Linimasa pemberitaan tanah air, senantiasa dihiasi oleh kasus kekerasan. Motifnya beragam. Dari mulai kekerasan terhadap anak karena enggan menghabiskan makan, hingga tindakan mencekik istri yang dilakukan oleh suami berkedok khilaf. Nyatanya, mayoritas berasal dari “balik tembok rumah tangga”. Tanpa disadari, potret ini menjadi indikasi dari bibit radikalisme. Paham yang tidak hanya identik dengan tindak terorisme semata, namun ia juga cerminan dari emosi kuasa yang dimiliki manusia atas lainnya.
Berbicara kekerasan, maka berkaitan dengan posisi “pelaku” dan “korban”. Antara pihak yang menang dan kalah, antara si superior dan si inferior. Keduanya seolah terbentuk tanpa susunan baku dalam literatur. Justru keduanya lahir secara alamiah dari dua pihak yang bersinggungan. Bersinggungan dalam hal potensi dan ambisi, yang memiliki akan menjadi pelaku, sedangkan yang tidak memiliki akan menjadi korban.
Potret ini cukup mudah untuk ditemui, meski tidak selalu dapat dirasakan secara sadar. Sebut saja kekerasan yang dialami oleh masyarakat perempuan. Apabila dihiraukan mengapa harus perempuan, analoginya cukup sederhana. Dengan munculnya pertanyaan tersebut, justru menjadi bukti bahwa wacana “kekerasan terhadap perempuan” masih berbentuk bongkahan es di dasar, dan belum muncul ke permukaan, serupa dalam iceberg theory yang digagas Sigmund Freud (Johnston, The Journal of Narrative Technique, 14, 1984: 68-69).
Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunannya, menjadi saksi pergerakan kurva yang mengenaskan dari berbagai kasus di Indonesia. Termasuk mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP). Di tahun 2020, tahun pandemi bagi Indonesia bahkan dunia, kasus KTP justru menurun. Tentu ini bukan hal yang patut dibanggakan. Terlebih mobilitas masyarakat kala itu dibatasi bahkan terhenti.
Didapati bahwa penurunan tersebut, bukan berarti menurunnya angka kasus. Namun adanya keterbatasan dalam melakukan pengaduan. Aspek kesehatan menjadi fokus utama saat itu. Menjadikan kantor pemerintahan seperti Pengadilan Agama pun membatasi jam layanan mereka.
Dari 8234 kasus yang terkumpul, Komnas Perempuan memaparkan bahwa KTP di ranah privat yang paling menonjol di tahun 2020. Perilaku KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan Relasi Personal mencapai angka 79% yakni sebanyak 6480 kasus. 49% di antaranya merupakan kekerasaan Terhadap Istri (KTI) (Komnas Perempuan, 2021: 1). Lagi-lagi sumbernya berasal dari “tembok rumah tangga”.
Menjadi Islam dan Menjadi Mayoritas
Berasaskan Pancasila, Indonesia menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi poin pembuka dari Lima Sila yang dijadikan dasar negara. Mengindikasikan bahwa meyakini keberadaan Yang Maha, sebagai modal awal dalam ber-Indonesia. Tentu hal ini terlampau sempit jika dibidik dalam kacamata spiritual semata, dibutuhkan sudut pandang ke-diri-an manusia sebagai pendukung juga.
Aspek ke-diri-an ini penulis sadari dalam QS. al-Dzâriyât/51: 56 kepada QS. al-Baqarah/2: 30. Keduanya mengisyaratkan komponen penting dari kehidupan manusia. Beribadah kepada Tuhan dan menjadi khalîfah Tuhan di bumi. Pertama, berperan sebagai hamba Tuhan dengan tugas beribadah, sudah menjadi kewajiban yang digariskan kepada setiap ciptaan Tuhan. Karenanya, posisi ibadah menjadi mutlak.
Kedua, kesadaran manusia atas komponen ini seringkali terabaikan. Yakni menjadi khalîfah Tuhan di bumi. Khalîfah, lumrah dimaknai sebagai pengganti hingga bentuk manisfestasi. Pemaknaan ini selaras dengan alur ide dari Ibn Arabi dalam wahdah al-wujūdnya. Bahwa Tuhan tidaklah sama dengan ciptaanNya, namun Tuhan ada dalam setiap ciptaanNya (Schimmel, 2011: 284.
Artinya, sebagai manifestasi Tuhan, manusia dengan akal dan hatinya, dikonstruk sebagai makhluk paling sempurna (QS. al-Tîn/95: 4). Sebab itu, tanggung jawab ke-khalîfah-an pun diberikan kepada manusia. Tanggung jawab untuk mengelola, mengolah, hingga mengontrol stabilitas keadilan.
Untuk menjalankan misi khalîfah ini, langkah awalnya manusia harus hadir utuh dalam kesadaran yang penuh di bumi. Kehadiran yang memberikan dampak, meski dalam skala terkecil. Termasuk dalam melihat kasus KTP yang hari ini masih dapat dikualifikasikan sebagai bongkahan es nan tertimbun di dasar laut.
Menjadi seorang Muslim di Indonesia, nampaknya tanggung jawab ke-diri-an manusia bertambah. Selain dua poin komponen penting di atas, menjadi Muslim di Indonesia juga berarti menjadi bagian dari umat beragama yang mayoritas. Tentu banyak privilege yang dapat dirasakan oleh mereka yang Muslim sekaligus masyarakat Indonesia.
Sebut saja, privilege yang sadar maupun tanpa sadar dimiliki oleh Muslim di Indonesia, yakni membentuk wacana. Dalam hal ini, wacana yang dimaksud ialah privilege dalam membentuk koridor wacana keagamaan. Hal ini juga akan banyak dipengaruhi oleh identitas, pengetahuan dan pengalaman keagamaan masing-masing masyarakat Muslim di Indonesia.
Wacana Kepemilikan: Suami dan Istri
Sebagai kerangka berpikir mayoritas, pemahaman keagamaan khas ajaran Islam telah menyelinap masuk dalam keseharian masyarakat Indonesia. Termasuk pemahaman mengenai relasi di “balik tembok rumah tangga”. Beberapa pemahaman keagamaan menyatakan bahwa relasi suami istri adalah relasi kepemilikan. Seorang perempuan yang belum menikah ia adalah milik ayahnya. Lalu ketika ia menikah, maka hak kepemilikan beralih kepada suaminya.
Mirisnya, dari pemahaman ini memunculkan dua figur, “berdaya” dan “tidak berdaya”—bahkan tak sedikit menjadi figur “pelaku” dan “korban” sebagaimana disinggung di atas. Pihak yang “berdaya” seringkali dinisbatkan kepada suami, dan yang “tidak berdaya” kepada istri. Wacana ini salah satunya dapat dijumpai dalam kitab ‘Uqûd al-Lujain fî Bayân Huqûq al-Zaujain (Nawawi, Achmad Sunarto, T.Th: 21-31).
Kitab ‘Uqûd al-Lujain fî Bayân Huqûq al-Zaujain memuat pengetahuan terkait relasi suami dan istri. Sayangnya, wacana yang terkandung di dalamnya, masih berupa pola “istri adalah hak milik suami”. Di mana sejumlah hak suami diuraikan, sebagai rentetan kewajiban yang harus istri penuhi. Belum lagi, istri diibaratkan seperti budak atas majikannya. Memosisikan seperti budak, artinya telah terbangun peran yang “berdaya” dan yang “tidak berdaya” (Mulia, 2020: 561).
Di sinilah penulis melihat terdapat benih radikalisme yang tak kasat mata. Yaitu benih yang tersemai di “balik tembok rumah tangga”. Radikalisme yang penulis maksud berupa istilah yang merujuk kepada tindakan yang dilakukan melalui jalan kekerasan dengan dalih keyakinan maupun pemahaman yang dimiliki (Nasution: 1995: 124).
Kekerasan bukanlah tujuan dari sebuah relasi suami dan istri dalam pernikahan. Begitupun dengan konsep kepemilikan. Dengan kembali kepada QS. al-Dzâriyât/51: 56 dan QS. al-Baqarah/2: 30, maka tiap-tiap individu manusia adalah milik Tuhannya. Adapun relasi suami dan istri ialah rekan, keduanya bekerja sama untuk menjadi sebaik-baik khalîfah Tuhan dan menjaga kedamaian di bumi, termasuk kedamaian perguliran wacana.
Hari ini, perguliran wacana sangat masif di media digital. Media yang menjadi wadah sejumlah besar manusia untuk berselancar juga sebagai sarana yang menyajikan jutaan informasi kepada manusia selaku konsumennya. Dari kecepatan pergerakan wacana di media digital, arus informasi menjadi sulit untuk dikontrol. Ruang digital menjadi bebas diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun.
Maka, kehadiran platform media seperti ibihtafsir.id, mubadalah.id, tafsiralquran.id dan laman media digital keagamaan lainnya menjadi sangat penting. Perguliran wacana yang menempatkan suami dan istri tidak atas dasar kepemilikan telah diadopsi oleh sejumlah laman media tersebut. Diharapkan, keberadaan laman-laman media digital keagamaan tersebut dapat menjadi counter wacana radikal yang juga hidup di dunia digital Indonesia.