Dilema Religiusitas Penghafal Quran di Tengah Pusaran Radikalisme Agama

Radikalisme agama di Indonesia seperti bom waktu. Ia meledak pasca-Reformasi 1998. Selama Orde Baru, paham tersebut tertekan oleh kebijakan-kebijakan politik yang otoriter. Nyaris tidak punya tempat dan suara. Namun kini, paham radikalisme seperti burung yang terbebas dari sangkar karena demokrasi sistem pemerintahan yang basis kedaulatannya adalah hak setiap individu: rakyat.

Paham radikalisme menyulap Indonesia, yang sangat multikultural, berubah menjadi sarang teror dan intoleransi. Setelah reformasi, ia hadir dengan berbagai bentuk, salah satunya menyusup di balik para penghafal Quran. Mengapa paham ini berkelit kelindan dengan para penghafal Quran sebagai gawang terakhir Islam yang diyakini sangat mulia dan agung karena hafal seluruh ayat-ayat Quran?

Bacaan Lainnya

Sebelum menjawab pertanyaan berat di atas, patut digaris bawahi bahwa radikalisme bukanlah paham yang biasa-biasa saja. Karena ia adalah paham yang sangat berbahaya bagi persatuan, kerukunan beragama, dan nasionalisme. Radikalisme yang biasanya bersanding mesra dengan fundamentalisme berarti paham atau gerakan yang menginginkan pembaharuan, dengan mengembalikan ke “akar” atau dasar ajaran secara ekstrim. Biasanya dilakukan dengan segala cara untuk mencapai apa yang diyakininya (Asrori, 2015: 255).

Di sisi lain, tulisan ini mengabaikan definisi epistemologis terkait radikalisme yang beragam yang bisa terjadi pada semua ideologi dan agama. Melainkan memfokuskan pada kenyataan, bahwa radikalisme agama yang terjadi Indonesia berwajah dishumanis dan mengancam hak-hak kehidupan, terbukti dengan Bom Bali, tragedi Poso, Ambon, Sambas, Tolikara hingga banyak lagi (Umar: 2010: 146).

Merujuk pada laporan Setara Institute dan Centre for Religion and Cultural Studies (CRCS) UGM, bahwa sepanjang 2009-2013, terdapat kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama sebanyak 56 kasus. Maka rentetan fenomena memilukan tersebut tidak bisa diabaikan dengan dalih, bahwa radikalisme agama adalah sikap membela Tuhan dan agama suci yang diyakininya. Lebih-lebih jika motif radikalisme tersebut disebabkan oleh miskinnya pemahaman agama itu sendiri. Hal tersebut terkesan naif.

Dan pada dasarnya, terdapat banyak motif yang menjadi penyebab radikalisme agama. Bisa saja karena kurangnya pemahaman tentang ketidakadilan politik, ekonomi, dan hukum yang berjalan dalam satu negara. Bisa juga karena penegakan hukum yang dianggap timpang dan tidak adil atau disebut ketidakadilan hukum. Meski terdapat banyak motif terjadinya radikalisme, tulisan ini sebatas mengetengahkan radikalisme agama yang terjadi pada penghafal Quran.

Tentu saja karena penghafal Quran merupakan “juru bicara” Tuhan yang hafal semua kalam-Nya. Di mana memungkinkan mereka untuk menggunakan ayat-ayatnya sebagai pembenaran akan tindakan radikalisme agama. Itulah mengapa, dengan tegas Mark Juergensmeyer seorang ahli gerakan revivalis merespon bahwa terdapat kerancuan yang mendasar terkait doktrin keagamaan yang dipahami sebagai basis legitimasi untuk berbuat kekerasan atas negara yang dianggap sekuler (Meyer, 2003).

Dalih bahwa ia membela kebenaran agama Islam sebagai bentuk iman kepada Tuhan dengan cara kekerasan, sama sekali tidak bisa dibenarkan oleh Islam itu sendiri. Alasan itu tidak sebanding dengan apa yang dikorbankan, yakni kematian, kehancuran hunian (Bom Bunuh diri), dan serangan psikologis terhadap yang lainnya. Mengerikan dan sangat tidak pantas jika itu benar-benar dilakukan orang yang mengaku beragama, apalagi penghafal Quran.

Dilema Penghafal Quran

Saat ini, semangat menghafal Quran merupakan fenomena baru di tengah masyarakat. Lahirnya berbagai pesantren dan lembaga tahfidz Quran di banyak daerah dan segmennya dari anak-anak hingga orang tua, dari satu juz hingga tiga puluh Juz. Tentu saja fenomena ini sangatlah positif dan perlu dijaga bersama. Namun, radikalisme yang terjadi pada penghafal Quran merupakan dilema religiusitas yang masih baru.

Dalam salah satu Hadits, Nabi Muhammad menyamakan orang yang punya hafalan Quran sebagai pemilik unta. Bayangkan saja, jika unta itu dijaga dan dipelihara dengan baik dan benar, maka ia akan jinak dan patuh. Tetapi jika ia dibiarkan dan ditelantarkan, makai akan pergi dan menghilang (Islam.nu.or.id, mengutip hadits Imam Bukhari, Shahih Bukhari: Beirut: Dar Thauq Al-Najah: juz VI, 193, Hadits Nomor 5031).

Namun jangan salah, Nabi juga memperingatkan agar tidak melupakan hafalan Qurannya. “Ditunjukkan kepada saya seluruh pahala umatku bahkan sampai sekecil kotoran (debu) yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid, dan di tunjukkan kepada saya dosa-dosa umatku, saya tidak melihat sebuah dosa yang lebih besar dibandingkan surat atau ayat yang diberikan kepada seseorang kemudian ia melupakannya” (Islam.nu.or.id, mengutip hadis Imam Turmudzi, Sunan Turmudzi [Beirut: Dar al-Gharbiy al-Islami], 1998, juz V, hal 28, hadits no 2916).

“Tidaklah seorang belajar Al-Qur’an kemudian melupakannya kecuali ia kelak di hari kiamat bertemu dengan Allah dalam keadaan judzam (berpenyakit kusta)” (Islam.nu.or.id, mengutip hadits Imam al-Darimi, Sunan al-Darimi [Mekkah: Dar al-Mughni li al-Nasyr wa al-Tauzi’], 2000, juz IV, hal 2104, hadits nomor 3383). 

Dua hadits di atas setidaknya menjadi landasan pacu untuk selalu menjaga hafalan Quran. Bukan sebaliknya, yakni menjadi palu justifikasi atas kesalahan orang lain, keyakinan orang lain, dan kehidupan orang lain dengan menjadi radikalis. Menjadi intoleran, kaku, fanatis, dan menganggap dirinya adalah tuan kebenaran, sedangkan yang lain adalah kedzaliman.

Dilema penghafal Quran yang menjadi radikal dapat ditengarai oleh dua hal. Dalam analisis pendek ini saya dapat mengajukan dua kemungkinan yang membuat “sebagian” penghafal Quran menjadi radikal. Pertama, karena mereka sebatas menghafal Quran tanpa mengetahui unsur-unsur lain untuk menopang hafalannya. Seperti pemahaman Asbabun Nuzul, Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah, Tafsir, Hadits dan banyak lagi.

Karena tanpa pemahaman dan syarat yang lain inilah, ayat Quran yang mereka hafal akan menjadi palugada bagi realitas sosial mereka. Maka sangat mungkin para penghafal Quran yang tanpa pemahaman kepada syarat-syarat yang lain tersebut menjadi radikal, atau bahkan berujung ekstrim. Di titik ini bisa disebutkan, bahwa ayat-ayat yang mereka hafal tidak berpijak di bumi, tapi melambung ke langit atau minus aktualisasi dan kontekstualisasi.

Kedua, kepanikan para penghafal Quran atas globalisasi yang merubah tatanan sosial. Atas dasar kepanikan pada realitas sosial inilah para penghafal Quran seolah menjadi pilot terakhir agama Islam. Mereka memposisikan diri sebagai dewa penyelamat akan realitas baru berupa individualisme, hedonisme, dan budaya konsumtif, yang menganggap tujuan hidup paling utama adalah kesenangan dan kenikmatan semata. Dengan demikian, realitas tersebut seolah ancaman bagi penghafal Quran.

Maka ayat-ayat Quran yang mereka hafal bukan tidak mungkin menjadi pisau algojo atas realitas sosial. Hal ini sangat mengerikan jika dibiarkan begitu saja.  Di titik saya membayangkan masa depan penghafal Quran inilah saya teringat dengan pernyataan Paus Fransiskus, bahwa “kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu Tindakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan (Kompas, 27/11/15).

Atas dua kemungkinan itu juga saya mengandaikan beberapa langkah pengawasan dan perhatian khusus terhadap para penghafal Quran. Pertama, mengubah trend menghafal Quran yang sebatas hafalan menjadi tanggung jawab moral yang menuntut secara tegas untuk mengkaji pemahaman lain untuk menopang ayat-ayat Tuhan yang dihafal. Sebagaimana premis pertama, bahwa penghafal Quran harus dan bahkan wajib memahami Asbabun Nuzul, Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Mantiq, Balaghah, Tafsir, Hadits dan banyak lagi, agar ayat-ayat yang dihafal tidak terlepas dari realitas sosial.

Dengan memungkinkan syarat-syarat yang disebutkan di atas dalam menghafal Quran, maka premis “kepanikan penghafal Quran atas globalisasi yang merubah tatanan sosial” sangat mungkin untuk diatasi. Setidaknya, para penghafal Quran memiliki pemahaman yang luas dan ayat-ayat yang mereka hafal dapat menjadi penuntun ke arah yang lebih harmonis, damai, toleran terhadap keyakinan orang lain. Selebihnya, marilah kita sadari bahwa radikalisme agama sangatlah berbahaya bagi kita semua.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *