Adagium “Media Digital Memiliki Dampak Positif dan Negatif” diamini oleh banyak kalangan. Jelas, di satu sisi media digital menawarkan segala sesuatu yang sangat mudah diraih hanya dengan modal ‘klik’ saja. Di sisi lain tanpa dibarengi dalam ber-‘literasi digital’ maka hanya akan menemukan kejenuhan (untuk tidak menganggapnya sebagai kesia-siaan belaka dan nihil dari kata ‘mengambil manfaat dari media digital’).
Seiring kemajuan teknologi, media digital kini menjadi kontestasi bagi portal online dalam menyuguhkan narasi-narasi dan arah-tujuan dari pelbagai media yang ada. Kemajuan yang terjadi justru memantik inspirasi untuk mengembangkan berbagai digitalisasi dalam dunia keagamaan khususnya keislaman. Mengapa? Sebab, konten agama menjadi hal yang cukup menarik, serius, dan eksis bagi mereka khususnya kaum milenial yang masih digandrungi mabuk agama (baca:hijrah).
Jika melihat hasil survey yang telah dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islamdan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditemukan bahwa salah satu faktor ‘keberagamaan’ seseorang didorong karena pengetahuan agama yang didapatkan melalui internet. Hasil lainnya juga menunjukkan bahwa 54,87 % Gen-Z mencari informasi keagamaan melalui situs website, youtube, dan variasi media sosial lainnya.
Data yang didapat dari Lakpesdam PBNU juga mengatakan bahwa 81% pengguna Internet di Indonesia menggali informasi keagamaan melalui media digital. Itu artinya ketertarikan seseorang untuk memahami konten keagamaan melalui media digital begitu tinggi.
Namun semangat dalam beragama kadang menjadi pemantik bagi oknum yang senang memanfaatkan ruang yang ada untuk menyebarkan isu-isu tendensional-fundamental. Bahkan jika mau menilik aktivitas di media sosial, ada beragam oknum yang memiliki kepentingan ideologis untuk memperluas jaringan radikalisme berkedok agama melalui media digital. Motivasi mereka yakni menjadikan media sosial sebagai wahana dakwah untuk mempermudah menggiring opini publik.
Lebih jauh lagi jika meminjam istilah dari Gabriel Weiman oknum teroris kerap menjadikan media digital sebagai alat propaganda untuk memperoleh rekrutmen serta menebarkan isu radikalisasi, sebab target yang dituju adalah gen-z yang mayoritas kehidupannya tidak pernah lepas dari dan segala hal yang melingkupinya. (Mabrur, 2020).
Radikalisme Atas Nama Agama
Radikalisme yang mengusung tema atas nama agama memang menjadi polemik yang tak kunjung menemukan titik temu. Paham yang menginginkan perubahan secara drastis terhadap sistem sosial dan politik melalui cara yang keras, untuk tidak menyebutnya “ekstrem” ini terus menggencarkan aksinya agar doktrin dan jaringan yang mereka miliki dapat diterima oleh seluruh elemen masyarakat.
Munculnya radikalisme agama mulanya berangkat dari respon atas modernitas. Hal itu terjadi karena radikalisme agama lahir akibat patologi modernitas sehingga modernitas dinilai telah memarginalisasikan aspirasi keagamaan. Lebih lanjut lagi hal tersebut berdampak tercerabutnya masyarakat dari identitasnya (Zamzamy, 2019).
Pada mulanya radikalisme merupakan sebuah aliran yang kemudian berevolusi menjadi gerakan yang mengusung jargon keagamaan, seperti jihad, syahid, khilafah/ Islamic state (negara Islam)” (Ulya, 2016). Bahkan atribut atau jargon Islam tersebut kerap dipertontonkan oleh ormas jaringan tertentu yang menyatakan tindakan mereka adalah bagian dari ibadah (Susanto, 2018).
Radikalisme yang ditawarkan melalui media, menyublim dalam variatif bentuk. Ada yang menjelma dalam konten yang mengusung tema keagamaan. Alih-alih mengandung konten Islami, justru konten tersebut menarasikan ajaran agama yang bersifat fanatisme, provoaktif, ujaran kebencian, cybercrime, berita bohong, dan isu-isu yang luput dari substansi perdamaian (Abraham et al., 2022).
Pesan-pesan yang bermuatan radikalisme juga kerap dijumpai dalam situs online ataupun media sosial. Maka betapa sangat mengerikan jika media digital saat ini dipenuh-sesaki oleh konten-konten yang berbau SARA. Tentu hal demikian menjadi tantangan tersendiri bagi pengguna media agar waspada dalam berselancar di dunia maya.
Transformasi Tafsir di Era Digital
Sejalan dengan ambisi oknum Radikal untuk memperluas jaringannya melalui media sebenarnya tiap individu memiliki peran yang cukup signifikan. Hal ini bisa dimulai dengan upaya membuat konten-konten positif kemudian membagikannya kepada Teman-teman sehingga secara tidak langsung akan berdampak pada pengurangan konten radikalisme di media sosial (Moshinsky, 1959).
Salah satu upaya dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme adalah dengan meningkatkan literasi keagamaan. Literasi bisa diartikan dengan kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi melalui membaca, menulis, dan menyimak sesuatu. Hal yang cukup menarik saat ini adalah—literasi keagaamaan bisa diakses melalui situs website yang menyediakan konten-konten keagamaan, salah satunya tafsir al-Qur’an di era digital.
Menilik perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia, kini tafsir al-Qur’an telah bertransformasi dalam bentuk digital. Salah satunya dalam bentuk tafsir di portal website atau web-tafsir. Dalam portal website ada beragam fitur dan pilihan yang dominan menghiasi. Hal ini dapat dibuktikan, jika kita mau melihat portal website yang telah ada misalnya ibihtafsir.id, tafsiralquran.id, studitafsir.com, tanwir.com dan lain semisalnya.
Hadirnya tafsir era digital berbentuk website memberi warna baru dalam merespon pergeseran zaman serta menemukan relevansi dengan isu-isu keagamaan yang ada (Mubarok & Romdhoni, 2021). Lebih jauh lagi dengan hadirnya tafsir di media digital memberikan pandangan baru dan harapan baru bagi keberlangsungan masa depan generasi muda. Sebab semakin banyak konten-konten yang bernuansa positif memenuhi ruang-ruang digital maka akan semakin sempit sisa ruang bagi mereka yang memiliki planning untuk memecah belah bangsa Indonesia.
Signifikansi Tafsir al-Qur’an di Website/Web-Tafsir
Transformasi tafsir era digital sejatinya dapat diaplikasikan dalam ragam bentuk selain yang telah disebutkan di atas. Misalnya tafsir yang bisa diakses melalui youtube (platform audio-visual). Youtube menawarkan jangkauan yang mudah diakses oleh audiens dan khalayak yang lebih luas, serta menjadikan tafsir memiliki nilai lebih eksis tersendiri (Zahra, 2019).
Tafsir era digital dalam bentuk tulisan yang ditampilkan di portal digital memiliki signifikansi dalam penanggulangan radikalisme. Bagaimana hal itu terjadi? Hal ini bisa dijawab dengan alasan bahwa dengan adanya tafsir digital yang menawarkan konten keIslaman menjadikan para generasi milenial ‘melek literasi’ keagamaan.
Selain itu, generasi milenial juga memiliki peluang sebagai kontributor dalam menuangkan opini, menyuarakan pemikiran, pembacaan, paradigma baru dalam memahami kandungan yang ada pada al-Qur’an. Itu artinya, kehidupan generasi milenial di media digital tidak hanya dilambangkan dengan scroll gadget tanpa arah dan tujuan.
Adanya tafsir di era digital yang dikemas dalam bentuk website juga berpeluang untuk menularkan habitus yang baik bagi komunitas digital. Dengan membagikan/ sharing tautan konten yang didapatkan dari sumber tafsir website, akan memantik ketertarikan komunitas atau jejaring di media sosial untuk ikut membaca. Lebih jauh lagi, hal tersebut akan menambah semangat kebersamaan dalam berliterasi.
Maka kehadiran website, portal keagaaman dan situs yang mengangkat nilai-nilai keislamaan berbasis dan tafsirnya akan membawa angin segar bagi keberlangsungan dalam memandang isu keagaaman dengan mental dan nurani yang jernih. Dengan hadirnya konten positif melalui tafsir era digital berpeluang besar sebagai solusi dalam menangkal isu radikalisme.
Kendati maraknya oknum yang memiliki kepentingan ideologi untuk menyebarkan isu radikalisme, namun sejatinya generasi milenial memiliki peran penting dalam menyeimbanginya. Salah satu upaya pencegahan radikalisme adalah dengan meningkatkan literasi dalam bermedia sosial serta menghiasi ruang-ruang digital dengan konten positif, seperti halnya menjadi kontributor dalam menyuarakan opini yang menuangkan pemikiran berbasis literasi.
Keberadaan situs/ website tafsir al-Qur’an, memberi kesempatan generasi milenial untuk tidak hanya menjadi konsumen, namun juga kontributor. Mereka tidak hanya bisa membaca dan menikmati konten-konten yang dihadirkan, tapi juga berkesempatan menyumbangkan wawasan dan memberikan edukasi kepada khalayak. Langkah ini kedepannya berpotensi meningkatkan literasi keagamaan yang sekaligus menjadi langkah paling ampun dalam menahan gejolak penyebaran paham radikalisme.