Saat berbicara tentang dakwah, maka yang terbayang adalah sebuah pekerjaan sepesifik yang barangakali melibatkan suara, mikrofon, dan mimbar. Belakangan, bayangan seperti itu sudah mulai agak berubah. Dakwah sudah melibatkan tulisan, tetapi tetap saja masih dibayang-bayangi dengan suara, mikrofon, dan mimbar. Jadinya, tulisan tidak lebih dari sekadar menuliskan apa yang disuarakan lewat mikrofon dan mimbar.
Bayangan tentang dakwah seperti di atas tentu saja tidak keliru, tetapi parsial. Tidak komprehensif. Terutama jika yang dirujuk adalah seorang Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut tergambar di dalam ayat yang sering disebut sebagai ayat dakwah, yaitu QS. an-Nahl/16: 125: Ud’u ilaa sabiili Rabbika bil hikmati wal maw’uzhatil hasanati wa jaadilhum bil latii hiya ahsan. Inna Rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilih wa huwa a’lamu bil muhtadiin. Artinya: Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.
QS. an-Nahl/16: 125 tidak sedang berbicara tentang Nabi Muhammad Saw sebagai dai, tetapi Nabi Muhammad Saw sebagai manusia. Karena QS. an-Nahl/16: 125 dimulai dengan kata ud’u yang berarti ajaklah, maka seluruh kehidupan Nabi Muhammad Saw adalah dakwah. Kalaupun ada dakwah yang bisa dipahami hanya berkaitan dengan suara, mikrofon, dan mimbar, maka itu lebih berkaitan dengan kata jaadilhum dalam QS. an-Nahl/16: 125 itu, yang berarti debatlah mereka. Bahkan, kata maw’izhah hasanah (nasihat yang baik) juga tidak murni berarti berbicara karena banyak hal yang merupakan nasihat dan itu bukan suara. Bukankah kematian adalah nasihat? Apakah kematian bersuara? Tidak.
Konsekuensi QS. an-Nahl/16: 125 berbicara kepada Nabi Muhammad Saw sebagai manusia secara utuh ada dua, yaitu, pertama, Islam itu sendiri adalah agama yang mengajak (da’wah); dan kedua, Muslim adalah penganut yang mengajak (daa’ii). Namun, harus diingat bahwa mengajak dalam hal ini bukanlah spesifik berkaitan dengan suara, mikrofon, dan mimbar, tetapi keseluruhan kehidupan adalah ajakan kepada kebaikan.
Islam sebagai agama sudah pasti mengajak kepada kebaikan, tetapi apakah Muslim juga mengajak kepada kabaikan? Itu adalah problem berbeda. Apakah Muslim juga mengajak kepada kebaikan dengan cara yang baik? Itu juga adalah problem berbeda. Idealnya, tidak ada beda antara Islam dengan Muslim, tetapi itu hanya terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw semata.
Apapun dan siapapun seorang Muslim, maka dia adalah dai dalam keseluruhan kehidupannya. Sejak syahadat diikrarkan, sejak itu pula seseorang menjadi dai yang harus menjadi contoh baik bagi siapapun di muka bumi ini. Contoh baik yang dimaksud digambarkan di dalam Al-Qur`an dengan minimal tiga ayat:
- QS. al-Ahzab/33: 21: Laqad kaana lakum fii Rasuulil Laahi uswatun hasanatun liman kaana yarjul Laaha wal yawmal aakhirati wa dzakaral Laaha katsiiraa.
- QS. al-Anbiya/21: 107: Wa maa arsalnaaka ilaa rahmatan lil ‘aalamiin
- QS. al-Qalam/68: 4: Wa innaka la ‘alaa khuluqin ‘azhiim.
Terutama QS. al-Qalam/68: 4 karena dakwah Nabi Muhammad Saw terangkum di situ. Akhlak adalah keseluruhan kemanusiaan dan kehidupan Nabi Muhammad Saw, bahkan hingga diamnya pun. Dengan seperti itulah Islam menyebar dengan tetap menjaga nama baiknya sendiri. Karenanya, dakwah yang paling efektif dan paling utama adalah akhlak mulia, bukan suara, mikrofon, dan mimbar.
Dakwah dengan akhlak mulia memang ideal, tetapi hanya bisa dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sendiri. Ummatnya tidak ada yang mampu menyamainya. Meski demikian, dakwah tetap harus dilaksanakan dengan segala kekurangannya. Karena itu, yang perlu disadari oleh siapapun Muslim adalah kelemahan mereka sendiri sebagai manusia. Tidak akan menjadi dakwah yang efektif jika seseorang atua sekelompok orang berdakwah dengan seakan-akan tidak ada lagi kebenaran di luar sana selain dirinya.[]
Editor: AMN
1 Komentar