi dan kata yang sama juga dikenakan kepada Iblis saat Allah SWT mengusirnya dari surga. Jadi, layak dipahami bahwa Iblis pun turun ke bumi, tempat di mana Adam berada. Allah SWT telah mengusir Iblis dari surga akibat keangkuhannya. Karena itu sebagai khalîfah (pengganti Allah SWT untuk memakmurkan bumi), tugas Nabi Adam as sebagai nabi adalah menjadikan bumi sebagai surga dengan cara mengenyahkan keangkuhan dari muka bumi. Segala keangkuhan di bumi adalah representasi keangkuhan Iblis yang berdampak langsung kepada penindasan dan penjajahan.
Sebuah penjajahan dan penindasan hadir minimal akibat kekeliruan dalam dua hal. Pertama, sikap mental berupa keangkuhan; dan kedua, sikap kognitif berupa kekeliruan dalam memahami relasi segitiga antara Tuhan-manusia-alam. Keangkuhan sudah dibahas dan yang belum adalah relasi segitiga antara Tuhan-manusia-alam. Karena yang menjadi penindas yang menjadi pejuang untuk melawan penindasan adalah manusia, maka upaya para nabi untuk melawan penindasan berawal dari tinjauan ulang terhadap relasi manusia dengan alam dan relasi manusia dengan Tuhan.
Dalam hal relasi manusia dengan alam dan relasi manusia dengan Tuhan, dakwah Nabi Muhammad Saw di Makkah adalah contoh yang menarik. Umumnya dipahami bawah dakwah Nabi di Makkah mendapatkan penentangan karena masyarakat Makkah menolak konsep Tawhîd yang ditawarkan oleh Nabi. Namun, banyak data yang menyebutkan bahwa masyarakat Makkah sesungguhnya tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh kepada agama, termasuk teologi. Memang ada banyak berhala di sekitar Ka’bah tetapi bukan bikinan masyarakat Makkah, melainkan dibawa oleh masyarakat petani dari Syiria.[11] Bagi masyarakat Makkah, ada yang jauh lebih penting bagi mereka dibanding agama, yaitu humanisme kesukuan. Mereka bahkan bukanlah penyembah berhala yang taat. Al-Qur’an sendiri mencatat bahwa mereka tidak asing dengan konsep Tawhîd dan bahkan mengakui Allah SWT, tetapi bukan berarti mereka mengakui Islam.[12]
Jadi, konsentrasi dakwah Nabi Muhammad Saw di Makkah bukan relasi manusia dengan Tuhan, tetapi justru relasi manusia dengan alam, dalam hal ini manusia. Penolakan masyarakat Makkah terhadap dakwah Nabi bukan penolakan kepada konsep Tawhîd-nya tetapi sesuatu yang lain, yaitu Nabi Muhammad Saw menyerang sistem sosial dan ekonomi masyarakat Makkah yang menindas yang lemah.
Memang ada catatan di mana masyarakat Makkah tidak mau menerima ajaran tentang kebangkitan setelah kematian, sebagaimana terekam di dalam QS. Yasin/36: 78,[13] namun itu hanyalah konsekuensi dari upaya mereka melanggengkan penindasan di dunia yang oleh Nabi Muhammad Saw disebutkan akan mendapatkan siksaan di akhirat. Penolakan terhadap dakwah Nabi lebih karena alasan sosial-ekonomi, yaitu kekhawatiran kehilangan dominasi, daripada penolakan terhadap konsep Ketuhanan. Dalam hal ini, perumpamaan keangkuhan Iblis lah yang berlaku. Ketegaan untuk menindas hanya muncul kala ada keangkuhan bahwa sekelompok manusia layak ditindas karena mereka memang adalah kelopok rendahan.
Sejalan dengan di atas, tidak sedikit ayat yang turun di Makkah sesungguhnya adalah kritik sosial-ekonomi daripada kritik teologi. Contoh yang paling telanjang adalah QS. Al-Ma’un/107: 1-7. Di dalam surah itu disebutkan tentang pendusta agama, tetapi tidak satupun indikatornya adalah penolakan terhadap Tawhîd. Justru indikatornya adalah keenganan memberikan bantuan kepada mereka yang lemah. Bahkan surah itu melancarkan kritik kepada orang beragama (al-mushallîn) yang juga enggan memberikan bantuan.
Relasi manusia dengan Tuhan tidak menjadi kritik oleh Nabi terhadap masyarakat Makkah tetapi lebih sebagai solusi. Keangkuhan dan penindasan harus dihilangkan karena tidak memiliki landasan yang kokoh. Derajat sesama manusia dan derajat manusia dengan alam tidak ada yang lebih tinggi. Satu-satunya yang lebih tinggi dari semua adalah Tuhan. Kalaupun harus ada penindasan dan keangkuhan, maka satu-satunya yang berhak melakukan hanya Tuhan, bukan manusia.
Ada semacam hak Ilahi yang diterima oleh manusia sehingga mempunyai potensi untuk menindas. Alam tidak memiliki hak semacam itu sehingga tidak mungkin melakukan penindasan. Memang ada ungkapan di masa kini di tengah banyaknya bencana alam yang dianggap terjadi akibat ulah manusia bahwa alam menjadi marah. Namun, itu hanya kiasan karena alam tidak bisa benar-benar marah dan membalas dendam atas perlakuan manusia terhadapnya. Alam sebelumnya sudah menolak untuk menjadi seperti manusia, sebagaimana disebutkan di dalam QS. Al-Ahzab/33: 72. Menjadi penindas hanya ditanggung oleh manusia sekaligus menjadi pejuang untuk melawan penindasan.[14]
Bahan Bacaan
Engineer, Asghar Ali, Asal-Usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Haque, Ziaul, Revolusi Islam: Di Bawah Bendera Laailaahaillallaah, Jakarta: Darul Falah, 2000.
Perry, Marvin, Peradaban Barat: Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012.
Sartre, Jean-Paul, “Sang Revolusioner”, dalam Baskara T. Wardaya, Pembebasan Manusia: Sebuah Refleksi Multidimensional, Yogyakarta: Buku Baik, 2004.
Editor: AMN
[1] Jean-Paul Sartre, “Sang Revolusioner”, dalam Baskara T. Wardaya, Pembebasan Manusia: Sebuah Refleksi Multidimensional, Yogyakarta: Buku Baik, 2004, h.242-244.
[2] Jean-Paul Sartre, “Sang Revolusioner”, h.252.
[3] Jean-Paul Sartre, “Sang Revolusioner”, h.252-253. Sartre mencontohkan kata “pribumi” yang sesungguhnya adalah istilah yang diciptakan oleh penjajah untuk jajahannya. Penjajah menyemai pemahaman bahwa menjadi pribumi adalah sesuatu yang alami sehingga tidak perlu diubah. Eksistensi pribumi adalah eksistensi yang diciptakan oleh penjajah dan pribumi tidak berhak memilih untuk bereksistensi atau menciptakan eksistensinya sendiri. Ketika di masa belakangan kata pribumi dijadikan simbol perjuangan untuk melawan dominasi, maka bisa berarti dua hal: pertama, jika diartikan sebagai upaya untuk merebut dominasi dan berarti tetap ada penindasan namun berganti penindas, maka itu bukan perjuangan sejati karena yang sejati adalah yang kedua, jika diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan penindasan itu sendiri.
[4] Jean-Paul Sartre, “Sang Revolusioner”, h.257.
[5] Marvin Perry, Peradaban Barat: Dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2012, h.46-47.
[6] Ziaul Haque, Revolusi Islam: Di Bawah Bendera Laailaahaillallaah, Jakarta: Darul Falah, 2000, h.35.
[7] Marvin Perry, Peradaban Barat, h. 47.
[8] QS. Al-Baqarah/2: 36: Lalu, setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya dikeluarkan dari segala kenikmatan ketika keduanya ada di sana (surga). Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”
[9] QS. Al-Baqarah/2: 38: Kami berfirman, Turunlah kamu semua dari surga! Lalu, jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati.”
[10] QS. Al-A’raf/7: 206: Dia (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”
[11] Asghar Ali Engineer, Asal-Usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosial-Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, h.67.
[12] QS. Luqman/31: 25: Sungguh, jika engkau (Nabi Muhammad) bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” pasti mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,” tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
[13] QS. Yasin/36: 78: Dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal penciptaannya. Dia berkata, “Siapakah yang bisa menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?”
[14] QS. Al-Ahzab/33: 72: Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.