Menangkal Radikalisme, Membumikan Humanisme: Refleksi atas Pemahaman Agama yang Eksklusif

“Agama akan selalu menjadi sumber perpecahan, selama para penganutnya saling todong kebenaran bukan kebaikan”

Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, bahasa, budaya berikut agama- agamanya. Hal tersebut meniscayakan akan adanya beragam perbedaan termasuk doktrin dalam memahami agama. Dalam menerawang berbagai konflik keagamaan di Indonesia, agama selalu menjadi hal yang sensitif didiskusikan secara privat maupun publik (Arifina and Tidar 2017).

Secara historis agama telah mewarnai konflik yang terjadi di berbagai daerah khususnya di Indonesia. Sebagai contoh, konflik yang terjadi antara umat Islam dan Nasrani di poso, konflik Islam dan Nasrani di Ambon, serta konflik Tolikara Papua antara Islam dan Nasrani yang semuanya menjadi tragedi kemanusiaan dan menewaskan banyak korban.

 Ada juga konflik di Aceh antara Islam dan Kristen yang terjadi di Singkil akibat demonstrasi yang dilakukan kelompok sporadis Islam dalam menuntut pembongkaran gereja yang ada di wilayah tersebut. Lalu masih banyak lagi isu-isu gerakan fundamentalisme kontemporer yang terjadi, sebut saja aksi 212, aksi bela Islam yang terjadi 2 Desember 2016 di Ibu Kota Jakarta.

Aksi tersebut diikuti oleh hampir seluruh umat muslim Indonesia dengan tuntutan atas penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (W. Abiyoso, S.Thohari 79-100). Aksi-aksi tersebut mengindikasikan akan pemahaman agama yang normatif, eksklusif bahkan kaku dalam melihat serta menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Kelompok-kelompok Islam tersebut selalu mengeyampingkan aspek historis, sosiologis berikut antropologis sehingga memantik gerakan-gerakan yang dapat memicu perpecahan dan mereduksi iklim demokrasi di negara ini. Hal tersebut justru akan menggambarkan ajaran Islam sebagai ajaran yang identik dengan marah, bukan ramah, baik secara internalnya maupun secara eksternal yang sangat merugikan persatuan dan kerukunan.

Dalam konteks perpecahan yang sering terjadi antar agama, selalu syarat dijumpai doktrin yang melekat pada kelompok Islam tertentu. Misalnya saja beberapa tokoh teroris sering menjadikan ayat tertentu tameng dalam berjihad dalam kehidupan, mereka seringkali mengutip ayat dalam Al-Qur’an.

Salah satunya, surah Al-Baqarah ayat 190 yang terjemahannya “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. “. Aktivis militan fundamentalis ini sering juga mengutip ayat terjemahan Q.S Al-Baqarah ayat 120 “ Bangsa yahudi dan nasrani tidak akan rela, hingga kalian (muslim) mengikuti keimanan mereka”.

Mereka menolak analisa konteks sejarah dari wahyu dan korelasinya dengan kondisi kekinian, dalam kata lain mereka menolak penafsiran kritis atau “anti hermenutic”. Ada beberapa faktor yang bisa membuat seseorang begitu eksklusif sehingga seringkali mengatasnamakan agama untuk melakukan gerakan radikalisme.

Penggunaan istilah radikal dalam menjelaskan gerakan kelompok Islam merujuk pada perilaku yang berupaya mengevaluasi, menentang, menolak, sistem politik yang ada seperti demokrasi, negara nasionalis, serta berusaha mengubahnya sesuai dengan cita-cita masyarakat Islam.

Kelompok radikal Islam adalah mereka yang mengubah teologi Islam menjadi ideologi politik, dengan mengabaikan dimensi sejarah dan kebudayaannya. (Horrace M. Kallen, “Radicalism,” Encyclopedia Of The Social Science, 51-54). Meski mereka memandang ajaran Islam mencakup semua aspek kehidupan, kelompok radikal Islam seringkali mencari jawaban politis untuk mengatasi masalah sosial, dan  pendekatan kelompok ini tendensius bersifat kambing hitam (outward looking) yang sangat berpotensi menimbulkan konflik dan penuh emosional.

Menurut teori New York Police Departement ada 4 rentetan seseorang bisa terpapar radikalisme yaitu pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi. Pertama, pra-radikal ditandai dengan proses yang menggambarkan seorang individu aktif dalam kegiatan keagamaan sehari-hari. Awalnya memiliki pemahaman agama yang biasa-biasa saja, lalu memiliki keinginan dan berusaha mencari pencerahan ilmu agama secara lebih mendalam.

Kedua, identifikasi diri, yakni ketika individu sudah mengambil keputusan untuk mengikuti secara menyeluruh proses kegiatan keagamaan dari kelompok yang dianggap mampu mewujudkan keinginannya. Ketiga, indoktrinasi, yaitu ketika individu menerima pengentalan pemahaman dari kelompok yang diikutinya, sudah mulai membedakan dirinya dengan kelompok lain berdasar pada konstruksi pemahaman yang dibangun kelompoknya. Pada tahapan inilah mulai terjadi inkubasi pemahaman yang ekstremis.

Ketiga, jihadisasi atau tahap aksi, dari indoktrinasi yang sudah kental, individu mulai aksi dalam berbagai bentuk tindakan radikal salah satunya aksi terorisme (Sri Yunanto 2016, 179). Untuk itu perlunya upaya membumikan semangathumanisme dalam kerangka moderasi beragama dengan melihat kemajemukan identitas bangsa ini sebagai sebuah keniscayaan.

Moderasi beragama menjadi acuan sebagai cara pandang, sikap dan praktik agama kita dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Ramdhani, bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bernegara (Permana 2022).

Tidak sedikit yang beranggapan bahwa moderasi beragama akan mendangkalkan pemahaman keagamaan. Padahal, moderasi beragama justru secara praktis menjadi dasar mengimplementasikan nilai-nilai keagamaan yang sesungguhnya. Orang dengan pemahaman agama yang inklusif akan bersikap ramah kepada orang lain, terlebih dalam menghadapi perbedaan. Singkatnya, moderasi beragama bukan mencampuradukkan ajaran agama, melainkan menghargai keberagaman agama di Indonesia.

Upaya ini bisa melalui berbagai institusi terutama institusi pendidikan, dengan melakukan berbagai dialog antar agama, dialog lintas budaya dan tenaga pendidik yang mampu mentransformasikan nilai-nilai moderasi beragama dengan mengedepankan toleransi , anti kekerasan, penerimaan atas keberagaman tradisi dan tentu komitmen kebangsaan.

Dalam kaitan itu, pendidikan Islam harus di dorong kepada suatu proses penalaran induktif dan sikap kritis, dengan mengutamakan data, fakta, penelitian serta kontekstualisasi ajaran Islam. Hal ini bertujuan untuk membawa Islam kepada praktik idealnya, yaitu Islam mengedepankan prinsip mengajak bukan menginjak, merangkul bukan memukul, mendamaikan bukan mengkafirkan, menyayangi bukan menyaingi, membina bukan membinasakan dan membela bukan mencela.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *