Pembebasan Perempuan dari Lingkaran Ekstrimisme Berkedok Jihad: Studi Komparatif Penafsiran Timur Tengah dan Nusantara

Paham radikalisme sudah mulai menghipnotis kalangan perempuan untuk turut serta dalam aksinya. Pada tahun 2022, Kepala BNPT menyebutkan bahwa 10 tahun terakhir ini telah terjadi pergeseran peran perempuan dalam lingkaran ektrimisme, yang berawal dari pendukung menjadi pelaku (www.bnpt.go.id). Sungguh paradoks, perempuan yang dicitrakan lemah dan tidak berdaya sehingga seringkali menjadi sasaran domestikasi, nyatanya lebih berani menjadi aktor dari aksi teror (Mulia,https://muslimahreformis.org).

Ada beragam faktor yang menyebabkan perempuan masuk kepada ekstrimisme, diantaranya faktor agama, ideologis, tekanan kelompok/orang terdekat, politik, ekonomi, kepribadian, dan lain-lain. Dari keseluruhannya yang mendominasi adalah faktor agama dan ideologis. Terdapat kekeliruan dalam memahami agama yang bersifat teologis sehingga memotivasi perempuan mengikuti arus ekstrimisme. Kekeliruan sering dialamatkan kepada pemaknaan jihad, utamanya ekstrimisme yang memasang wajah jihad. Semangat keagamaan yang tidak diperturut dengan keilmuan yang holistik menjadi alur paling logis dari keterjurumusan ini. Karenanya, pembacaan ulang terhadap kata jihad dalam Al-Qur’an menjadi sangat penting, selanjutnya dilakukan agar dapat membebaskan perempuan dari paham radikalisme.

Jihad dalam Al-Qur’an

Secara Etimologi, kata jihād yang huruf ja-nya dibaca kasrah, merupakan isim madar dari fi’il tsulâśȋ mazȋd jâhada yang berarti memerangi (al-’Arabiah, 2011: 147). Dalam Lisān al-’Arab diartikanmemerangi musuh (Ibn Mandzur: 710). Jika kata jâhada dilihat dari fi’il tsulâtsi mujarrad-nya yaitu jahada, maka kata jahada memiliki arti bersungguh-sungguh, mencari hingga mencapai tujuan (Ibn Manzur: 709).

Secara terminologi, al-Jurjani mengartikan jihad dengan seruan kepada agama yang benar (al-Jurjani, 1405 H: 107), dan al-Asqalani membaginya menjadi dua; dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit bermakna kesungguhan memerangi orang kafir, dan dalam arti luas bermakna kesungguhan memerangi diri sendiri, godaan setan, dan kefasikan. Jihad memerangi orang kafir itu dengan tangan, harta, ucapan, dan hati, jihad memerangi diri sendiri dengan mempelajari agama kemudian mengamalkannya, jihad melawan setan dengan menjauhi perkara yang syubhat dan penuh syahwat, dan jihad melawan kefasikan yaitu dengan tangan, ucapan, dan hati (Al-Atsqalani, 1379 H: 3).

Dalam Al-Qur’an, ayat yang bertemakan jihad ditemukan sekitar 32 ayat, baik dalam Sighah fi’il mâdhi; 2:218, 3:95, 8:72,74,75, 9:16,19,20,88, 16:110, 29:6,8,69, 31:15, 49:15, fi’il mudhâri’; 5:54,9:44,81, 61:11 fi’il amr; 5:35, 9:41,73,86, 22:78, 25:52, 66:9, isim mashdar; 9:24, 22:78, 25:52,60:1, dan isim fâ’il; 4:95, 47:31. Dari beberapa ayat di atas, penulis hanya mengambil beberapa  ayat untuk dilihat penafsirannya dalam beberapa penafsiran Timur Tengah dan Nusantara.

Jihad dalam Penafsiran Timur Tengah

Timur Tengah yang dimaksud adalah suatu kawasan yang membentang sekitar pantai selatan dan timur Laut Mediterania, mencakup jazirah Arab, Iran, Afrika Utara (www.britannica.com). Dapat disimpulkan bahwa perkembangan ragam pemikiran tafsir Timur Tengah bertalian dengan sejarah lahirnya pemikiran tafsir itu sendiri yaitu Jazirah Arab yang dimulai pada masa Nabi, masa sahabat, masa tabiin dan seterusnya hingga masa kontemporer.

Mustaqim mengelompokkan madzâhib al-tafsȋr menjadi 3 periode; Pertama, periode klasik (abad 1—2 H/6—7 M). Kedua, periode Pertengahan, (abad 3—9H/9—15 M). Ketiga, periode Modern-Kontemporer (abad 12 H/18 M—sekarang (Mustaqim, 2016: 39­—165). Penulis membatasi hanya mengambil satu penafsiran dari  setiap era; klasik-pertengahan dan modern/kontemporer untuk mewakilkan secara keseluruhan di era tersebut. Dikarenakan pada era klasik belum terjadi pengkodifikasian tafsir, maka untuk melihatnya, tidaklah lepas dari era pertengahan awal yang dikenal dengan masa kodifikasi dengan karakter penafsiran bil ma’tsûr.

Untuk penafsiran era klasik, penulis mengambil penafsiran Ibn Abbas yang dikodifikasi oleh al-Fairuzabadi bada abad 7 H (era pertengahan) dalam kitab Tanwīrul Miqbās min Tafsīr Ibn Abbās. Untuk era pertengahan, penulis mengambil penafsiran al-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasyāf ‘an Haqāiq Al-Qur’ān. Dan untuk era modern-kontemporer, penulis mengambil penafsiran Sayyid Quṭb dalam tafsirnya fī Zilāl Al-Qur’ān.

Pertama, Q.S. 25: 52 pada redaksi (جِهَادًا كَبِيْرًا) ditafsirkan oleh Ibn Abbas sebagai “jihad dengan pedang”, sementara al-Zamakhsyari mengomentarinya dengan “kegigihan dan keuletan” dan Qutb memahaminya dengan “memerangi dengan kekuatan al-Qur’an”. Kedua, Q.S. 29: 6 pada redaksi (وَمَنْ جَاهَدَ) dimaknai oleh Ibn Abbas dengan “jihad di jalan Allah ketika perang”, lalu oleh al-Zamkhsyari dimaknai dengan “jihad melawan hawa nafsu” dan Qutb memaknaninya dengan “bersungguh-sungguh menghadapi ujian”.

Ketiga, Q.S. 66: 9 (جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنٰفِقِيْنَ) dikomentari oleh Ibn Abbas dengan “jihad terhadap orang kafir adalah dengan pedang dan jihad terhadap orang  munafik adalah dengan memperingatinya”, kemudian oleh al-Zamakhsyari dimaknai dengan “jihad terhadap orang kafir adalah dengan pedang dan jihad terhadap orang  munafik adalah dengan argumentasi” dan oleh Qutb dipahami sebagai “sikap keras terhadap keduanya,  karena keduanya sama-sama dapat mengancam Islam”. Keempat, Q.S. 4: 95 pada redaksi (وَالْمُجٰهِدُوْنَ) dimaknai oleh Ibn Abbas dengan “berperang” dan diamini oleh al-Zamakhsyari dengan narasi yang sama, sedangkan Qutb menafsirinya dengan “berhijrah”.

Dari penafsiran di atas, kata jihad memiliki beragam makna yaitu berperang, bersungguh-sungguh, kegigihan, keuletan, melawan hawa nafsu, dan berhijrah. Hanya Ibnu Abbas yang mengartikan berperang. Penafsiran Ibnu Abbas tentu terpengaruhi oleh kondisi saat ia tumbuh remaja. Ia hijrah ke Madinah ketika berusia 11 tahun, dan berusia 13 tahun saat Rasulullah wafat (Al-Dzahabi, 2005: 50).

Dalam rentang waktu tersebut, telah terjadi perang tabuk pada tahun 9 H (Jabar:74). Sangat wajar ketika Ibnu Abbas menafsirkan demikian dikarenakan gencarnya penolakan dan perlawanan dari orang kafir terhadap dakwah Nabi SAW bahkan mereka berupaya membunuh Nabi, dan membela Islam yang paling tepat adalah mengangkat senjata. Sedangkan di era pertengahan hingga kontemporer, penafsiran kata jihad sudah mulai bervariasi, tentunya dikarenakan kondisi sosial yang berbeda dengan era klasik.

Al-Zamaksyari menafsirkan ayat jihad disini dengan kesungguh-sungguhan, keuletan, dan kegigihan. walaupun ada penafsirannya dengan perang namun hanya beberapa ayat, dan kebanyakannya tidak diartikan dengan perang. Tentunya penafsiran seperti itu tidaklah lepas dari kondisi sosial saat al-Zamakhsyari hidup, yang mana pergulatan yang terjadi adalah pergulatan ideologi antar umat Islam seperti muktazilah dan asy’ariyah, bukan peperangan antara umat Islam berhadapan dengan orang kafir.

Begitupun dengan Quṭb, kata jihad dalam ayat di atas jauh dari indikasi peperangan. Ia menafsirkannya dengan kesungguh-sungguhan dan berhijrah. Jika dilihat dari kondisi sosial saat itu, ia tidaklah hidup di masa perang seperti Ibn Abbas, meskipun saat itu sedang terjadi kudeta di Mesir namun tidak sampai terjadi peperangan.

Jihad dalam Penafsiran Nusantara

Nusantara yang dimaksudkan adalah Indonesia, yaitu tafsir yang memiliki karakteristik atau kekhasan lokal Indonesia, seperti mufasir asli Indonesia dan dinarasikan menggunakan bahasa lokal Indonesia (Abror, 2002:191). Gusmian melakukan periodisasi khazanah tafsir Indonesia dengan membaginya dalam tiga periode; Periode pertama, Permulaan abad ke-20 hingga tahun 1960-an. Periode kedua, Tahun 1970-an hingga 1980-an. Periode ketiga, Tahun 1990-an hingga sekarang (Gusmian, 2013: 59—64).

Penulis membatasi hanya mengambil satu penafsiran setiap periode guna merepresentasi secara keseluruhan penafsiran Nusantara. Pada periode pertama peneliti tidak mengambil sampel tafsir dikarenakan minimnya penafsiran utuh 30 juz. Periode kedua penulis mengambil Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka, dan mengambil Tafsir Al Misbah karya Quraish Shihab untuk periode ketiga.

Pertama, Q.S. 9: 24 pada redaksi (وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ) dikomentari oleh Buya Hamka dengan “berjuang meninggalkan segala kenikmatan”, sementara Quraish Shihab memaknainya dengan “berjuang meninggalkan kenikmatan duniawi”. Kedua, Q.S. 22: 78 pada redaksi (وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ) oleh Buya Hamka dimaknai dengan “bekerja keras dalam bertakwa Allah” dan Quraish Shihab menafsirinya dengan “mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk beribadah kepada Allah”. Terakhir, Q.S. 25: 52 pada redaksi (وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا) dipahami oleh Buya Hamka sebagai “jihad dengan al-Qur’an” dan dengan narasi yang mirip dikomentari oleh Quraish Shihab dengan “jihad dengan cara menjelaskan hakikat ajaran al-Qur’an”.

Dari penafsiran di atas, kata jihad memiliki makna meninggalkan kenikmatan duniawi, bekerja keras dalam taat kepada Allah, dan berjuang mengajarkan Al-Qur`an. Baik Hamka maupun Shihab, keduanya sama sekali tidak mengartikannya dengan berperang. Dilihat dari hasil penafsiran Timur Tengah dan Nusantara, kebanyakan mufasir tidak memaknainya dengan berperang kecuali Ibnu Abbas.

Hal ini dikarenakan kondisi sosial Ibnu Abbas adalah banyaknya peperangan dengan artian defensive, yaitu dilakukan dalam rangka mempertahankan agama Islam dari ancaman musuh. berbeda dengan kelompok radikalisme yang memahami jihad dengan berperang dalam artian ofensif, yaitu tidak membedakan target serangan baik sipil maupun militer membela dari serangan. Maka, pemahaman kata jihad dengan berperang yang ofensif merupakan pemahaman yang sangat keliru. Kesalahpahaman ini tidak hanya meliputi pemikiran laki-laki, namun kaum rentan seperti perempuan dan anak-anak, yang seharusnya menjadi kelompok yang dilindungi dari segala aksi kekerasan, malah dilibatkan dalam aksi tersebut. Perempuan yang dinilai memiliki semangat beragama yang tinggi, menjadi sasaran empuk untuk terlibat dalam lingkaran ekstrimis. Jika perempuan memiliki semangat keagamaan yang tinggi, maka perempuan harus bisa juga menjadi agen penyebar kedamaian dan persatuan. Utamanya, dalam ranah keluarga. Perempuan sebagai pemangku penting pendidikan bagi keluarganya dapat menanamkan nilai-nilai Islam yang rahmah, dan nirkekerasan. Alhasil, keluarga akan menjadi counter pertama dari pengaruh ekstrimisme, dan kemudian menjadi penguat perdamaian di negeri kita Indonesia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *